Initiation of Pregabalin vs Gabapentin in Development of Heart Failure
Park EE, Daniel LL, Dickson AL, et al. JAMA Network Open. 2025. 8(8):e2524451. doi: 10.1001/jamanetworkopen.2025.24451.
Abstrak
Latar Belakang: Pregabalin dan gabapentin merupakan dua agen non-opioid yang sering digunakan dalam tata laksana nyeri kronis yang dapat mempengaruhi 30% pasien. Pregabalin memiliki potensi yang lebih kuat dibandingkan gabapentin dalam mengikat subunit ⟨2ᵀᴹ kanal kalsium tipe L, sehingga diduga pregabalin dapat meningkatkan risiko gagal jantung.
Tujuan Membandingkan insiden hospitalisasi dan kunjungan instalasi gawat darurat akibat gagal jantung pada subjek yang menggunakan pregabalin vs gabapentin untuk nyeri kronis non-kanker.
Metode: Studi ini merupakan studi kohort retrospektif yang dilakukan pada 1 Januari 2015 hingga 21 Desember 2018 untuk penerima manfaat Medicare berusia 65-89 tahun dengan nyeri kronis non-kanker dan tanpa riwayat gagal jantung atau penyakit terminal. Data dianalisis pada 21 Maret hingga 2 Desember 2024. Paparan yang diteliti adalah penggunaan baru pregabalin atau gabapentin.
Luaran primer penelitian ini adalah perawatan di rumah sakit atau kunjungan gawat darurat yang pada resume keperawatan memiliki diagnosis primer gagal jantung. Luaran sekunder mencakup insiden diagnosis gagal jantung (HF) pada rawat jalan dan kematian. Adjusted Hazard Ratio dihitung dengan inverse probability dengan treatment weighting propensity score disesuaikan terhadap 231 kovariat termasuk demografi, klinis, penggunaan asuransi kesehatan, dan riwayat pengobatan.
Hasil: Kohort ini memasukkan 246.237 penerima manfaat Medicare, dengan 18.622 (7,6%) merupakan pengguna baru pregabalin dan 227.615 (92,4%) merupakan pengguna baru gabapentin. Subjek predominan perempuan (66.8%), dengan median usia 73 tahun (IQR, 69-78 tahun).
Dalam 114.113 person-years of follow-up, 1.470 pasien mengalami perawatan di rumah sakit atau instalasi gawat darurat dengan diagnosis gagal jantung. Angka kejadian gagal jantung adalah 18,2 per 1000 person-years untuk pregabalin dan 12,5 per 1000 person years untuk gabapentin (AHR: 1,48).
Ketika pasien dikelompokkan dengan adanya riwayat penyakit kardiovaskular, pregabalin diteliti memiliki asosiasi terhadap peningkatan risiko gagal jantung dibandingkan gabapentin (AHR: 1,85). Peningkatan risiko pada kunjungan rawat jalan juga lebih tampak pada pasien yang menerima pregabalin dibandingkan gabapentin (AHR 1,27). Mortalitas semua sebab tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok perlakuan (AHR 1,26).
Kesimpulan: Pada studi kohort retrospektif dari penerima manfaat Medicare dengan nyeri kronis non-kanker, insiden gagal jantung meningkat pada pengguna pregabalin baru dibandingkan pengguna gabapentin baru. Temuan ini harus dijadikan pertimbangan terutama pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular.
Ulasan Alomedika
Gabapentin dan pregabalin adalah obat yang banyak digunakan dalam penanganan nyeri kronis. Ikatan pregabalin maupun gabapentin pada subunit ⟨2ᵀᴹ kanal kalsium tipe L diduga akan menurunkan influks kalsium pada otot jantung, sehingga menyebabkan efek inotropik negatif dan retensi cairan yang dapat memperparah gagal jantung.
Penelitian dan ulasan mengenai efek samping jangka panjang dari gabapentin dan pregabalin terkait gagal jantung masih belum banyak. Jika memang pregabalin atau gabapentin berasosiasi dengan awitan baru gagal jantung, maka diperlukan pemantauan dan evaluasi yang lebih baik terhadap penggunaannya.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif pada penerima manfaat asuransi Medicare. Populasi pasien yang diteliti adalah kelompok usia geriatri 65-89 tahun. Pasien diikuti dari peresepan pertama gabapentin atau pregabalin, sampai dengan penghentian pengobatan atau satu hari sebelum kunjungan instalasi gawat darurat atau perawatan akibat gagal jantung.
Luaran primer penelitian ini adalah adanya kunjungan pada instalasi rawat darurat atau rawat inap dengan diagnosis primer gagal jantung. Luaran sekunder adalah kunjungan rawat jalan atau mortalitas semua sebab. Analisis pada penelitian ini mempertimbangkan berbagai kovariat (kurang lebih 231) variabel dan menggunakan analisis dengan Cox proportional Hazard Regression Models.
Ulasan Hasil penelitian
Penelitian ini melibatkan 246.237 subjek yang terdiri dari 227.615 pengguna baru gabapentin dan 18.622 pengguna baru pregabalin. Median usia subjek adalah 73 tahun dengan karakteristik demografis 79,9% ras kaukasia, 7,4% ras kulit hitam atau African American, dan 12,8% ras lain. Kelompok pregabalin memiliki prevalensi lebih tinggi untuk menggunakan obat nyeri penghambat enzim COX-2, duloxetine, neuropati diabetik, dan fibromialgia.
Luaran primer terjadi pada 1,3% pasien yang mengalami gagal jantung awitan baru. Lebih lanjut, pemberian pregabalin memiliki insiden gagal jantung lebih tinggi, yaitu 18,2 per 1000 person-years dibandingkan dengan gabapentin yang memiliki insidens 12,5 per 1000 person-years. Nilai AHR untuk pregabalin vs gabapentin adalah 1,48.
Analisis tambahan dari penelitian ini juga melaporkan bahwa pregabalin meningkatkan risiko gagal jantung pada subjek dengan riwayat penyakit kardiovaskular (AHR 1,85) dan jenis kelamin perempuan (AHR 1,57). Analisis luaran sekunder juga melaporkan bahwa pregabalin meningkatkan risiko gagal jantung pada subjek yang didiagnosis di rawat jalan (AHR 1,27). Tidak didapatkan perbedaan mortalitas antara pregabalin vs gabapentin.
Kelebihan Penelitian
Kelebihan utama penelitian ini adalah penggunaan basis data administratif Medicare dengan cakupan nasional yang besar, sehingga memberikan kekuatan statistik tinggi dan memungkinkan evaluasi risiko klinis yang jarang.
Selain itu, desain emulasi target trial akan meningkatkan validitas internal dengan meniru struktur uji klinis acak. Lebih lanjut, penggunaan propensity score weighting dan kontrol terhadap lebih dari 200 kovariat memperkuat upaya untuk mengurangi bias seleksi dan faktor perancu.
Validasi diagnosis gagal jantung dengan kode ICD yang memiliki positive predictive value >90% pada penelitian ini bisa menambah kredibilitas hasil. Selain itu, analisis stratifikasi dan penggunaan negative control outcome (fraktur panggul) menunjukkan bahwa luaran primer relatif konsisten dan tidak semata-mata akibat bias residual.
Limitasi Penelitian
Sebagai studi berbasis klaim administratif, diagnosis dan variabel klinis sangat bergantung pada kode billing, sehingga ada potensi bias misklasifikasi dan ketiadaan data klinis granular seperti fraksi ejeksi jantung, tingkat nyeri, atau hasil laboratorium.
Selain itu, meskipun propensity score weighting mengurangi bias, kemungkinan faktor perancu residual tetap ada, terutama dari faktor-faktor gaya hidup seperti status merokok, aktivitas fisik, dan pengendalian penyakit kronis yang tidak terdokumentasi. Populasi penelitian juga terbatas pada pasien berusia ≥65 tahun dengan cakupan Medicare Part A, B, dan D, sehingga hasil tidak dapat digeneralisasi langsung ke populasi lebih muda atau pasien dengan asuransi komersial.
Dalam studi ini, ukuran sampel pengguna pregabalin jauh lebih kecil dibandingkan gabapentin (7,6% vs 92,4%), yang berpotensi memengaruhi presisi estimasi dan menimbulkan channeling bias karena pregabalin mungkin lebih sering diresepkan pada pasien dengan kondisi nyeri yang lebih kompleks atau refrakter. Pemantauan juga relatif singkat dan kriteria eksklusi relatif ketat, sehingga bisa membatasi kemampuan deteksi efek jangka panjang atau pada pasien dengan kondisi klinis lebih berat.
Aplikasi Penelitian di Indonesia
Temuan studi ini menunjukkan bahwa penggunaan pregabalin pada pasien lansia dengan nyeri kronis berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung dibandingkan gabapentin.
Secara klinis, hal ini menekankan pentingnya mempertimbangkan risiko kardiovaskular ketika meresepkan pregabalin, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung atau faktor risiko kardiometabolik lain. Dengan kata lain, meskipun pregabalin efektif dalam mengatasi nyeri, dokter perlu lebih selektif dalam pemilihan terapi dan melakukan pemantauan terhadap tanda gagal jantung.

