Red flag atau tanda bahaya epistaksis penting dikenali untuk membedakan mana kondisi yang mengancam nyawa dan disebabkan oleh etiologi lebih serius. Red flag epistaksis juga berguna dalam mencegah investigasi berlebihan ataupun mengobati pasien epistaksis akibat penyebab minor.
Epistaksis atau perdarahan hidung merupakan masalah yang umum ditemui dalam praktik klinis. Sekitar 60% orang akan mengalami setidaknya satu kali episode epistaksis dalam hidupnya, dengan hanya 6% yang membutuhkan penanganan medis untuk menghentikan perdarahan. Walaupun mayoritas kasus epistaksis bersifat jinak dan bahkan bisa berhenti sendiri tanpa penanganan medis, etiologi yang lebih serius perlu dicurigai jika pasien menunjukkan gejala penyerta yang mencurigakan, misalnya obstruksi nasal unilateral. Etiologi yang lebih serius dari epistaksis misalnya neoplasma dan malformasi pembuluh darah.[1-4]
Sekilas Mengenai Epistaksis
Secara anatomis, epistaksis dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior merupakan perdarahan pada bagian anterior septum nasi yang umumnya berasal dari pleksus Kiesselbach pada daerah yang disebut juga sebagai area Little. 90% kasus epistaksis disebabkan oleh perdarahan pada anterior septum nasi karena tipisnya mukosa pada area Little. Sementara itu, epistaksis posterior disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang berada pada bagian posterior atau superior dari kavum nasi. Epistaksis posterior lebih sering terjadi pada pasien dengan komorbiditas, seperti hipertensi, gangguan koagulasi, dan pengguna obat antitrombotik.
Penyebab tersering epistaksis adalah trauma, seperti akibat mengorek hidung atau trauma wajah. Namun, ada pula penyebab lebih serius seperti keganasan hematologi, koagulopati kongenital, atau telangiektasia hemoragik herediter.[1,2,4]
Red Flag Epistaksis
Sebagian kasus epistaksis dapat ditangani di tingkat layanan primer, namun terdapat beberapa red flag atau tanda bahaya yang perlu diketahui sebagai bahan pertimbangan perlunya rujukan dan manajemen lanjutan terhadap pasien. Red flag epistaksis, antara lain:
- Tanda dan gejala syok, seperti penurunan kesadaran, hipotensi, takikardia, dan penurunan tekanan nadi
- Tanda dan gejala keganasan, seperti hidung tersumbat unilateral, nyeri pada wajah, pembengkakan atau deformitas wajah, dan nyeri telinga
- Epistaksis berulang atau epistaksis yang tidak berhenti setelah tata laksana awal
- Epistaksis tertunda: epistaksis yang muncul beberapa hari setelah kejadian trauma
- Epistaksis yang disertai serous rhinorrhea pada pasien trauma kepala dan wajah
- Riwayat trauma, terutama trauma kepala dan wajah
- Riwayat komorbiditas, seperti hipertensi, diabetes, dan penggunaan antikoagulan. Perlu diketahui bahwa, pada kebanyakan pasien yang datang dengan epistaksis dan hipertensi, sering kali epistaksis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah karena ansietas, dan jarang hipertensi yang menyebabkan epistaksis[1,3,5,6]
Manajemen Pasien Dengan Red Flag Epistaksis
Penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat dibutuhkan dalam manajemen pasien dengan tanda bahaya atau red flag epistaksis.
Anamnesis pada pasien dengan red flag epistaksis perlu dilakukan dengan lengkap dan baik untuk menentukan pemeriksaan selanjutnya yang mungkin dibutuhkan. Pada kasus trauma, kronologi dan mekanisme kejadian trauma perlu ditanyakan dengan lengkap untuk mengarahkan diagnosis banding. Pada kasus keganasan, beberapa keluhan seperti hidung tersumbat sebelah, nyeri yang menjalar, kehilangan kemampuan mencium bau, hingga munculnya deformitas dapat digunakan untuk mengarahkan diagnosis.
Pemeriksaan fisik sederhana pada pasien dengan red flag epistaksis, seperti rhinoskopi anterior dan rhinoskopi posterior, dapat membantu menentukan sumber perdarahan. Penggunaan suction dan agen vasokonstriktor mungkin diperlukan untuk membantu pemeriksaan. Bila diagnosis sulit ditegakkan dengan pemeriksaan fisik sederhana, pasien perlu dirujuk dan diperiksa dengan nasoendoskopi. Pemeriksaan nasoendoskopi dengan endoskop rigid dapat menentukan sumber perdarahan pada 80% kasus epistaksis. Selain nasoendoskopi, modalitas pencitraan radiologi, seperti rontgen, CT scan kepala, dan MRI dapat dilakukan sebagai penunjang untuk mengidentifikasi etiologi epistaksis.[1,3-5]
Tata laksana epistaksis disesuaikan dengan etiologinya. Prinsip utama tata laksana epistaksis adalah memperbaiki kondisi kegawatan dengan resusitasi dan penghentian perdarahan. Penghentian perdarahan dapat menggunakan tampon hidung, baik anterior maupun posterior, atau penggunaan kauterisasi kimia atau elektrik. Tindakan bedah diindikasikan pada epistaksis yang tidak dapat tertangani oleh terapi konvensional. Tindakan bedah yang dapat dilakukan dapat berupa kauterisasi endoskopik, embolisasi arteri, dan ligasi arteri.[1,5,7]
Kesimpulan
Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior, bersifat jinak, dan self limited. Namun, epistaksis juga dapat disebabkan oleh keadaan yang serius atau mengancam nyawa seperti keganasan, gangguan pembekuan darah, dan kelainan kongenital. Red flag yang perlu dikenali untuk mengarahkan kecurigaan ke arah penyebab epistaksis yang lebih serius antara lain : adanya tanda dan gejala syok, epistaksis berulang atau yang tidak berhenti dengan penekanan, epistaksis tertunda, epistaksis yang disertai serous rhinorrhea pada kasus trauma kepala atau wajah, riwayat trauma, dan riwayat komorbiditas. Adanya tanda dan gejala keganasan juga perlu diperhatikan, seperti hidung tersumbat unilateral, nyeri pada wajah, pembengkakan atau deformitas wajah, dan nyeri telinga.