Perdarahan pascamenopause merupakan keluhan yang cukup sering dialami oleh wanita pascamenopause, sehingga klinisi perlu mengetahui red flag atau tanda bahayanya untuk mengetahui kebutuhan penatalaksanaan lebih lanjut.
Perdarahan pascamenopause terjadi pada sekitar 4–11% wanita yang sudah menopause. Meskipun kebanyakan kasus perdarahan pascamenopause merupakan penyakit ringan, 10% kasus disebabkan oleh keganasan, yaitu kanker endometrium. Insidensi kanker endometrium paling tinggi ditemukan pada wanita pascamenopause yang berusia 60–79 tahun.
Insidensi kanker endometrium meningkat sebanyak 65% dalam dekade terakhir, yang diduga berkaitan dengan peningkatan insidensi obesitas pada populasi. Di Indonesia sendiri, kanker endometrium termasuk dalam 15 jenis kanker terbanyak pada tahun 2020, dengan 7.773 kasus baru.
Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk mengetahui tanda bahaya atau red flag perdarahan pascamenopause, agar rujukan dapat dilakukan dengan segera. Deteksi dini dan terapi pada stadium awal kanker endometrium dapat meningkatkan prognosis dan angka kesintasan 5 tahun pasien.[1-3]
Sekilas mengenai Perdarahan Pascamenopause
Menopause adalah berakhirnya siklus rutin menstruasi secara permanen akibat hilangnya aktivitas ovarium. Seorang wanita dapat dikatakan sudah menopause apabila siklus menstruasi berhenti selama minimal 12 bulan berturut-turut. Kondisi ini biasanya terjadi pada wanita berusia 50–55 tahun.[2,4]
Setelah menopause, beberapa wanita masih dapat mengalami perdarahan dari vagina yang disebut juga sebagai perdarahan pascamenopause. Sebagian besar keluhan perdarahan pascamenopause disebabkan oleh kondisi yang ringan, dengan penyebab tersering adalah atrofi urogenital, medikamentosa seperti terapi pengganti hormon estrogen atau tamoxifen, polip endometrium, hiperplasia endometrium, fibroid, infeksi menular seksual, dan dermatosis seperti lichen sclerosus.[2,4]
Namun pada beberapa kasus, perdarahan pascamenopause dapat disebabkan oleh keganasan, yaitu kanker endometrium sebagai penyebab paling serius, kanker serviks, kanker vagina, kanker ovarium, kanker vulva, dan kanker tuba falopii. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, tuberkulosis genital juga perlu dipikirkan bila ada perdarahan pascamenopause.[2,4-6]
Red flags Perdarahan Pascamenopause
Red flag atau tanda bahaya perdarahan pascamenopause berkaitan erat dengan faktor risiko keganasan yang dikhawatirkan menjadi penyebab perdarahan. Tanda bahaya yang membutuhkan rujukan segera dan penatalaksanaan lebih lanjut adalah:
- Usia ≥55 tahun;
- Perdarahan banyak (ganti pembalut basah ≥1 kali sehari)
- Nyeri pada abdomen atau pelvis
- Penurunan berat badan dan kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
- Distensi abdomen
- Terabanya massa pada daerah pelvis
Obesitas yang dihitung dengan indeks massa tubuh
- Riwayat diabetes mellitus
- Riwayat hipertensi
- Riwayat tuberkulosis genital
- Riwayat kanker payudara
- Riwayat infertilitas tanpa diketahui penyebabnya
- Riwayat keluarga dengan penyakit kanker terkait, seperti kanker endometrium dan kanker payudara[1,2,4-10]
Manajemen Pasien dengan Red Flag Perdarahan Pascamenopause
Semua pasien dengan perdarahan pascamenopause memerlukan investigasi lebih lanjut dengan anamnesis mendalam, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan pemeriksaan penunjang spesifik. Pemeriksaan pada pasien dengan red flag perdarahan pascamenopause dilakukan untuk menilai kegawatan dan kebutuhan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan lanjut, serta kemungkinan etiologi perdarahan.
Anamnesis
Anamnesis dapat dimulai dengan pertanyaan mengenai jumlah perdarahan yang terjadi. Perdarahan pascamenopause dapat dinilai melalui banyaknya mengganti pembalut basah atau pakaian dalam tiap harinya. Selain itu, perlu ditanyakan juga mengenai onset perdarahan, keluhan penyerta seperti demam, gangguan buang air kecil, nyeri perut, serta faktor pencetus terjadinya perdarahan (misalnya setelah hubungan seksual atau trauma). Hal lain yang perlu ditanyakan adalah riwayat pemasangan ring pesarium sebelumnya.
Anamnesis juga dilakukan untuk mengetahui riwayat tertentu yang mungkin berkaitan dengan perjalanan penyakit, seperti riwayat siklus menstruasi sebelum menopause; riwayat melahirkan; riwayat komorbiditas, seperti obesitas, diabetes mellitus, hipertensi; riwayat pengobatan, seperti terapi pengganti hormon atau tamoxifen; serta riwayat penyakit pada keluarga, terutama penyakit kanker endometrium dan kanker payudara.[1,2,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan pascamenopause berupa pemeriksaan abdomen, pelvis, dan pemeriksaan pada anogenital. Pemeriksaan abdomen dan pelvis berupa inspeksi dan palpasi terhadap adanya massa dan pembesaran kelenjar getah bening. Selain itu, pemeriksaan bimanual juga dapat dilakukan untuk memeriksa ukuran, posisi, dan mobilitas uterus.
Pemeriksaan vagina melalui inspeksi langsung dan dengan menggunakan spekulum bertujuan untuk melihat sumber perdarahan. Pemeriksaan rectal toucher dapat menyingkirkan kemungkinan sumber perdarahan dari saluran cerna akibat hemoroid, divertikulitis, hingga kanker kolorektal.
Pemeriksaan terhadap saluran kemih terkadang perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan dari saluran kemih.[1,2,7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pencitraan yang rutin dilakukan pada perdarahan pascamenopause adalah pemeriksaan ultrasonografi melalui vagina atau transvaginal ultrasound (TVS). TVS dilakukan terutama pada wanita yang berisiko tinggi terhadap kanker endometrium atau yang disertai dengan tanda bahaya perdarahan pascamenopause.
TVS dapat menilai struktur pelvis dan mengukur ketebalan endometrium. Endometrium dengan ketebalan lebih dari 4 mm memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami keganasan, termasuk kanker endometrium, di mana selanjutnya perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi.[1-2,4,7]
Penegakan diagnosis histologi definitif dilakukan dengan biopsi endometrium. Biopsi ini perlu dilakukan pada seluruh wanita yang mengalami perdarahan pascamenopause yang disertai ketebalan endometrium lebih dari 4 mm. Biopsi dapat dilakukan dengan alat Pipelle di mana tidak dibutuhkan tindakan anestesi. Metode ini memiliki efektivitas yang sama dengan metode biopsi lain.
Biopsi endometrial memiliki tingkat negatif palsu 15%, sehingga bila hasil biopsi negatif dengan klinis menunjang, pemeriksaan lanjut tetap diperlukan. Bila biopsi tidak berhasil atau sulit untuk dilakukan, pemeriksaan dengan pencitraan histeroskopi dapat dilakukan untuk menilai gambaran endometrium secara langsung.
Pemeriksaan patologi lain yaitu swab vagina dilakukan bila terdapat kelainan pada sekret vagina. Sementara itu, Pap smear dapat dilakukan untuk mencari penyebab perdarahan dari sumber selain endometrium.[1,2,4,8]
Pemeriksaan hematologi rutin dapat menilai beratnya perdarahan yang ditunjukkan oleh kadar hemoglobin, sedangkan hitung jenis leukosit dapat mendeteksi keterlibatan infeksi. Selain itu, pemeriksaan kadar Ca-125 darah juga dapat dipertimbangkan, meskipun pemeriksaan ini tidak spesifik terhadap keganasan ginekologi.
Bila diperlukan, pemeriksaan urine dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan saluran kemih.[1-2,4,7]
Tonton video ALOMEDIKA di sini.