Diagnosis Bronkiektasis
Diagnosis bronkiektasis atau bronchiectasis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis seperti batuk kronis dan sputum mukopurulen, yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang berupa high resolution CT, rontgen toraks, dan tes fungsi paru.
Anamnesis
Sebagian besar pasien bronkiektasis datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan utama batuk kronis dan sputum mukopurulen. Apabila sudah ada tanda bahaya seperti dispnea, hemoptisis, penurunan berat badan, dan fatigue, maka tandanya telah terjadi perburukan penyakit. Pasien juga bisa mengeluhkan bunyi napas mengi, nyeri dada pleuritik, dan demam. Pada anak, bisa didapatkan gagal tumbuh kembang.
Riwayat penyakit pasien juga harus ditanyakan. Anamnesis mengenai riwayat penyakit pasien dapat membantu klinisi untuk mencari etiologi bronkiektasis. Riwayat penyakit yang relevan dengan bronkiektasis adalah riwayat infeksi paru-paru, imunodefisiensi, penyakit jaringan ikat, dan gangguan klirens mukosiliar.[3,11]
Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda klinis pada pasien bronkiektasis sangat beragam. Auskultasi toraks pada pasien bronkiektasis dapat menunjukan crackles dan ronkhi, terutama pada pasien dengan infeksi akut dan eksaserbasi akut. Selain itu, terdengarnya wheezing pada pasien bronkiektasis umumnya menunjukkan obstruksi jalan napas dari sekresi atau kolaps saluran pernapasan akibat kerusakan bronkus.
Pada sebagian kecil pasien bronkiektasis, ditemukan clubbing fingers, sianosis dan plethora, serta tanda cor pulmonale (edema perifer, hepatomegali, dan hipoksia).[2,3]
Diagnosis Banding
Bronkiektasis sering salah didiagnosis sebagai penyakit paru lainnya, seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asthma, dan pneumonia.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis atau PPOK
PPOK umumnya memiliki gejala utama yang hampir sama dengan bronkiektasis, yaitu batuk kronis dengan sputum produktif. Akan tetapi, pada pemeriksaan fisik pasien PPOK, ditemukan penurunan suara napas. Pasien bronkiektasis juga dapat mengalami ronkhi seperti pada PPOK, tetapi disertai dengan crackles dan inspiratory squeaks.
Pemeriksaan CT scan toraks pasien PPOK umumnya menunjukkan hasil normal atau menunjukkan emfisema. Temuan ini berbeda dengan bronkiektasis yang menunjukkan kelainan berupa pelebaran saluran napas.[5,12]
Asthma
Sesak napas dan mengi pada bronkiektasis dapat menyerupai asthma. Akan tetapi, pada auskultasi paru, asthma tidak menunjukkan crackle dan inspiratory squeaks. Pada CT toraks pasien asthma bisa didapatkan penebalan saluran napas seperti pada bronkiektasis, tetapi kondisi ini tidak disertai dengan pelebaran saluran napas (tanda signet ring). Obstruksi jalan napas pada asthma bersifat reversible.[5,12]
Pneumonia
Pasien pneumonia dapat mengeluh sesak napas, batuk, dan demam. Pemeriksaan fisik dapat menemukan ronkhi, wheezing, dan crackles. Penemuan ini serupa dengan tanda dan gejala bronkiektasis. Namun, pada pasien pneumonia, durasi penyakit adalah akut (7–10 hari), sedangkan pada bronkiektasis penyakit bersifat kronis atau menahun. Pada CT toraks, pasien pneumonia tidak menunjukkan dilatasi bronkus.[5,12]
Pemeriksaan Penunjang
Apabila klinisi mencurigai diagnosis bronkiektasis pada pasien, pemeriksaan penunjang radiologis wajib dilakukan. Baku emas diagnosis bronkiektasis adalah high-resolution CT (HRCT). Pemeriksaan penunjang juga dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya bronkiektasis.
