Peningkatan konsumsi air minum dianggap dapat mencegah batu ginjal, baik secara primer maupun sekunder, namun tidak banyak dokter yang mengetahui apakah bukti ilmiah yang ada mendukung dogma ini atau tidak. Prevalensi batu ginjal atau nefrolitiasis telah meningkat secara global dalam beberapa dekade terakhir. Di Indonesia sendiri, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, hingga 6 dari 1000 penduduk mengalami batu ginjal.[1-5]
Peran Air Minum dalam Pencegahan Batu Ginjal
Studi epidemiologi telah mengindikasikan bahwa konsumsi air minum yang menghasilkan setidaknya 2,5 L urine output per harinya bersifat protektif terhadap batu ginjal. Hal ini diduga karena peningkatan asupan air minum akan mendilusi konsentrasi urine, mengurangi keasaman urine, dan mengurangi kandungan garam berlebih dalam urine, sehingga akan menurunkan risiko terbentuknya batu ginjal.[6]
Pada kondisi hidrasi yang rendah, ginjal memproduksi urine dengan konsentrasi lebih tinggi. Studi pada binatang percobaan menunjukkan bahwa urine dengan konsentrasi lebih tinggi menyebabkan hiperfiltrasi glomerular dan meningkatkan risiko albuminuria. Ditambah lagi, paparan kronik terhadap deplesi volume plasma akan membuat ginjal lebih rentan mengalami cedera subklinik yang berkontribusi lebih lanjut terhadap terbentuknya batu ginjal.[7]
Studi Terkait Hubungan Konsumsi Air Minum dan Batu Ginjal
Pada tahun 2018, Mitra et al mempublikasikan studi yang berusaha menilai apakah kualitas dan kuantitas air minum mempengaruhi prevalensi penyakit batu ginjal. Studi ini mengumpulkan informasi terkait alamat tempat tinggal, volume konsumsi air minum harian, dan sumber air minum yang dikonsumsi pada 1.266 pasien dengan batu ginjal di West Bengal India. Sampel air minum dianalisis terkait pH, alkalinitas, total solutan terlarut, konduktivitas elektrik, dan salinitasnya. Mitra et al menyimpulkan bahwa kuantitas air minum yang dikonsumsi lebih erat hubunganya dengan prevalensi batu ginjal.[8]
Sebuah tinjauan sistematik juga mencoba menganalisis bukti ilmiah dari 1 uji klinis acak terkontrol, 1 studi kasus kontrol, dan 3 kohort prospektif untuk mengetahui apakah volume asupan air minum bermanfaat dalam pencegahan batu ginjal. Semua studi yang ditinjau menunjukkan bahwa peningkatan asupan air minum hingga 2-2,5 L/hari mampu menurunkan risiko terbentuknya batu ginjal secara primer dan sekunder. Namun, peneliti menyatakan bahwa kesimpulan ini masih perlu didukung dengan kualitas bukti ilmiah yang lebih kuat.[4]
Pada awal tahun 2020, Bao et al mempublikasikan tinjauan sistematik Cochrane yang membandingkan efek dari peningkatan konsumsi air minum dengan volume konsumsi air minum standar terhadap pencegahan terbentuknya batu ginjal pada pasien dengan dan tanpa riwayat penyakit batu ginjal. Mereka tidak menemukan ada uji klinis acak terkontrol terkait peran asupan air minum dalam pencegahan batu ginjal pada pasien tanpa riwayat (pencegahan primer), tetapi menemukan 1 uji klinis acak terkontrol yang menganalisis tentang pencegahan sekunder.
Uji klinis ini melibatkan 220 partisipan, yaitu 110 mendapat intervensi peningkatan asupan air minum dan 110 kontrol dengan volume asupan standard. Peningkatan asupan air minum didefinisikan sebagai tercapainya volume urine hingga setidaknya 2,0 L/hari. Hasil menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi air minum menurunkan rekurensi batu ginjal, tetapi kualitas bukti ilmiah yang ada dianggap rendah. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa peningkatan konsumsi air minum mampu memperlambat munculnya rekurensi batu ginjal. Tidak ditemukan efek samping apapun akibat intervensi ini.[9]
Jenis Air Minum
Studi terbaru oleh Sulaiman et al mencoba meninjau peran dari konstituen mineral dalam air terhadap terbentuknya batu ginjal. Mereka mencoba mengetahui relevansi terkait konsumsi berbagai tipe air minum dalam pencegahan penyakit batu ginjal. Dalam studi ini, Sulaiman et al menganalisis peran berbagai jenis air termasuk hard water, soft water, air yang berasal dari keran (tap water), dan air kemasan botol (bottled water).[1]
Hard water dan soft water ditentukan oleh kadar kalsium karbonat (CaCO3) dalam air. WHO menjelaskan soft water mengandung 0-60 mg/L CaCO3. Sementara itu, kandungan CaCO3 61-120 mg/L disebut sebagai moderately hard, 121-180 mg/L adalah hard water, dan >180 mg/L adalah very hard water. Kalsium dari CaCO3 berkontribusi pada konsumsi kalsium harian.[10,11]
Studi Sulaiman et al menyimpulkan bahwa peningkatan volume asupan air minum bermanfaat dalam pencegahan terbentuknya batu ginjal. Dalam hal jenis air minum, tinjauan Sulaiman et al menyatakan bahwa hard water dan air kemasan botol berperan dalam meningkatkan risiko terbentuknya batu kalsium. Kandungan kalsium yang tinggi pada kedua jenis air minum tersebut dapat menyebabkan hiperkalsiuria, tetapi Sulaiman et al tetap menyatakan bahwa banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi risiko terbentuknya batu ginjal. Tinjauan ini juga menemukan bahwa kandungan magnesium dan bikarbonat yang tinggi tampaknya bermanfaat bagi pasien dengan batu ginjal.[1]
Anjuran Konsumsi Air Minum untuk Pasien dengan Batu Ginjal
Tinjauan sistematis oleh Prasetyo et al (2013) melaporkan bahwa efek pencegahan rekurensi batu ginjal didapatkan dengan peningkatan konsumsi air minum menggunakan target volume urine lebih dari 2 L/hari.
Hal ini sejalan dengan panduan dari The European Association of Urology 2015 yang merekomendasikan asupan air minum harian setidaknya menghasilkan volume urine 2,5 L/hari untuk pencegahan batu ginjal.
The National Institute for Health and Care Excellence merekomendasikan orang dewasa dengan riwayat batu ginjal untuk meminum air 2,5-3 L/hari untuk mencegah rekurensi batu ginjal.[1,4,12,13]
Kesimpulan
Telah banyak bukti ilmiah yang tersedia melaporkan bahwa peningkatan konsumsi air minum bersifat protektif terhadap batu ginjal. Walaupun demikian, banyak dari bukti ilmiah ini masih memiliki kekuatan yang rendah, sehingga studi lebih lanjut berupa uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel yang besar masih diperlukan.
Secara umum, peningkatan konsumsi air minum hingga tercapai volume urine 2,5 L/hari direkomendasikan untuk mencegah rekurensi batu ginjal. Intervensi ini dianggap aman dan ditemukan tidak berkaitan dengan efek samping apapun.