Intrauterine device (IUD) atau alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) merupakan salah satu metode kontrasepsi yang umum digunakan oleh masyarakat. Metode ini memiliki banyak kelebihan, seperti efektivitas yang baik, sifat yang reversibel, biaya yang relatif terjangkau, dan durasi penggunaan yang panjang. Namun, penggunaan IUD juga dapat menyebabkan permasalahan, seperti dysmenorrhea, ekspulsi, dan infeksi.
Dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer perlu memahami cara mengevaluasi dan menangani komplikasi yang mungkin dialami pengguna IUD.[1,2]
Sekilas tentang Penggunaan IUD sebagai Metode Kontrasepsi
Intrauterine device (IUD) memiliki tingkat kegagalan yang <1% pada tahun pertama penggunaan. Alat ini mencegah kehamilan dengan cara menciptakan lingkungan uterus yang toksik untuk sperma, mencegah fertilisasi dan implantasi, serta memicu inflamasi lokal yang steril untuk mengganggu viabilitas sperma. Saat ini ada dua jenis IUD yang dikenal, yaitu IUD tembaga dan IUD hormonal.[3-5]
Kontraindikasi Penggunaan IUD
Kontraindikasi pemasangan IUD adalah abnormalitas pada uterus, keganasan, infeksi panggul akut, infeksi menular seksual, riwayat pernah abortus septik, dan kehamilan. Pemasangan IUD hormonal juga tidak direkomendasikan pada kasus kanker payudara, tumor liver, dan penyakit liver akut. Sementara itu, IUD tembaga dikontraindikasikan pada kasus hipersensitivitas terhadap tembaga.[2,3,5]
Komplikasi Umum dari Penggunaan IUD
Pemakaian IUD memiliki risiko komplikasi, seperti gangguan pola haid, perforasi uterus, infeksi, serta ekspulsi IUD. Nyeri dan perdarahan merupakan gejala yang paling umum dikeluhkan pengguna IUD. Hal ini membuat sebagian pasien memilih untuk berhenti menggunakan IUD.[6,7]
Gangguan Pola Menstruasi
Setelah pemasangan IUD, pasien mungkin mengalami perdarahan ireguler dan/atau spotting yang berlangsung hingga 3–6 bulan. Pasien yang menggunakan IUD tembaga umumnya tetap memiliki siklus menstruasi reguler. Akan tetapi, menstruasi dapat menunjukkan volume lebih banyak, durasi lebih panjang, atau kram perut lebih berat. Efek ini dilaporkan lebih signifikan pada beberapa bulan pertama tetapi akan berkurang seiring berjalannya waktu.
Pengguna IUD hormonal umumnya mengalami perdarahan yang sedikit, spotting, atau bahkan amenorrhea. Durasi menstruasi juga dapat menjadi lebih pendek dan siklus mungkin menjadi ireguler. Sekitar 20% pasien yang menggunakan IUD hormonal mengalami amenorrhea pada tahun pertama dan sekitar >50% mengalami amenorrhea atau oligomenorrhea pada 2 tahun pertama.[5,8,9]
Infeksi
Peningkatan risiko infeksi akibat IUD masih merupakan topik kontroversial. Studi oleh Bassis et al menunjukkan bahwa pemakaian IUD tembaga maupun hormonal tidak berkaitan dengan perubahan mikrobiota vagina dan infeksi. Namun, studi oleh Elnasr et al menunjukkan adanya peningkatan risiko bakterial vaginosis pada pengguna IUD. Hal ini mungkin disebabkan oleh benang IUD yang dapat memicu pertumbuhan mikroba anaerobik di vagina.
Hal lain yang mungkin menyebabkan infeksi adalah proses pemasangan IUD yang mendorong masuknya infeksi yang sudah ada sebelumnya (sering kali infeksi menular seksual) ke dalam uterus. Pasien umumnya memiliki keluhan nyeri perut, discharge vagina, atau perdarahan yang tiba-tiba.[5,6,8,10,11]
Ekspulsi
Risiko ekspulsi IUD mencapai 2–10%. Faktor risiko ekspulsi adalah riwayat ekspulsi sebelumnya, pemasangan IUD segera setelah abortus trimester kedua atau setelah melahirkan, menorrhagia, dan dysmenorrhea berat. Pasien ekspulsi dapat mengalami kram perut, discharge vagina, spotting, dan dispareunia. Selain itu, benang IUD tidak dapat ditemukan pada pemeriksaan.[5,8,12]
Perforasi
Perforasi uterus merupakan komplikasi yang jarang tetapi berbahaya. European Active Surveillance Study for Intrauterine Devices menyimpulkan bahwa pemasangan IUD saat masa menyusui berkaitan dengan peningkatan risiko perforasi uterus 6 kali lipat.
