Pilihan Kontrasepsi Pasca Kehamilan Ektopik

Oleh :
dr. William Alexander Setiawan, SpOG

Setelah kehamilan ektopik, konseling terkait pemilihan alat kontrasepsi dan perencanaan kehamilan berikutnya perlu dilakukan. Hal ini penting untuk membantu pasien mencegah kehamilan berisiko di masa depan, mengurangi kemungkinan kehamilan ektopik berulang, dan memberikan waktu pemulihan optimal bagi fungsi reproduksi. Meski begitu, pada praktik klinis, keputusan terkait kontrasepsi sering ditunda dan tidak menjadi suatu prioritas.

Kehamilan ektopik adalah kondisi obstetrik di mana implantasi embrio terjadi di luar rongga uterus, seringkali pada tuba falopi. Kejadian ini menyumbang 5-10% dari semua kematian terkait kehamilan dan merupakan penyebab utama morbiditas maternal. Risiko komplikasi, seperti ruptur tuba dan perdarahan intraabdomen, membuat kondisi ini menjadi salah satu kasus darurat obstetri.[1,2]

KontrasepsiPascaEktopik

Pilihan Kontrasepsi Risiko Rendah untuk Kehamilan Ektopik

Metode kontrasepsi yang ideal untuk pasien pasca kehamilan ektopik haruslah memiliki tingkat efikasi tinggi dan risiko minimal terhadap kehamilan ektopik jika kegagalan kontrasepsi terjadi. Konseling pasien dalam memilih metode kontrasepsi terbaik pasca kehamilan ektopik perlu mencakup informasi tentang keuntungan, risiko, dan alternatif setiap metode.[3,4,9]

Kontrasepsi Hormonal Kombinasi (Pil, Patch, dan Cincin Vaginal)

Kontrasepsi hormonal kombinasi, misalnya dalam bentuk pil, patch, ataupun cincin vaginal, menghambat ovulasi dengan menggabungkan estrogen dan progestin. Mekanisme kerja yang mencakup penghambatan pelepasan gonadotropin, perubahan mukosa serviks, dan pengurangan motilitas tuba, diharapkan akan membuat risiko kehamilan ektopik sangat rendah.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa angka kegagalan metode ini cukup rendah, yakni sekitar 2 kehamilan per 100 pengguna per tahun, sementara risiko kehamilan ektopik adalah 0,2 per 1000 wanita-tahun. Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa metode ini dikontraindikasikan pada pasien dengan kondisi medis tertentu, seperti trombosis atau gangguan kardiovaskular, serta diperlukan disiplin dalam penggunaan rutin untuk efikasi optimal.[3,9]

KB Implan dan Depot Medroxyprogesterone Acetate (DMPA)

Dalam studi kohort prospektif CHOICE yang melibatkan 9256 partisipan, metode kontrasepsi dengan implan dan DMPA dilaporkan memiliki risiko menyebabkan kehamilan ektopik terendah. Dalam studi ini, tingkat kejadian kehamilan ektopik pada penggunaan implan dan DMPA dilaporkan sebesar 0 per 1000 wanita-tahun.[6]

Levonorgestrel Intrauterine System (LNG-IUS)

Intrauterine device/IUD yang mengandung levonorgestrel (LNG-IUS) bekerja dengan melepaskan levonorgestrel secara lokal di uterus, yang menghambat motilitas sperma dan ovulasi. Selain itu, lendir serviks akan menjadi lebih kental sehingga mencegah penetrasi sperma.

Penelitian menunjukkan bahwa LNG-IUS menghasilkan tingkat risiko kehamilan ektopik lebih rendah (0,2 per 1.000 wanita-tahun) dibandingkan wanita tanpa kontrasepsi (1,2–1,6 per 100 wanita-tahun). Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa terdapat risiko kecil perforasi atau ekspulsi pada penggunaannya. Selain itu, perhatikan pula kontraindikasi pada pasien dengan infeksi pelvis aktif atau anatomi uterus abnormal.[3,4]

IUD Tembaga

IUD tembaga bekerja dengan menghasilkan reaksi inflamasi lokal di endometrium yang bersifat spermisidal. Secara garis besar, risiko kehamilan ektopik setelah penggunaan IUD tembaga cukup rendah, yakni sekitar 0,46 per 1000 wanita-tahun. Meski demikian, penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian kehamilan ektopik lebih baik pada penggunaan LNG-IUS dibandingkan IUD tembaga.[6,7,9]

Kontrasepsi Permanen (Sterilisasi Tubektomi)

Sterilisasi tubektomi merupakan prosedur permanen yang melibatkan oklusi tuba falopi untuk mencegah fertilisasi. Meski bersifat irreversible, metode ini sangat efektif untuk pasien yang tidak menginginkan kehamilan di masa depan.

