Torakosentesis Tidak Bermanfaat pada Kasus Gagal Jantung – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

A Randomized Controlled Trial of Thoracentesis in Acute Heart Failure

Glargaard S, Hartvig Thomsen J, Tuxen C, et al. A Randomized Controlled Trial of Thoracentesis in Acute Heart Failure. Circulation. 2025. doi: 10.1161/CIRCULATIONAHA.124.073521.

studiberkelas

Abstrak

Latar Belakang: TAP-IT (Thoracentesis to Alleviate Cardiac Pleural Effusion-Interventional Trial) menyelidiki efek torakosentesis terapeutik sebagai tambahan terapi medis standar pada pasien gagal jantung akut yang disertai dengan efusi pleura signifikan.

Metode: Penelitian ini merupakan uji coba acak terkontrol, multisenter, tidak tersamar (unblinded), yang dilakukan antara 31 Agustus 2021 dan 22 Maret 2024, melibatkan pasien dengan gagal jantung akut, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤45%, dan efusi pleura yang signifikan. Pasien dengan efusi yang sangat besar (lebih dari dua pertiga hemitoraks) tidak diikutsertakan.

Peserta secara acak 1:1 dibagi menjadi 2 kelompok: (1) mendapatkan terapi torakosentesis dengan kateter pigtail (pemasangan dipandu dengan ultrasound) sebagai tambahan terapi medis standar atau (2) hanya mendapatkan terapi medis standar saja. Luaran primer adalah jumlah hari hidup di luar rumah sakit selama 90 hari berikutnya; luaran sekunder utama meliputi durasi rawat inap dan mortalitas 90 hari secara keseluruhan. Semua luaran dianalisis berdasarkan prinsip intention-to-treat.

Hasil: Sebanyak 135 pasien (usia median, 81 tahun; 33% perempuan; fraksi ejeksi ventrikel kiri median, 25%) diacak untuk mendapatkan torakosentesis (n=68) atau terapi medis standar (n=67). Kelompok torakosentesis memiliki median 84 hari (77; 86) hidup di luar rumah sakit selama 90 hari berikutnya dibandingkan dengan 82 hari (73; 86) pada kelompok kontrol (P=0,42).

Angka mortalitas adalah 13% pada kedua kelompok, dengan tidak ada perbedaan dalam probabilitas kelangsungan hidup (P=0,90). Tidak ada perbedaan dalam durasi rawat inap awal (median kelompok kontrol, 5 hari; median kelompok torakosentesis, 5 hari). Komplikasi mayor hanya terjadi pada 1% dari seluruh prosedur torakosentesis yang dilakukan selama periode studi.

Kesimpulan: Pada pasien dengan gagal jantung akut dan efusi pleura, strategi tindakan torakosentesis rutin sebagai tambahan terapi medis standar tidak meningkatkan jumlah hari hidup di luar rumah sakit selama 90 hari, mortalitas, maupun durasi rawat inap. Temuan ini menjadi dasar bagi penelitian lanjutan untuk mengonfirmasi hasil tersebut.

Torakosentesis pada Kasus Gagal Jantung

Ulasan Alomedika

Efusi pleura sering ditemukan pada pasien gagal jantung akut, baik terdiagnosis melalui radiografi dada atau sonografi. Drainase cairan invasif dengan torakosentesis terapeutik merupakan tindakan yang kerap digunakan untuk mengatasinya, terutama pada kasus efusi yang cukup besar. Torakosentesis diharapkan dapat mengatasi gejala dengan cepat, tetapi berisiko menimbulkan efek masking terhadap kebutuhan terapi diuretik dan tidak lepas dari risiko komplikasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penambahan prosedur torakosentesis secara rutin pada pasien gagal jantung akut dengan efusi pleura yang signifikan akan memengaruhi luaran klinis, seperti peningkatan jumlah hari hidup di luar rumah sakit, pengurangan durasi rawat inap, dan penurunan mortalitas, dibandingkan dengan terapi medis standar.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain uji coba terkontrol secara acak yang dilakukan di beberapa pusat (multisenter) di Denmark. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efek torakosentesis terapeutik sebagai tambahan terapi medis standar pada pasien gagal jantung akut yang disertai dengan efusi pleura.

Partisipan dan Intervensi

Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien dewasa dengan gagal jantung akut, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤45%, dan efusi pleura yang cukup signifikan. Pasien dengan efusi sangat besar (lebih dari dua pertiga hemitoraks) atau didapatkan adanya indikasi torakosentesis dikecualikan, sehingga hasil penelitian lebih relevan untuk populasi yang efusinya berada pada tingkat yang “dapat diintervensi” secara klinis, namun tanpa disertai risiko mekanis yang sangat tinggi.

Sebanyak 135 pasien ikut serta dalam penelitian ini, yang kemudian dibagi secara acak 1:1 menjadi 2 kelompok. Kelompok intervensi akan menjalani prosedur torakosentesis di awal masa rawat inap, menggunakan panduan ultrasound dan kateter pigtail sebagai tambahan pada terapi medis standar, sedangkan kelompok kontrol akan menerima terapi medis standar saja (diuretik dan terapi gagal jantung sesuai pedoman).

Evaluasi Luaran:

Luaran primer adalah jumlah hari hidup di luar rumah sakit selama 90 hari setelah intervensi. Luaran sekunder utama meliputi durasi rawat inap awal dan mortalitas 90 hari secara keseluruhan, yang merupakan parameter klinis penting untuk pasien gagal jantung akut. Kualitas hidup juga ikut diukur sebagai luaran sekunder berdasarkan skor KCCQ (Kansas City Cardiomyopathy Questionnaire) pada hari ke-14 dan 90, serta tingkat kepuasan keseluruhan perawatan.