Selain itu, faktor lain yang juga meningkatkan risiko perforasi adalah pemasangan IUD dalam jangka waktu hingga 36 minggu pasca persalinan. Perforasi dapat bersifat asimtomatik atau bersifat simtomatik dengan keluhan berupa perubahan panjang benang IUD, nyeri perut hebat, dan perdarahan uterus.[2,5,13]
Cara Mengevaluasi dan Menangani Pasien dengan Komplikasi IUD
Pasien perlu melakukan follow-up dalam waktu maksimal 4 minggu setelah pemakaian IUD. Follow-up rutin juga bisa dijadwalkan tiap 6–12 bulan untuk mengevaluasi keluhan terkait IUD. Saat follow-up, dokter perlu mengevaluasi ada tidaknya gangguan pola menstruasi, perdarahan abnormal, nyeri dan/atau kram perut, discharge vagina, serta perubahan panjang benang IUD.[2,14]
Perdarahan atau spotting dalam waktu 1 minggu setelah pemasangan masih dikatakan umum. Pasien dengan IUD tembaga juga umum mengeluhkan volume menstruasi lebih banyak dan durasi perdarahan lebih panjang. Beberapa bukti menyatakan bahwa pada 6 bulan pertama pemakaian IUD, pemberian obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) saat menstruasi dapat mengurangi volume haid dan kram. Namun, perdarahan yang berat perlu dievaluasi lebih lanjut.[5,14]
Kram perut terutama dilaporkan intens selama 1 minggu pertama. Pasien bisa diberikan ibuprofen untuk mengurangi gejala ini. Akan tetapi, evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan bila ada tanda ekspulsi atau perforasi. Pemeriksaan benang IUD dapat dilakukan untuk menilai kemungkinan ekspulsi atau perforasi.[2,5,14]
Algoritme Manajemen Pasien dengan Benang IUD Hilang
Bila dokter tidak dapat memvisualisasikan benang dan pasien memiliki gejala ekspulsi seperti tersebut di atas, ultrasonografi (USG) dianjurkan untuk menentukan posisi IUD. Bila benang tidak bisa divisualisasikan tetapi pasien tidak memiliki gejala ekspulsi, dokter dapat mencoba memasukkan dan memutar cytobrush di ostium uterus eksternal untuk “menangkap” benang IUD dan mengeluarkannya. Bila gagal, USG dianjurkan.
Setelah USG, bila IUD tidak terlihat, radiografi abdomen disarankan untuk memeriksa ada tidaknya perforasi. Bila IUD ditemukan di luar uterus, rujuk pasien ke ginekologis. Bila IUD “melekat” di dalam uterus, pasien juga perlu dirujuk ke ginekologis.
Bila IUD ada di dalam uterus tetapi tidak melekat, dokter bisa mengeluarkannya dengan thread retriever. Bila gagal, serviks dapat didilatasi. Bila masih tidak berhasil, dokter dapat menggunakan IUD hook atau forceps aligator. Pengeluaran ini sebaiknya dipandu dengan visualisasi USG.
Pemeriksaan kehamilan juga dianjurkan karena kehamilan dapat menjadi penyebab hilangnya benang IUD. Bila pasien hamil, dokter perlu melepaskan IUD setelah diskusi komprehensif dengan pasien tentang risikonya. IUD meningkatkan risiko abortus hingga 40–50%. Namun, pada kehamilan, umumnya IUD hanya bisa dilepaskan bila benang mudah ditemukan di ostium uterus eksternal.[1,15]
Waktu Penggantian dan Pelepasan IUD
Selain akibat ekspulsi, perforasi, atau infeksi, IUD juga perlu dilepaskan bila pasien meminta atas keinginannya sendiri, misalnya karena merasa tidak nyaman dengan efek samping atau ingin hamil kembali. Selain itu, IUD hormonal levonorgestrel juga memiliki indikasi pelepasan khusus, yaitu kanker serviks, kanker uterus, dan jaundice.
Dokter juga perlu mengganti IUD sesuai dengan waktu kedaluwarsanya. IUD tembaga dilaporkan dapat bertahan hingga 10 tahun, sedangkan IUD hormonal dilaporkan dapat bertahan selama 3–5 tahun. Jangka waktu ini bisa bervariasi antar produk, sehingga dokter perlu memeriksa kembali sesuai produk yang digunakan pasien.[1,3,4]
Kesimpulan
Penggunaan IUD memiliki kelebihan, seperti efektivitas yang tinggi, durasi yang lama, biaya yang relatif terjangkau, dan sifat yang reversibel. Namun, metode ini juga memiliki risiko komplikasi, seperti perubahan pola haid, infeksi, ekspulsi, dan perforasi.
Selain karena infeksi, ekspulsi, dan perforasi, IUD juga harus dilepaskan bila pasien meminta atas keinginannya sendiri atau bila masa efektivitasnya sudah berakhir. Pada pasien bergejala ekspulsi atau perforasi dengan benang IUD yang tidak dapat dilihat, USG dianjurkan. Bila hasil USG juga tidak bisa memvisualisasikan IUD, radiografi abdomen dapat dilakukan.