Risiko kehamilan ektopik pasca tubektomi dilaporkan cukup rendah. Pada metode salpingektomi parsial postpartum, kejadian kehamilan ektopik dilaporkan sekitar 1,5 per 1000 prosedur. Keterbatasan dari metode ini, selain dari sifatnya yang irreversible, adalah adanya risiko prosedural seperti perdarahan, infeksi, atau komplikasi anestesi.[5]

Risiko Kehamilan Ektopik pada Berbagai Kontrasepsi

Secara umum, penggunaan kontrasepsi yang efektif akan sangat menurunkan risiko kehamilan ektopik dibandingkan pada wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang telah dilaporkan memiliki risiko rendah menyebabkan kehamilan ektopik, dibandingkan tanpa kontrasepsi atau kondom, antara lain:

  • Depot medroxyprogesterone acetate atau DMPA (0 per 1000 wanita-tahun)

  • KB implant (0 hingga 0,31 per 1000 wanita-tahun)
  • Kontrasepsi hormonal kombinasi dalam bentuk pil, patch, atau cincin vaginal (0,22 per 1000 wanita-tahun)
  • LNG-IUS atau KB spiral (sekitar 0,5 per 1000 wanita-tahun)
  • IUD tembaga (sekitar 0,5 per 1000 wanita-tahun).[6,9]

Pada penggunaan LNG-IUS, penggunaan levonorgestrel dalam dosis yang lebih tinggi (52 mg) telah dilaporkan menghasilkan insiden kehamilan ektopik yang lebih rendah dibandingkan penggunaan levonorgestrel dosis yang lebih kecil (13,5 mg).[9]

Konseling untuk Pasien dengan Riwayat Kehamilan Ektopik

Dalam melakukan konseling pada pasien dengan riwayat kehamilan ektopik, penting untuk mengidentifikasi faktor yang meningkatkan risiko rekurensi kehamilan ektopik, seperti adanya kerusakan tuba, infeksi pelvis, riwayat operasi pelvis, salpingostomi, salpingitis, dan usia di bawah 24 tahun saat kehamilan ektopik pertama. Lakukan edukasi pada pasien mengenai risiko rekurensi ini dan tekankan pentingnya perencanaan kehamilan selanjutnya.

Evaluasi pula faktor yang dapat mempengaruhi pilihan metode kontrasepsi pada pasien, seperti riwayat trombosis yang merupakan kontraindikasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi. Penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan estrogen-mediated venous thrombotic events, seperti deep vein thrombosis, pada penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi. Selain itu, diskusikan juga untung-rugi setiap jenis kontrasepsi yang dapat pasien pilih, serta pertimbangkan preferensi pasien.[1,2,3,8]

Pada pasien yang mendapat methotrexate untuk penanganan kehamilan ektopik, sarankan menunda kehamilan selama setidaknya 3 bulan demi menghindari efek samping pada janin. Lebih lanjut, dalam hal kesuburan, jelaskan secara terbuka mengenai kemungkinan kehamilan berdasarkan kondisi masing-masing pasien. Secara umum, kemungkinan kehamilan selanjutnya (subsequent pregnancy) pada pasien dengan riwayat kehamilan ektopik cukup baik.[10,11]

Kesimpulan

Pilihan kontrasepsi yang tepat dapat membantu mencegah kehamilan ektopik berulang dan memberikan perlindungan efektif bagi pasien. Injeksi depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) dan KB implan telah dilaporkan memiliki risiko terendah kehamilan ektopik, diikuti dengan intrauterine device (IUD) yang mengandung levonorgestrel (LNG-IUS) dan kontrasepsi hormonal oral kombinasi. Seluruh pilihan metode kontrasepsi tersebut telah tersedia dan mudah didapatkan di Indonesia.

Referensi