Kejadian komplikasi yang berat dan umum yang terjadi selama masa intervensi dicatat untuk menilai keamanan intervensi. Seluruh analisis dilakukan berdasarkan prinsip intention-to-treat, memastikan bahwa semua pasien yang diacak dimasukkan dalam analisis akhir terlepas dari keberhasilan atau kegagalan prosedur.

Ulasan Hasil Penelitian

Pasien yang menerima torakosentesis memiliki median 84 hari hidup di luar rumah sakit dibandingkan dengan 82 hari pada kelompok kontrol. Perbedaan ini tidak mencapai signifikansi statistik (P=0,42), yang menunjukkan bahwa penambahan torakosentesis tidak memberikan manfaat yang berarti.

Tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok dalam hal durasi rawat inap awal (median 5 hari pada kedua kelompok) maupun tingkat mortalitas 90 hari (masing-masing 13%, P=0,90). Hal ini mengindikasikan bahwa torakosentesis rutin tidak mempengaruhi pengurangan risiko kematian atau mempercepat pemulihan pasien dalam jangka pendek. Terkait tingkat kualitas hidup, analisis lengkap dari skor kuesioner KCCQ menunjukkan tidak ada perbedaan antar kelompok dalam hal kepuasan pasien secara umum.

Selama masa studi, telah dilakukan sebanyak 80 tindakan torakosentesis. Tidak ditemukan komplikasi mayor seperti perdarahan hebat (hemotoraks), laserasi organ, infeksi intrapleura, atau edema paru re-ekspansi, dengan angka komplikasi mayor hanya 1 dari 80 prosedur (1%). Namun, 20 dari 80 tindakan torakosentesis (25%) menyebabkan komplikasi ringan atau ketidaknyamanan pada pasien, sehingga total angka komplikasi keseluruhan mencapai 26% (21 dari 80 prosedur).

Kelebihan Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan uji coba terkontrol secara acak, yang merupakan metode yang dianggap sebagai baku emas dalam mengevaluasi efikasi intervensi atau prosedur medis. Uji coba ini berbasis multisenter, melibatkan 10 rumah sakit pendidikan di Denmark, yang termasuk tiga rumah sakit tersier yang merupakan pusat rujukan, sehingga hasil penelitian diharapkan dapat digeneralisasikan pada populasi, khususnya populasi Denmark.

Pembagian pasien secara acak meningkatkan validitas internal, mengurangi bias seleksi, dan memungkinkan perbandingan langsung antara kedua kelompok intervensi. Luaran primer adalah jumlah hari hidup di luar rumah sakit selama 90 hari serta luaran sekunder utama meliputi durasi rawat inap dan mortalitas 90 hari secara keseluruhan, yang merupakan parameter klinis yang relevan, khususnya berkaitan kualitas hidup dan biaya perawatan pasien gagal jantung.

Semua luaran dianalisis berdasarkan prinsip intention-to-treat (ITT), memastikan bahwa analisis tidak bias akibat perbedaan antara pasien yang mungkin mengalami kegagalan intervensi atau drop-out. Pendekatan ITT merupakan standar emas dalam uji coba acak karena menghindari bias seleksi post-randomisasi yang mungkin muncul jika hanya pasien yang "mematuhi" intervensi yang dianalisis. Hal ini merefleksikan praktik klinis nyata di mana tidak semua pasien dapat atau mau mengikuti terapi sesuai rencana.

Limitasi Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhitungkan dalam interpretasi hasilnya. Pertama, desain studi yang tidak blinding (open-label) berpotensi menimbulkan bias dari sisi pasien maupun peneliti, meskipun luaran yang diukur sebagian besar bersifat objektif. Dengan total sampel yang relatif kecil (total 135 pasien), penelitian ini memiliki keterbatasan dalam mendeteksi perbedaan kecil antar kelompok, terutama untuk luaran yang berdimensi kompleks seperti mortalitas.

Selain itu, populasi studi terbatas pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤45% dan mayoritas merupakan pasien lanjut usia (usia median 81 tahun) dengan berbagai komorbiditas, sehingga hasil yang diperoleh mungkin tidak dapat digeneralisasikan kepada pasien dengan tipe gagal jantung lain, seperti Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFpEF), maupun kepada populasi usia yang lebih muda.

Teknik prosedur torakosentesis antar rumah sakit mungkin berbeda dan dapat mempengaruhi konsistensi dan keakuratan pelaksanaan intervensi, yang berujung pada hasil akhir, termasuk kejadian komplikasi. Durasi follow-up selama 90 hari hanya memberikan gambaran efek jangka pendek, sedangkan efek jangka panjang dari intervensi torakosentesis pada luaran klinis mungkin belum terungkap.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Torakosentesis juga merupakan tindakan yang banyak dilakukan pada pasien dengan gagal jantung yang mengalami efusi pleura. Studi ini menunjukkan bahwa tindakan torakosentesis tidak menambah manfaat klinis bagi pasien gagal jantung dengan efusi pleura tetapi tetap membawa risiko komplikasi tindakan, sehingga risiko harm tampaknya lebih besar dibandingkan benefit.

Oleh sebab itu, meskipun secara logika tindakan torakosentesis masuk akal dilakukan pada pasien gagal jantung dengan efusi pleura, tidak berarti bahwa otomatis efikasi tindakan ini didukung oleh basis bukti ilmiah. Temuan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan pedoman manajemen gagal jantung di Indonesia, dengan penekanan pada optimalisasi terapi medis standar sebelum mempertimbangkan intervensi invasif tambahan.

Referensi