Artificial intelligence (AI) atau program kecerdasan buatan diketahui berpotensi memberikan kemajuan yang signifikan dalam dunia kedokteran termasuk bidang kedokteran kardiovaskular.
Kecerdasan buatan telah banyak diteliti dan diaplikasikan dalam praktik ilmu kedokteran dalam dekade terakhir ini, misalnya untuk diagnosis kanker dan retinopati diabetik. Hingga kini AI telah diterapkan dalam diagnosis, tatalaksana, dan prediksi risiko penyakit yang mana memudahkan kerja klinisi dengan menginterpretasikan hasil-hasil tertentu dengan lebih cepat dan efisien.
Seiring berjalannya waktu, teknologi AI akan semakin berkembang dan perannya dalam kedokteran kardiovaskular terutama dalam bidang imaging diperkirakan akan semakin meningkat.
Dasar Penggunaan AI dalam Dunia Kedokteran
Di bidang kedokteran, AI dapat diaplikasikan dalam hal diagnosis, tatalaksana, dan prediksi risiko. AI diharapkan dapat melakukan hal-hal berikut:
- Membantu klinisi mendiagnosis suatu penyakit dan mengoptimalkan proses tatalaksana
- Mengurangi angka misdiagnosis dan meningkatkan efisiensi diagnostik
- Mengenali hasil pencitraan dan memberi informasi diagnostik pencitraan yang lebih akurat
- Menyediakan hasil analisis prediksi pasien yang lebih akurat menggunakan analisis big data
- Mendukung penelitian obat-obatan dan meningkatkan efisiensi pengembangan obat baru[1]
Beberapa aspek kecerdasan buatan yang sudah dikembangkan dalam bidang kedokteran, khususnya kardiovaskular adalah machine learning, deep learning, dan cognitive computing.[3]
Machine learning (ML) meliputi berbagai teknik menyelesaikan masalah kompleks menggunakan big data dengan mengidentifikasi pola interaksi antar variabel. ML menggunakan piranti lunak yang memungkinkan komputer untuk mempelajari data, mengidentifikasi pola, dan membuat keputusan. Metode ini sering digunakan dalam pemeriksaan radiologi menggunakan teknologi AI.[3,4]
Deep learning (DL) merupakan bagian ML yang berupaya meniru cara kerja otak manusia dalam memproses data dan menciptakan pola untuk pengambilan keputusan. DL berpotensi digunakan dalam pencitraan kardiovaskular, seperti 2D-speckle-tracking echocardiography, 3D-speckle-tracking echocardiography, angiography, dan cardiac magnetic resonance. DL juga berpotensi dilatih untuk mengerjakan tugas unsupervised learning, seperti interaksi antar obat baru.[3]
Peran AI Dalam Pencitraan Kardiovaskular
AI paling sering diterapkan pada pemeriksaan radiologi atau pencitraan. Pada bidang kedokteran kardiovaskular, AI dapat memudahkan alur kerja klinisi dengan menginterpretasikan hasil-hasil tertentu dengan lebih cepat dan efisien. Berikut merupakan penerapan AI pada beberapa pemeriksaan pencitraan jantung.[4]
Echocardiography
Echocardiography adalah pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan dalam bidang kardiovaskular. Dengan adanya AI, algoritma ML dapat mempersingkat waktu penilaian dengan melakukan beberapa penghitungan otomatis terhadap hasil echocardiography. Selain itu, terdapat juga algoritma ML yang dapat secara otomatis mendeteksi batas-batas endokardial dan mengukur volume dan fungsi ventrikel kiri.[5,6]
Pada studi oleh Asch et al, algoritma ML dilatih untuk memperkirakan fraksi ejeksi ventrikel kiri atau lefft ventricular ejection fraction (LVEF) berdasarkan database yang meliputi lebih dari 50.000 hasil echocardiography, kemudian algoritma tersebut diuji untuk menilai fraksi ejeksi 99 pasien.
Asch et al kemudian membandingkan hasil penilaian tersebut dengan rerata hasil yang dinilai 3 orang ahli menggunakan metode konvensional. Hasilnya, nilai fraksi ejeksi yang dihasilkan AI memiliki konsistensi dan agreement tinggi dengan hasil para klinisi.[6]
Salah satu komponen yang dapat dinilai dari echocardiography adalah cardiac strain, yakni pemendekan dan penebalan dari miokard yang menjadi pengukur fungsi regional ventrikel kiri.
Parameter cardiac strain pernah digunakan dalam studi oleh Tabassian et al untuk mengklasifikasikan fenotip heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF). Hasilnya, model AI pada pasien HFpEF berhasil memprediksi risiko rawat inap, intoleransi aktivitas, dan tekanan pengisian ventrikel kiri.[5]
Algoritma ML juga dapat membantu menilai penyakit katup jantung dan merencanakan terapi. Costa et al menggunakan DL untuk mensegmentasi katup mitral pada parasternal long axis (PLAX) view dan apical 4 chamber view. Selain itu, Wang et al tengah meneliti penggunaan ML untuk mengevaluasi mitral inflow dan aortic outflow. Saat ini, penggunaan ML untuk hal tersebut masih berada di tahap awal.[5]
Computed Tomography (CT) Scan
Penggunaan algoritma ML dapat mempercepat dan mengotomatisasi berbagai proses sehingga memperluas cakupan CT scan jantung.[2,5]
Algoritma DL yang dapat mengurangi data noise dan artefak pergerakan jantung dapat mempercepat rekonstruksi pencitraan sambil tetap mempertahankan tingginya nilai diagnostik CT scan jantung.
Pada pasien yang menjalani coronary calcium scan (CAC), pengukuran otomatis skor CAC, epicardial adipose tissue (EAT), dan ruang-ruang jantung diperkirakan dapat diintegrasikan dalam pelaporan klinis rutin, sehingga mengurangi beban kerja klinisi dan teknisi.
Pada pasien yang menjalani coronary computed tomography angiography (CCTA), AI dapat menghitung derajat keparahan stenosis anatomis dan fungsional dengan cepat dan akurat.[2]
CT fractional flow reserve (CT-FFR) baru-baru ini muncul sebagai alternatif non-invasif untuk mendiagnosis nyeri dada. Meskipun penerapannya masih dalam tahap awal, CT-FFR merupakan salah satu metode untuk memberikan asesmen anatomis dan fungsional jantung. Dalam hal ini, algoritma ML dapat menghitung FFR tanpa menggunakan dinamika fluida komputasi serta memberi informasi prognostik tambahan.[5]
Magnetic Resonance Imaging
Saat ini, cardiac magnetic resonance imaging (CMR) digadang-gadang sebagai standar baku emas untuk asesmen non-invasif fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri. CMR juga dapat menentukan karakter jaringan jantung, yang selanjutnya menentukan tatalaksana sesuai kondisi penyakitnya.[5,7]
Sama dengan echocardiography, strain merupakan biomarker yang dapat dinilai dari CMR, namun memerlukan analisis yang lama untuk menilainya. Menariknya, proses tersebut dapat dipersingkat menggunakan algoritma ML.[5]
Ruijsink et al menemukan korelasi sangat tinggi antara algoritma convolutional neural network (CNN) dengan analisis manual ventrikel kiri dan volume ventrikel kanan, strain, dan kecepatan pengisian dan ejeksi pada CMR.
Studi lain oleh Winter et al mengungkapkan bahwa performa DL dapat menyamai atau bahkan melebihi manusia tenaga ahli dalam mensegmentasi endokardium dan epikardium ventrikel kanan dan kiri.[5]
Terdapat sebuah studi oleh Bhuva et al yang melakukan CMR scan:rescan pada sebanyak 101 pasien. Selanjutnya, dilakukan perbandingan antara hasil pengukuran volume, massa, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada masing-masing pasien tersebut.
Penelitian oleh Bhuva et al ini kemudian membandingkan antara hasil pengukuran yang dilakukan oleh klinisi ahli, klinisi junior, serta pengukuran oleh metode AI menggunakan algoritma CNN yang bekerja otomatis sepenuhnya setelah dilatih pada 599 kasus. Hasilnya, nilai yang diukur oleh ketiga pihak tersebut memiliki presisi serupa. Namun, AI mampu melakukan analisis 186x lebih cepat dari manusia.[7]
Kesimpulan
Di bidang kedokteran, AI dapat diterapkan dalam hal diagnosis, tatalaksana, dan memprediksi risiko. Beberapa aspek AI meliputi machine learning, deep learning, dan cognitive computing. AI cukup sering diterapkan pada pemeriksaan radiologi.
Pada bidang kedokteran kardiovaskular, AI dapat memudahkan alur kerja klinisi dengan menginterpretasikan hasil-hasil tertentu dengan lebih cepat dan efisien, misalnya dalam memperkirakan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada echocardiography.
CMR dapat menggunakan cardiac strain sebagai biomarker dalam asesmen non-invasif fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri namun pemeriksaan ini memerlukan waktu analisis yang lama. Menariknya, proses tersebut dapat dipersingkat menggunakan algoritma ML dengan presisi yang menyerupai analisis ahli.
Ke depannya, agar AI dapat berpotensi maksimal di bidang kedokteran kardiovaskular, klinisi dan ahli radiologi perlu aktif terlibat dalam studi pengembangan dan implementasi teknologi tersebut.
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra