Saat ini, salah satu terobosan baru dalam manajemen diabetes melitus adalah pemberian makanan rendah glikemik indeks. Telah diketahui bahwa manajemen diet yang sehat merupakan upaya pencegahan dan penatalaksanaan diabetes melitus. Hal ini karena kurangnya aktivitas fisik dan berat badan yang overweight/obesitas merupakan penyebab tersering munculnya diabetes melitus.[1,2]
Diabetes melitus, terutama diabetes melitus tipe 2, merupakan masalah kesehatan publik di seluruh dunia. Diabetes berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi bila tidak terkontrol, dengan risiko komplikasi jangka waktu pendek maupun panjang, sepertI gagal ginjal kronis, gangguan kardiovaskular, stroke, retinopati diabetik, dan ulkus diabetikum yang dapat menyebabkan amputasi.[1,2]
Pengelolaan Diet dalam Manajemen Diabetes Melitus
Pendekatan manajemen diabetes melitus harus dilakukan secara holistik, termasuk modifikasi diet. Fokus manajemen diabetes melitus adalah menjaga kadar glukosa darah yang normal, agar tidak hiperglikemia maupun hipoglikemia (target terapi adalah HbA1c <7%).
Kadar glukosa darah tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jumlah karbohidrat, protein, lemak, dan serat yang dikonsumsi pasien. Selain itu, tipe karbohidrat dan proses produksi makanan juga dapat memengaruhi kadar glukosa darah.
American Diabetes Association’s Standards of Medical Care in Diabetes merekomendasikan manajemen diabetes yang berfokus pada perubahan gaya hidup, termasuk diet dan aktivitas fisik. Penelitian oleh Garcia-Molina et al menunjukkan bahwa intervensi gaya hidup yang dikombinasikan dengan terapi standar lebih baik daripada terapi standar saja dalam pengendalian glukosa darah. Intervensi gaya hidup di sini termasuk diet dan olahraga yang intensif, terutama jika hal tersebut mengakibatkan penurunan berat badan.[1-3]
Peran Makanan Rendah Glikemik Indeks dalam Manajemen Diabetes Melitus
Glikemik indeks (GI) pada makanan menunjukkan peningkatan konsentrasi glukosa darah postprandial dari kandungan karbohidrat pada makanan tersebut, jika dibandingkan dengan glukosa murni atau roti putih. Makanan yang mengandung karbohidrat yang dapat terurai dan terserap dengan cepat ke dalam darah disebut sebagai makanan tinggi glikemik indeks.[3-5]
Sebaliknya, makanan rendah glikemik indeks mengandung karbohidrat yang dicerna lebih lambat, sehingga dipercaya memiliki dampak peningkatan kadar glukosa darah dan respons insulin yang lebih lambat. Makanan ini bermanfaat untuk mempertahankan kadar glukosa darah postprandial yang lebih rendah, dan dapat membantu menjaga kadar glukosa darah yang lebih baik dalam jangka panjang.[3-5]
Penelitian Terkait Makanan Rendah Glikemik Indeks
Studi epidemiologi oleh Jenkins et al mempelajari hubungan antara jenis diet pada berbagai negara di 5 benua dengan kejadian kardiovaskular utama (kematian kardiovaskular, infark miokard nonfatal, stroke, dan gagal jantung) atau kematian karena sebab apa pun. Studi ini menunjukkan bahwa diet makanan rendah glikemik indeks berkaitan dengan kadar glukosa postprandial, kolesterol, C-reactive protein, dan tekanan darah yang lebih rendah.[5]
Pola diet tinggi glikemik indeks dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kematian. Makanan berkarbohidrat berkualitas buruk adalah makanan dan minuman yang mengandung sedikit serat dan tinggi glikemik indeks (ukuran seberapa banyak 50 g karbohidrat dari makanan tertentu meningkatkan kadar glukosa darah).[5]
Meta analisis oleh Zafar et al menyimpulkan bahwa diet rendah glikemik indeks dapat bermanfaat untuk pasien diabetes mellitus tipe 2 dalam mengontrol kadar glukosa darah dan juga lemak tubuh.[4]
Sementara, meta analisis oleh Chiavaroli et al menunjukkan bahwa pola diet rendah glikemik indeks menghasilkan kontrol glukosa yang lebih baik dan faktor risiko kardiometabolik lainnya yang lebih rendah jika dibandingkan dengan diet tinggi glikemik indeks, pada subjek dengan diabetes melitus tipe 1 atau 2.[7]
Studi crossover acak dan terkontrol oleh Kaur et al memantau kadar glukosa darah selama 3 hari pada subjek, yaitu 13 orang laki-laki usia +25 tahun, BMI +21 kg/m2, dan glukosa darah puasa +85 mg/dL. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat biskuit LGI 1 (GI 54 ± 3,3) kelompok biskuit LGI 2 (GI 23,8 ± 3,3). Setiap subjek mengonsumsi makanan standar yang sama untuk makan siang dan makan malam, sedangkan biskuit dikonsumsi sebagai sarapan dan snack sore.[3]
Hasil studi menemukan bahwa konsumsi biskuit dengan glikemik indeks lebih rendah memberikan respon glukosa darah postprandial yang lebih rendah. Hal ini dapat menjadi strategi dalam manajemen diet untuk pasien diabetes melitus atau untuk individu dengan risiko diabetes melitus.[3]
Terobosan Baru Makanan Rendah Glikemik Indeks
Di Indonesia, telah dikembangkan makanan pokok dari bahan baku selain beras (bahan nasi putih). Beras analog dari bahan baku lokal yang dimaksud di antaranya ubi ungu, jagung, pisang, sorgum, dan singkong. Tinjauan sistematis oleh Lauwis et al menganalisis 56 literatur ilmiah terstandar yang mempelajari senyawa nutrisi dan mekanisme beras analog dari berbagai bahan baku lokal tersebut.[8]
Hasil tinjauan menemukan pada bahan jagung memiliki kandungan antidiabetik, seperti polifenol, feruloylated arabinose, dan free phenolic fractions. Kandungan dari ekstrak jagung tersebut dapat menghambat kerja enzim α- amilase dan α-glukosidase. Enzim α-glukosidase berperan dalam hidrolisis makanan menjadi glukosa dan monosakarida, sehingga menghambat enzim ini dapat menurunkan glukosa darah dan meningkatkan pengendalian diabetes.[8]
Sementara itu, pada bahan yang berasal dari singkong, juga ditemukan mengandung banyak phenolic. Kandungan ini berperan dalam pengikatan ion oksigen negatif dan radikal bebas hidroksil, serta menghambat enzim α-amilase dan α-glukosidase. Singkong juga mengandung serat dan pati, yang dapat menghambat peningkatan kadar glukosa darah karena resisten terhadap proses hidrolisis dari enzim.[8]
Manajemen Diet untuk Diabetes Melitus pada Anak-Anak
Selain dewasa maupun lanjut usia, anak-anak juga dapat mengalami diabetes melitus, baik diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan 86% dari 280.000 pasien diabetes di bawah usia 20 tahun adalah diabetes melitus tipe 1.[9-11]
Sementara itu, diabetes melitus tipe 2 pada anak-anak seringkali terjadi seiring dengan kasus obesitas. Serupa seperti pada pasien dewasa, nutrisi dan manajemen diet juga berperan penting dalam tata laksana diabetes pada anak. Orang tua perlu diberikan edukasi mengenai pilihan makanan yang tepat, seperti kandungan karbohidrat dan glikemik indeks pada makanan.[9-11]
Manajemen diet pada pasien anak dengan diabetes memiliki peran penting, di mana rekomendasi diet untuk anak dengan diabetes mellitus mengacu pada guidelines makan sehat di populasi umum.[12]
Penelitian oleh Levran et al mempelajari diet mediterania dan kaitannya dengan manajemen diabetes pada remaja. Diet mediterania berfokus pada konsumsi gandum, buah, sayur, ikan, dan produk susu low fat, serta mengurangi asupan daging, makanan yang diproses, dan makanan manis. Penelitian ini mendukung konsumsi karbohidrat rendah glikemik indeks untuk meningkatkan kontrol glukosa darah pasien anak dengan diabetes.[12]
Kesimpulan
Diabetes melitus adalah permasalahan kesehatan yang saat ini semakin meningkat prevalensinya secara global, termasuk di Indonesia. Diabetes melitus tidak hanya dapat dialami oleh orang dewasa maupun lanjut usia, tetapi juga pada anak-anak. Diabetes melitus dapat mengakibatkan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang yang sangat berat bila tidak terkontrol.
Salah satu upaya untuk mengelola kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus adalah manajemen diet. Diet dengan makanan rendah glikemik indeks dapat membantu kontrol glukosa darah yang baik dengan proses pemecahan yang lebih lambat, sehingga menghasilkan kadar glukosa darah dan respon insulin yang lebih stabil.
Hal ini dapat memberikan dampak yang baik pada pengelolaan diabetes untuk jangka panjang. Tingkat konsumsi nasi putih di Indonesia sangatlah tinggi, yang diduga dapat meningkatkan laju kejadian diabetes melitus. Oleh karena itu, telah dikembangkan produksi beras analog yang mempertahankan kandungan rendah glikemik indeks, seperti nasi jagung dan nasi singkong.
Inovasi nasi jagung dan nasi singkong saat ini memiliki bentuk yang sudah mirip dengan nasi, sehingga mudah diterima oleh lidah orang Indonesia yang sudah terbiasa makan nasi. Inovasi ini berbeda dengan tiwul ataupun pipilan jagung, di mana rasanya lebih dapat diterima oleh pasien.