Red flag atau tanda bahaya pada kasus konstipasi penting dikenali agar dokter bisa membedakan pasien mana yang membutuhkan manajemen lanjutan dan mana yang tidak.
Konstipasi adalah keluhan gastrointestinal dengan prevalensi dilaporkan berkisar 10-15% di Amerika Utara. 70% pasien merasakan penurunan kualitas hidup akibat konstipasi. Mayoritas kasus bersifat ringan dan jinak, namun konstipasi juga bisa berkaitan dengan gangguan metabolik, neuromuskular, endokrin, dan keganasan.[1-3]
Beberapa etiologi konstipasi yang bisa meningkatkan tingkat mortalitas jika tidak terdeteksi adalah ileus obstruktif, kanker kolorektal, hernia inguinalis, dan prolaps rektal.
Definisi Konstipasi
Konstipasi didefinisikan sebagai disfungsi motilitas kolon dan proses defekasi yang dapat menyebabkan setidaknya 2 dari gejala berikut pada ≥25% defekasi:
- Buang air besar sambil mengejan
- Feses yang keras atau menggumpal
- Perasaan tidak puas setelah defekasi
- Sensasi obstruksi atau blokade pada anorektal
- Memerlukan bantuan manuver manual agar bisa buang air besar
- ≤3 kali buang air besar tanpa bantuan obat atau apapun per minggu [2]
Red Flag Konstipasi pada Dewasa
Berikut adalah red flag atau tanda bahaya yang perlu diperhatikan dalam evaluasi pasien dengan konstipasi:
- Perdarahan rektal makroskopis : Bisa terlihat menetes dan bercampur dengan feses atau terlihat pada tisu toilet yang digunakan setelah buang air
-
Perdarahan samar : melena, anemia yang tidak jelas penyebabnya, atau hasil tes darah samar pada pemeriksaan feses positif
- Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan dengan penyebab lain
- Tanda dan gejala obstruksi, termasuk nyeri perut yang berat dan tidak bisa buang angin
- Konstipasi onset baru pada pasien usia lanjut (≥ 50 tahun)
-
Riwayat keluarga dengan kanker kolon, kanker rektal, atau inflammatory bowel disease [2-6]
Sekilas Tentang Manajemen Pasien dengan Red Flag Konstipasi
Apabila ditemukan red flag atau tanda bahaya konstipasi, dokter perlu memastikan ada-tidaknya penyebab sekunder dari konstipasi.
- Anamnesis yang lengkap dapat membantu mengarahkan diagnosis pada penyebab yang mendasari timbulnya konstipasi. Pada kasus adanya obstruksi, anamnesis bisa menunjukkan adanya usaha lebih lama dan lebih kuat untuk buang air, volume feses yang sedikit, bahkan perasaan ada tonjolan pada vagina
-
Digital rectal examination atau rectal toucher dapat mengidentifikasi hipertonia, adanya rectocele atau enterocele, impaksi feses, neoplasia anorektal, fisura anus, stenosis, ataupun kompresi eksternal
-
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi. Misalnya, pada pasien usia lanjut dengan konstipasi yang disertai perdarahan nyata dan riwayat keluarga dengan kanker kolorektal, pemeriksaan penunjang berupa endoskopi dan biopsi mungkin diperlukan. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan sesuai indikasi pada pasien konstipasi dengan red flag mencakup pencitraan, pemeriksaan feses, pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit, barium enema, anorectal manometry, dan colonic transit time.
Setelah etiologi konstipasi diidentifikasi, tata laksana disesuaikan dengan etiologi. Tata laksana konstipasi primer yang paling utama adalah modifikasi gaya hidup berupa perbaikan diet, aktivitas fisik adekuat, dan perbaikan bowel habit. Medikamentosa yang dapat digunakan mencakup laksatif, probiotik, garam magnesium, prucalopride, dan lubiprostone.
Tindakan bedah dapat bermanfaat pada kasus tertentu, misalnya kolektomi abdominal dengan ileorektal anastomosis untuk slow transit constipation; rectocele repair pada konstipasi yang disebabkan obstruksi rectocele; dan ventral rectopexy untuk konstipasi akibat intususepsi. [1-3,6]