Dalam konteks migraine, neuromodulasi seperti stimulasi nervus vagus diduga dapat bermanfaat dalam mengurangi frekuensi dan keparahan serangan migraine. Migraine adalah suatu kondisi neurologis yang dapat berlangsung akut maupun kronis dan ditandai dengan serangan nyeri berpulsasi yang diperparah dengan aktivitas. Beberapa karakteristik dari migraine adalah bersifat unilateral, fotofobia, fonofobia, mual, muntah, dan alodinia kutaneus.[1,2]
Mekanisme yang menyebabkan migraine sendiri masih belum jelas. Hipotesis terkini melaporkan adanya aktivasi dari jalur nyeri sensorik pada nervus trigeminal yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah ekstraserebral pada intrakranial. Aktivasi ini disebabkan oleh pelepasan dari berbagai neuropeptida vasoaktif, seperti calcitonin gene-related peptide dan meningkatkan persepsi nyeri. Atas dasar ini, neuromodulasi dianggap akan bermanfaat pada kasus migraine.[3-5]
Peran Neuromodulasi Dalam Tata Laksana Migraine
Berdasarkan pedoman tata laksana migraine, tindakan pertama dalam penanganan migraine adalah menghindari pencetus. Namun, ketika frekuensi dan tingkat keparahan migraine sudah pada taraf berat, maka diperlukan intervensi medis. Obat yang dapat diberikan pada migraine adalah golongan analgesik seperti paracetamol dan naproxen; agonis reseptor 5-HT seperti ergotamine dan sumatriptan; atau antagonis reseptor dopamine seperti metoclopramide dan chlorpromazine.[1,4]
Secara umum, efikasi dari medikamentosa hanya mencapai 50% kasus, sehingga terapi migraine cukup menantang. Selain itu, terdapat pasien yang tidak responsif, tidak dapat mentoleransi, atau memiliki kontraindikasi terhadap terapi farmakologi. Sekitar 3% dari pasien tersebut akan berlanjut menjadi migraine kronik yang semakin menyebabkan disabilitas.[6,7]
Pasien Migraine yang Cocok Menjalani Neuromodulasi
Pasien dengan kontraindikasi terhadap triptan atau pasien yang tidak responsif atau mentoleransi terhadap setidaknya 2 golongan triptan merupakan kandidat terhadap tindakan neuromodulasi. Neuromodulasi merupakan tindakan aktivasi, regresi, perubahan atau modifikasi dari sistem saraf pusat atau perifer dengan metode kimia, elektrik atau magnetik.
Dengan memodifikasi mekanisme nyeri dari persarafan, neuromodulasi akan menurunkan sensitisasi sentral dan selanjutnya menurunkan skor nyeri. Beberapa modalitas terapi neuromodulasi sudah dikembangkan sebagai alternatif dalam tata laksana migraine. Neuromodulasi merupakan terapi yang non-invasif, efektif, dan memiliki tolerabilitas yang baik.[1]
Stimulasi Nervus Vagus
Stimulasi nervus vagus atau noninvasive vagus nerve stimulator (nVNS) disetujui digunakan sebagai terapi akut dan preventif untuk migraine pada pasien berusia 12 tahun ke atas. Pasien menggunakan nVNS lewat jalur perkutaneus pada anterolateral leher. Alat ini bersifat aman tanpa efek samping signifikan pada pasien.[3]
Beberapa penelitian menemukan bahwa 44,9% pasien yang menggunakan nVNS mengalami penurunan jumlah hari migraine hingga 50%, penurunan konsumsi obat anti nyeri, dan terbebas dari nyeri dalam waktu 2 jam. Terapi nVNS juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terhadap migraine.[3,8]
Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada nVNS adalah nyeri wajah, ketidaknyamanan pada leher, gangguan gastrointestinal, dan infeksi saluran napas atas. Secara umum, alat ini dapat digunakan secara aman, namun masih diperlukan penelitian lanjutan untuk semakin memastikan efikasi terhadap migraine kronis.[1,3]
Remote Electronic Neuromodulation (REN)
REN digunakan sebagai terapi migraine baik episodik maupun kronis untuk pasien yang berusia di atas 12 tahun. Mekanisme kerja dari REN adalah dengan memberikan inhibisi pada jaras nyeri di salah satu bagian tubuh dengan merangsang stimulus nyeri di bagian tubuh lainnya.
Pada pasien dipasangkan alat di lengan atas yang akan melakukan stimulasi pada serat saraf C dan A-δ melalui sinyal elektrik yang dikontrol dengan aplikasi pada gawai. Stimulus dimulai dalam 60 menit setelah mengalami migraine atau aura. Lama kerja REN adalah 45 menit dan pasien dapat mengontrol intensitas nyeri melalui aplikasi.[3]
Sebanyak hampir 60% pasien yang menggunakan REN mengalami penurunan intensitas nyeri setelah 2 jam pasca stimulasi, dan hal ini meningkat menjadi 65% pada 24 jam pertama. Salah satu meta-analisis menemukan bahwa REN adalah satu-satunya alat neuromodulasi yang sudah diteliti dengan penelitian berkualitas tinggi sehingga memberikan basis efikasi yang baik dibandingkan dengan terapi lainnya.
Efek samping terjadi hanya sekitar 1% dari pasien yang menggunakan REN berupa nyeri pada lengan dengan intensitas ringan.[2,6]
Electrical Trigeminal Nerve Stimulation (eTNS)
Alat eTNS telah mendapat persetujuan sebagai tata laksana dan pencegahan migraine akut pada pasien dewasa. Stimulasi untuk migraine akut adalah melalui sesi selama 60 menit pada frekuensi tinggi (100 Hz), sedangkan untuk pencegahan menggunakan frekuensi rendah (60 Hz) selama 20 menit per hari.[3]
Akses pada eTNS dipasang pada supraorbital. Dosis penggunaan eTNS umumnya adalah 60 menit untuk terapi akut dan 20 menit setiap hari sebagai terapi preventif. Efek samping eTNS yang umum adalah paresthesia, rasa kelelahan, dan reaksi alergi lokal. Namun efek samping ini jarang terjadi dan frekuensinya kurang dari 5%.[8]
Penelitian menunjukkan efikasi eTNS sebagai terapi dan pencegahan migraine akut, namun efikasi pada migraine kronis masih belum jelas. Penggunaan eTNS saat nyeri kepala menyebabkan penurunan pada nyeri dibandingkan dengan kelompok kontrol. Banyaknya hari mengalami migraine berkurang sekitar 16% dan kebutuhan terapi farmakologi menurun sebanyak 30%.[3,7]
Transcranial Magnetic Stimulator (TMS)
TMS memodifikasi sinyal elektrik di otak dengan cara mengirimkan paparan magnetik. Stimulasi nosiseptor terjadi karena adanya perubahan pada eksitabilitas neuron kortikal dan sirkuit thalamokortikal yang kemudian menyebabkan hiperaktivitas dari otak. Hal ini akan menurunkan ambang kortikal dan mencegah pembentukan aura pada pasien. Stimulasi TMS berkelanjutan akan mengubah eksitabilitas neuron, menurunkan sensitisasi sentral dan kemudian akan mencegah migraine.[4]
Tindakan pada migraine akut adalah dengan memberikan rangsangan ketika serangan migraine akut sebanyak 3 kali ketika serangan akut dilanjutkan dengan 2 rangsangan dalam interval 15 menit apabila dibutuhkan. Untuk pencegahan, rangsangan diberikan 4 kali sebanyak 2 kali sehari.[3,4]
TMS tidak boleh diberikan pada pasien yang menggunakan perangkat aktif seperti pacemaker atau implan koklea karena dapat mengganggu mekanisme kerja alat tersebut. TMS juga tidak boleh dilakukan pada pasien dengan riwayat epilepsi karena dapat menginduksi kejang.[4]
Penelitian randomized controlled trial menunjukkan bahwa stimulasi TMS pada korteks oksipital pada fase aura dapat menghilangkan nyeri kepala hingga 39% dalam 2 jam dibandingkan dengan stimulasi plasebo. Salah satu keunggulannya adalah TMS dapat mencegah serangan berulang.[5,8]
Occipital Nerve Stimulation (ONS)
ONS merupakan neuromodulasi invasif dengan cara mengimplantasi elektroda dekat nervus oksipital dan generator di dada. Mekanisme kerja ONS sendiri masih belum jelas, namun diduga ONS dapat memperbaiki modulasi nyeri atau bekerja secara langsung dengan menghambat sensitisasi trigeminal pada pasien migraine. Sebelum memasang alat secara permanen, pasien diberikan waktu 2 minggu untuk mencari dosis yang cocok. Apabila perbaikan keluhan mencapai 50% dari keluhan semula, maka alat akan dipasang permanen.
Penelitian pada pasien dengan migraine menemukan bahwa terjadi penurunan pada metabolisme di area anterior korteks singulata dan orbitofrontal. Tindakan ONS memperbaiki metabolisme glukosa pada area tersebut ketika dilakukan pemantauan dan memperbaiki migraine. Efikasi dari ONS sebagai preventif terhadap migraine dan cluster type headache telah banyak diteliti dengan efek samping minimal dan perbaikan gejala hingga 50% dalam 3 bulan.[3,9]
Neuromodulasi pada Migraine Kronis
Efek neuromodulasi sebagai terapi preventif dan pada serangan migraine akut sudah banyak diteliti, namun efikasinya terhadap migraine kronis masih belum jelas. Penelitian pada tahun 2017 menemukan efektivitas eTNS pada migraine episodik dan kronis pada pasien yang resisten terhadap topiramate.[7,9]
Tindakan stimulasi nervus vagal (nVNS) terbukti aman pada pasien dan memiliki efikasi tinggi pada pasien dengan migraine episodik. Namun penelitian EVENT yang mengevaluasi 59 pasien migraine kronis, menyatakan bahwa penggunaan nVNS tidak lebih baik dari plasebo meskipun juga aman dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien.[3]
Studi prospektif jangka panjang terhadap penggunaan ONS pada pasien dengan migraine kronis menemukan penurunan nyeri yang substansial dalam kurun waktu 7 tahun. ONS merupakan terapi yang aman dan memiliki efikasi yang tinggi dalam jangka panjang. Penelitian lain dengan periode pemantauan 6 tahun menyatakan 66% pasien mengalami setidaknya 50% penurunan frekuensi nyeri harian, dan menurunkan penggunaan triptan hingga 62%.[8,9]
Pada umumnya, neuromodulasi bersifat aman dengan efek samping minimal baik pada pasien dengan migraine episodik dan migraine kronis. Namun, penelitian yang ada saat ini menggunakan protokol yang berbeda-beda, sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan pedoman penggunaan yang aman pada migraine kronis.[3]
Kesimpulan
Studi yang ada mengindikasikan bahwa neuromodulasi aman dan efektif untuk digunakan sebagai terapi dan pencegahan pada kasus migraine akut. Beberapa studi juga menunjukkan potensi untuk migraine kronis, tetapi masih diperlukan studi lebih lanjut untuk memastikan efikasinya.