High Resolution CT atau HRCT
Pemeriksaan HRCT merupakan pemeriksaan baku emas pada pasien bronkiektasis. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 84–97% dan 82–99% dalam mendiagnosis bronkiektasis. Ada tiga bentuk gambaran bronkiektasis pada CT scan menurut klasifikasi Reid, yaitu bronkiektasis silindris, varikosa, dan kistik.[5,13]
Bronkiektasis Silindris:
Bronkiektasis silindris merupakan bentuk bronkiektasis yang paling ringan. Pada HRCT bisa didapatkan tram track lines yang menunjukkan dilatasi bronkus dengan atau tanpa penebalan saluran pernapasan. Selain itu, ada signet ring yang menunjukkan dilatasi bronkus yang lebih lebar daripada arteri pulmonari di sekitarnya.
Bronkiektasis Varikosa:
Pada bronkiektasis varikosa, terjadi dilatasi segmen bronkus yang disertai dengan konstriksi pada area lainnya. Hal ini ditandai dengan penampakan bronkus beaded.
Bronkiektasis Kistik:
Bronkiektasis kistik merupakan tipe yang paling berat dan yang lebih sering ditemukan sebelum era antibiotik. Bronkiektasis kistik memiliki tampilan honeycomb, yaitu bronkus berbentuk kistik besar dengan air fluid level.[5,13]
Rontgen Toraks
Penampakan bronkiektasis pada rontgen toraks sangat tidak spesifik. Bahkan, tampilan kadang tampak normal. Penumpukan mukus pada bronkus yang berupa gambaran konsolidasi dapat ditemukan. Selain itu, tram lines dan opasitas tubular atau ovoid juga dapat ditemukan.[2,4,11]
Tes Fungsi Paru
Spirometri direkomendasikan untuk pasien bronkiektasis. Penggunaan spirometri pada kasus bronkiektasis dapat membantu mengetahui etiologi dan progresivitas penyakit. Penurunan forced expiratory volume (FEV1) atau rasio FEV1/forced vital capacity (FVC) menunjukkan adanya penyakit obstruktif saluran napas.
Peningkatan residual volume (RV) atau total lung capacity (TLC) dapat menunjukkan trapping udara dalam paru. Penurunan FEV1 berhubungan dengan adanya infeksi dan progresivitas bronkiektasis.[2,11]
Tes Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk mencari tahu etiologi bronkiektasis. Beberapa contoh tes laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien bronkiektasis sesuai indikasi adalah kultur sputum, tes antibodi HIV, dan tes penyakit autoimun.[2,11]
Kultur Sputum:
Kultur digunakan untuk mencari organisme penyebab infeksi dan membantu klinisi memilih terapi antibiotik. Kultur bakteri, fungi, dan basil tahan asam (BTA) disarankan pada seluruh pasien bronkiektasis. Pewarnaan gram juga dapat dilakukan untuk mengetahui tipe bakteri.[2,11]
Tes Antibodi HIV:
Tes antibodi HIV disarankan pada seluruh pasien bronkiektasis untuk skrining HIV. Hal ini dikarenakan infeksi saluran napas dan perkembangan bronkiektasis rentan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV.[2,11]
Tes Penyakit Autoimun:
Pemeriksaan autoimun seperti rheumatoid factor atau antinuclear antibody (ANA) dapat dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai mengalami penyakit autoimun, misalnya rheumatoid arthritis. Hal ini dikarenakan bronkiektasis berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun.[2,11]
Konsentrasi Sodium Klorida dalam Keringat:
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cystic fibrosis, yakni pasien dengan umur 40 tahun, tidak diketahuinya penyebab bronkiektasis lain, isolasi persisten aureus, tanda-tanda malabsorpsi, infertilitas primer laki-laki, bronkiektasis lobus atas paru, dan riwayat steatorrhea saat anak. Hasil konsentrasi sodium klorida dalam keringat yang tinggi menunjukkan kemungkinan cystic fibrosis.[2,11]
Level Immunoglobulin:
Tes level immunoglobulin direkomendasikan pada pasien dengan kecurigaan defisiensi immunoglobulin. Penurunan IgG, IgM, atau IgA dapat ditemukan pada pasien dengan defisiensi immunoglobulin.[2,11]
Tes Nitrit Oksida Nasal:
Tes ini disarankan pada anak dengan riwayat infeksi sinopulmonari berulang. Hal ini bertujuan untuk mengevaluasi adanya diskinesia silia primer pada pasien.[2,11]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur