Salah satu faktor risiko yang dicurigai dapat meningkatkan insiden atrial fibrilasi (AF) adalah asthma. Hal ini didasarkan pada beberapa teori dimana asthma dan AF diduga memiliki dasar inflamasi serupa, penggunaan obat-obatan asthma yang meningkatkan risiko AF, dan adanya gangguan saraf otonom pada pasien asthma.
AF merupakan salah satu aritmia pada jantung yang paling sering ditemukan. Prevalensinya semakin meningkat setiap tahun. Sebuah studi menemukan bahwa insidensi AF untuk individu berusia < 55 tahun adalah 0,13 per 1000 orang/tahun dan angka ini akan meningkat pada individu dengan usia > 85 tahun. [1]
Karena atrial fibrilasi (AF) memiliki angka mortalitas yang tinggi, penelitian terkait faktor risiko telah banyak dilakukan. Sampai saat ini, faktor risiko yang telah diketahui adalah usia, diabetes, hipertensi, kardiomiopati, inflamasi perikardial, riwayat infark miokard, kelainan anatomi jantung, penyakit tiroid, dan penggunaan alkohol yang berlebihan. [2]
Teori Mengenai Hubungan antara Asthma dan Atrial Fibrilasi
Asthma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan. Pada kasus asthma terdapat akumulasi sel inflamatori, aktivasi sitokin, stres oksidatif, dan perubahan bentuk saluran pernapasan. Beberapa studi menduga bahwa proses inflamasi tidak hanya berpusat di saluran pernapasan, tetapi bersifat sistemik. Penanda inflamasi pada asthma ini juga ditemukan pada pasien atrial fibrilasi (AF) dan diduga menjadi salah satu patofisiologi AF. [3,4]
Selain daripada itu, penggunaan bronkodilator dan kortikosteroid pada asthma juga memiliki pengaruh terhadap denyut nadi dan dapat meningkatkan risiko aritmia. [3,4] Gangguan saraf otonom pada asthma juga diduga memicu perubahan elektrofisiologi atrium. [3]
Asthma dan AF Memiliki Dasar Inflamasi Serupa
Asthma dan AF diduga memiliki dasar inflamasi yang serupa. Inflamasi kronik yang terjadi pada asthma diduga berhubungan dengan AF. Pada pasien AF, protein inflamasi seperti protein C-reaktif dan interleukin-6 ditemukan dalam kadar yang tinggi. Peningkatan protein C-reaktif juga berkaitan dengan peningkatan rekurensi kardioversi elektrik dan ablasi. Akan tetapi, studi oleh Cepelis, et al tidak mendukung teori ini karena kadar protein C-reaktif antara kelompok AF dan non-AF tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Selain itu, penggunaan anti-inflamasi juga tidak menunjukkan adanya penurunan risiko AF. [3,4]
Selain protein C-reaktif, matriks metalloproteinase (MMP) yang merupakan enzim proteolitik diduga menjadi penghubung antara asthma dengan AF. Studi menemukan adanya peningkatan MMP-9 pada pasien AF. Selain itu, juga ditemukan adanya peningkatan aktivitas MMP dengan stimulasi alergen yang berhubungan dengan perubahan struktur saluran napas dan atrium. [3,4]
Medikamentosa Asthma Meningkatkan Risiko Aritmia
Sesuai dengan rekomendasi dari Global Initiative for Asthma, kortikosteroid dosis rendah dan agonis beta jangka pendek atau jangka panjang digunakan sebagai tatalaksana asthma persisten. [3]
Penggunaan penghambat β2 dosis tinggi dinilai meningkatkan risiko aritmia. Selain itu, ditemukan juga bahwa 98% pasien yang menggunakan penghambat β2 mengalami gangguan elektrolit yang menjadi penyebab aritmia. [3]
Gangguan Sistem Saraf Autonom
Pada pasien asthma, terdapat gangguan sistem saraf otonom saluran pernapasan yang berkaitan dengan hiperresponsif saluran napas. Hal ini diduga dapat memicu perubahan yang signifikan pada elektrofisiologi atrium sehingga menimbulkan aritmia. Akan tetapi, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan teori ini. [3]
Bukti Ilmiah Mengenai Asthma dan Atrial Fibrilasi
Sebuah studi kasus-kontrol pada tahun 2014 meneliti hubungan antara asthma dengan atrial fibrilasi (AF). Studi ini melibatkan lebih dari 7.000 subjek pada kelompok kasus dan lebih dari 10.000 subjek pada kelompok kontrol. Studi ini menemukan bahwa pasien dengan asthma memiliki risiko 1,2 kali lebih tinggi untuk terkena new-onset atrial fibrilasi. Risiko AF lebih tinggi pada pengguna kortikosteroid oral, kortikosteroid inhalasi, dan bronkodilator. [4]
Sebuah studi lain yang berupa studi kohort prospektif pada tahun 2017 membagi 54.567 subjek penderita asthma menjadi 3 sub kelompok, yaitu yang pernah mengalami gejala asthma, yang terdiagnosis asthma, dan yang memiliki asthma aktif. Hasil studi menunjukkan bahwa pasien yang pernah mengalami gejala asthma memiliki risiko 1,3 kali lebih tinggi untuk mengalami AF dibandingkan dengan kelompok kontrol, pasien yang terdiagnosis asthma memiliki risiko 1,42 kali lebih tinggi, dan pasien dengan asthma aktif memiliki risiko paling tinggi yaitu 1,81 kali. [3]
Kontrol terhadap asthma juga berpengaruh terhadap risiko atrial fibrilasi (AF). Subjek dengan asthma yang tidak terkontrol memiliki risiko paling tinggi untuk mengalami AF dibandingkan dengan kelompok kontrol. Studi ini tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara asthma dengan jenis kelamin, indeks massa tubuh, rokok, dan aktivitas fisik. [3]
Penelitian yang lebih baru juga menemukan hasil yang serupa. Studi potong lintang dengan 164 subjek ini meneliti hubungan antara asthma dengan dispersi gelompang P, yaitu perbedaan antara gelombang P terlebar dan tersempit untuk memprediksi risiko AF. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa pada kelompok asthma, kejadian dispersi gelombang P secara statistik lebih tinggi, sehingga risiko penderita asthma untuk mengalami AF juga lebih tinggi. [5].
Kesimpulan
Asthma diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya atrial fibrilasi (AF) karena memiliki dasar inflamasi yang serupa, penggunaan obat-obat asthma yang dapat meningkatkan risiko AF, serta gangguan saraf otonom pada asthma yang diduga mempengaruhi elektrofisiologi atrium. Studi observasional yang ada menunjukan bahwa pasien dengan asthma, status asthma tidak terkontrol, dan penggunaan obat-obatan asthma (kortikosteroid oral, kortikosteroid inhalasi, dan bronkodilator), meningkatkan risiko kejadian atrial fibrilasi.