Meski kontrasepsi intrauterine atau intrauterine device (IUD) merupakan metode kontrasepsi yang banyak digunakan dengan tingkat keamanan yang tinggi, kehamilan tetap bisa terjadi. Pemakaian IUD banyak disukai karena efikasi yang tinggi, prosedur pemasangan yang mudah, sifatnya yang reversibel, biaya yang terjangkau, serta dapat digunakan dalam jangka waktu panjang. Namun, berbagai kasus kehamilan pada wanita yang masih menggunakan IUD telah dilaporkan.[1,2]
Jenis Intrauterine Device (IUD) dan Kemampuan dalam Pencegahan Kehamilan
Di pasaran, terdapat dua jenis intrauterine device (IUD), yaitu IUD yang mengandung tembaga (copper) dan IUD yang mengandung hormon levonorgestrel atau levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS). IUD copper dapat memberikan efek kontrasepsi hingga 10 tahun dan dapat digunakan sebagai kontrasepsi darurat dalam durasi 5 hari setelah berhubungan seksual tanpa proteksi.
Sementara itu, LNG-IUS tersedia dalam formulasi 13,5 mg, 19,5 mg, dan 52 mg, yang kesemuanya telah dilaporkan memiliki efikasi sebanding. Namun, LNG-IUS dengan dosis 52 mg dapat digunakan untuk tata laksana menorrhagia dan sebagai proteksi endometrium selama terapi pengganti hormon diberikan. Dosis 13,5 mg dapat digunakan hingga 3 tahun, sedangkan dosis 19,5 mg dan 52 mg dapat digunakan hingga 5 tahun. Kedua jenis IUD memiliki tingkat pencegahan kehamilan yang setara, dengan tingkat kegagalan untuk IUD copper dan hormonal masing-masing 0,08% dan 0,02%. Hal ini membuat perangkat IUD lebih dari 99% efektif dalam mencegah kehamilan.[2]
Risiko Kegagalan dalam Penggunaan Intrauterine Device (IUD)
Meski efisiensi kontrasepsi dengan intrauterine device (IUD) tinggi, kehamilan tetap bisa terjadi. Kehamilan intrauterin dengan IUD dapat meningkatkan risiko infeksi dan kelahiran prematur.
Tingkat kegagalan IUD sebagai metode kontrasepsi adalah sekitar 1-2 kehamilan per 100 wanita per tahun. IUD copper dilaporkan memiliki tingkat kegagalan sebesar 0,9-3,0 kegagalan/10 tahun dan LNG-IUS 52 mg sebesar 0,16 kegagalan/10 tahun.
Kehamilan intrauterin dan khususnya kehamilan ektopik merupakan komplikasi penting pada penggunaan IUD. Jika kehamilan terjadi dalam periode penggunaan IUD, rekomendasi pertama adalah menyingkirkan kemungkinan diagnosis kehamilan ektopik.[3]
Kehamilan dengan Intrauterine Device (IUD)
Sebuah tinjauan sistematik menemukan peningkatan kejadian abortus spontan (48-77%) dan kelahiran prematur (7-25%) pada kehamilan dengan intrauterine device (IUD) yang dipertahankan. Risiko lain termasuk ketuban pecah dini, korioamnionitis, abortus septik, dan solusio plasenta. Masih belum diketahui apakah risiko kelainan kongenital meningkat pada kehamilan dengan IUD terpasang.[4,5]
Faktor Risiko Kehamilan pada Wanita dengan Intrauterine Device
Beberapa faktor risiko terjadinya kehamilan pada wanita dengan intrauterine device (IUD) adalah dislokasi IUD, usia, riwayat ekspulsi IUD, dan jenis IUD yang digunakan.[1,6]
Dislokasi IUD :
Dislokasi IUD dapat terjadi akibat migrasi IUD ke organ sekitar, seperti usus, kandung kemih dan omentum. Insidensi migrasi IUD berkisar antara 0,5–1/1000 kasus. Terkadang dislokasi IUD terjadi akibat kesalahan metode dan lokasi insersi karena rongga rahim yang terdistorsi, adenomiosis, obesitas, atau tenaga medis yang kurang berpengalaman. Insersi IUD dengan panduan USG dapat mengurangi risiko malposisi. Pasien dengan dislokasi IUD dapat asimtomatik selama bertahun-tahun hingga terjadi kehamilan.[7]
Usia :
Usia dikaitkan dengan kegagalan IUD, dengan risiko kegagalan yang lebih rendah secara signifikan pada wanita berusia >35 tahun dibandingkan dengan mereka yang berusia <30 tahun. [6] Hal ini disebabkan karena usia <30 tahun merupakan usia reproduktif wanita, sehingga kemampuan wanita menghasilkan sel telur dan hamil lebih besar.[8]
Riwayat Ekspulsi :
Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat ekspulsi IUD dengan risiko kegagalan IUD (odds ratio 3,31). Faktor risiko ekspulsi IUD termasuk usia kurang dari 20 tahun, nuliparitas, dismenore, menorrhagia, dan insersi IUD segera setelah abortus atau persalinan. Namun, tingkat ekspulsi tidak berhubungan dengan jenis IUD yang digunakan.[9]
Ekspulsi IUD dapat berupa ekspulsi sebagian atau ekspulsi total. Ekspulsi sebagian dapat disebabkan oleh insersi IUD yang tidak mencapai kavum uteri secara tepat, sehingga IUD tidak dapat berfungsi dengan efektif. Ekspulsi total dapat diakibatkan oleh kurangnya kepatuhan dan tingkat pendidikan pasien untuk kontrol rutin guna menilai lokasi IUD.[8]
Jenis IUD yang Digunakan :
LNG-IUS dengan dosis 52 mg membutuhkan waktu hingga 7 hari untuk berfungsi secara efektif, sehingga dapat terjadi kehamilan jika pasien melakukan hubungan seksual tanpa proteksi dalam 7 hari pasca pemasangan LNG-IUS.
Dalam sebuah studi kasus-kontrol, jenis kontrasepsi LNG-IUS 52 mg ditemukan memiliki efikasi tertinggi dibandingkan dengan IUD lainnya. Risiko kehamilan dilaporkan lebih besar 2,7 kali pada IUD dengan permukaan copper 375 mm2; 7,2 kali pada IUD copper 200 mm2 dan silver core; serta 8,45 kali pada IUD copper 300 mm2 jika dibandingkan LNG-IUS.[6]
Selain itu, sebuah penelitian di Yogyakarta memaparkan bahwa wanita yang menggunakan IUD copper dengan panjang tail 32 mm dan permukaan copper 200 mm2 memiliki risiko kegagalan 1,7 kali lebih besar daripada IUD copper dengan panjang tail 36 mm dan permukaan copper 380 mm2.[8]
Kesimpulan
Meskipun kontrasepsi intrauterine atau intrauterine device (IUD) adalah salah satu metode kontrasepsi yang paling efektif, kegagalan IUD masih dapat terjadi. Peningkatan risiko kehamilan pada wanita yang menggunakan IUD dipengaruhi beberapa faktor, seperti dislokasi IUD, usia produktif, riwayat ekspulsi, dan jenis IUD yang digunakan. Apabila seorang wanita pengguna IUD mengalami kehamilan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik. Kehamilan dengan IUD terpasang juga mengalami peningkatan risiko abortus, kelahiran prematur, ketuban pecah dini, dan korioamnionitis.