Prognosis Anemia Aplastik
Prognosis pasien anemia aplastik sudah mengalami perbaikan signifikan berkat adanya kemajuan perawatan medis. Estimasi tingkat bertahan hidup dalam 10 tahun untuk pasien anemia aplastik yang mendapatkan terapi imunosupresi adalah 68%, sedangkan untuk pasien yang mendapat transplantasi sel hematopoietik adalah 73%.
Faktor yang memengaruhi prognosis pasien anemia aplastik adalah komplikasi (baik yang berkaitan dengan penyakit maupun dengan terapi), respons terhadap terapi awal, serta umur pasien.[1,11]
Komplikasi
Komplikasi pada pasien anemia aplastik terbagi menjadi komplikasi yang berhubungan dengan penyakitnya dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi.
Komplikasi yang Berhubungan dengan Penyakit
Komplikasi yang berkaitan dengan penyakit meliputi komplikasi dari pansitopenia dan komplikasi terkait evolusi penyakit klonal dan transformasi keganasan.
Komplikasi Pansitopenia:
Pansitopenia dapat menimbulkan komplikasi serius. Anemia berat dapat menimbulkan distress pernapasan, gagal jantung, dan failure to thrive pada pasien anak. Neutropenia menyebabkan pasien mudah mengalami infeksi, sedangkan trombositopenia dapat menimbulkan gangguan perdarahan, misalnya petekie dan epistaksis.[1-4]
Evolusi Penyakit Klonal dan Risiko Transformasi Keganasan:
Risiko evolusi penyakit klonal dan transformasi keganasan pada pasien anemia aplastik (seperti sindrom mielodisplasia, acute myeloid leukemia, dan paroksismal nokturnal hemoglobinuria) masih belum dipahami dengan jelas. Data klinis menemukan risiko ini terjadi pada pasien yang sudah mendapat terapi definitif dan pulih.[1,3-5,10,11]
Komplikasi yang Berhubungan dengan Terapi
Komplikasi akibat terapi meliputi serum sickness, risiko infeksi oportunistik, toksisitas obat imunosupresif, dan graft versus host disease.[1,3-5,10,11,17]
Serum Sickness:
Serum sickness sering terjadi 7–10 hari setelah terapi dengan anti thymocyte globulin (ATG). Komplikasi ini dapat dicegah dengan pemberian prednison dalam 2 minggu pertama setelah pemberian ATG.[3-5,11]
Risiko Infeksi Oportunistik:
Terapi definitif pasien anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif dan transplantasi sel hematopoietik. Sebelum transplantasi, regimen imunosupresif turut diberikan untuk conditioning guna meningkatkan probabilitas kesuksesan. Meskipun hal ini dilakukan untuk tujuan terapeutik, hal ini meningkatkan risiko infeksi oportunistik (seperti infeksi jamur atau cytomegalovirus) karena kekebalan tubuh pasien ditekan.[3-5,11]
Toksisitas Regimen Obat Imunosupresif:
Komplikasi lain akibat obat imunosupresif baik saat conditioning sebelum transplantasi sel hematopoietik maupun saat terapi definitif (seperti ATG atau siklosporin) adalah toksisitas obat. Toksisitas bervariasi mulai dari hipertensi, nefrotoksik, hipertrofi gingiva, hingga koagulasi intravaskular diseminata.[11]
Graft Versus Host Disease (GVHD):
Penyakit ini dijumpai setelah upaya transplantasi sel hematopoietik karena sel-sel imun pihak donor bisa ikut ditransplantasikan ke resipien. Sel-sel imun donor akan mengenali sel-sel penerima (resipien) sebagai benda asing, sehingga memicu inflamasi dan menyebabkan GVHD serta kegagalan transplantasi.[1,3,17-19]
Prognosis
Sebagian kecil pasien anemia aplastik mungkin sembuh spontan hanya dengan terapi suportif. Namun, mayoritas pasien memerlukan terapi yang lebih kompleks. Survival rate 10 tahun adalah 68% pada pasien yang menerima terapi imunosupresif dan 73% pada pasien yang menerima transplantasi sel hematopoietik. Prognosis terutama lebih baik pada transplantasi. Pada terapi imunosupresif, relaps dan penyakit klonal menjadi risiko yang harus diperhitungkan.[1]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur