Obat penekan asam lambung atau acid suppressant banyak digunakan dalam penanganan dyspepsia. Dyspepsia adalah rasa tidak nyaman pada abdomen bagian atas yang dapat dibedakan menjadi dyspepsia fungsional dan organik. Sebanyak 70% penderita dengan gejala dyspepsia kronis termasuk dalam dyspepsia fungsional. Contoh acid suppressant yang sering digunakan dalam penanganan dyspepsia adalah proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole dan histamine-2 receptor antagonist (H2 blocker) seperti ranitidine.
Dyspepsia fungsional ditandai oleh gejala kronis gastrointestinal seperti rasa penuh, nyeri epigastrik, atau rasa terbakar, tanpa disertai adanya kelainan organik. Dyspepsia fungsional dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan gejala yang mendominasi, yakni postprandial distress (PPS) dan epigastric pain syndrome (EPS).
Meskipun bukan kondisi mengancam nyawa, dyspepsia dapat sangat mengganggu kualitas hidup dan produktivitas pasien. Sekitar 40% pasien dengan gejala dyspepsia memerlukan terapi farmakologi. Acid suppressant merupakan terapi empiris pilihan pada dyspepsia yang tidak disertai tanda bahaya seperti disfagia, penurunan berat badan, atau gejala perdarahan gastrointestinal dan anemia.[1,2]
Keuntungan Penggunaan Acid Suppressant dalam Terapi Dyspepsia
National Institute for Health and Care Excellence (NICE) merekomendasikan acid suppressant sebagai terapi lini pertama pada kasus dyspepsia. Acid suppressant yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi PPI, H2 blocker, dan potassium-competitive acid blockers (P-CAB).
Telah banyak bukti ilmiah yang mendukung efikasi PPI dan H2 blocker dalam penanganan dispepsia. Kedua golongan obat tersebut juga tersedia secara luas dan memiliki harga yang relatif terjangkau.
PPI, seperti omeprazole dan lansoprazole, saat ini dianggap sebagai terapi inisial yang paling efektif. Beberapa studi melaporkan bahwa PPI lebih superior dibandingkan H2 blocker seperti ranitidine, terutama pada penderita dengan gejala nyeri epigastrik yang dominan.
Di sisi lain, P-CAB, seperti vonoprazan, merupakan acid suppressant golongan baru. Berbagai bukti yang tersedia saat ini mengindikasikan bahwa P-CAB memiliki efikasi yang serupa dengan PPI. Meski demikian, golongan obat ini masih belum dimasukkan dalam pedoman klinis dan masih memerlukan studi lebih lanjut.[1-3]
Keterbatasan Penggunaan Acid Suppressant dalam Terapi Dyspepsia
Tidak semua kasus dengan keluhan dyspepsia berkaitan dengan sekresi asam lambung yang berlebih. Oleh sebab itu, terapi acid suppressant tidak bisa dianggap manjur untuk seluruh kasus dyspepsia.
Terapi acid suppressant lebih efektif diberikan pada kasus dyspepsia yang didominasi epigastric pain. Sedangkan, pada kasus dyspepsia dengan gejala dismotilitas yang dominan, acid suppressant telah dilaporkan tidak memberi efek berbeda bermakna dengan plasebo.
Keterbatasan lain dari terapi acid suppressant adalah risiko penggunaan berlebihan atau overuse. Banyak praktisi menganggap penggunaan acid suppressant aman, memiliki tolerabilitas yang baik, dan tidak membawa risiko kesehatan bermakna. Atas dasar ini, acid suppressant sering digunakan secara berlebihan atau tanpa disertai indikasi yang jelas.[4,5]
Risiko Penggunaan Acid Suppressant
Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan acid suppressant membawa risiko tersendiri. Asam lambung merupakan salah satu mekanisme pertahanan natural terhadap bakteri pada saluran gastrointestinal. Kondisi hipokloridia akibat penggunaan acid suppressant meningkatkan risiko kolonisasi bakteri, perubahan flora intestinal, dan peningkatan kerentanan terhadap bakteri enterik. Selain itu, hipokloridia juga diketahui menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi dan vitamin, termasuk magnesium dan vitamin B12.[6,7]
Peningkatan Risiko Infeksi
Secara rasional, penggunaan obat acid suppressant akan menghambat produksi asam lambung, menyebabkan peningkatan dari pH gaster, dan mengganggu homeostasis intestinal. Hilangnya efek bakterisidal dari asam lambung dan perubahan suasana keasaman dari gaster menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri.
PPI juga diketahui dapat mengganggu fungsi fagositosis dari leukosit dan fagolisosom. Mikroaspirasi dari cairan gaster yang mengandung banyak bakteri meningkatkan risiko kolonisasi pada trakea dan paru-paru, serta dapat berujung menyebabkan pneumonia. Telah terdapat studi yang mengaitkan penggunaan jangka panjang PPI pada pasien diabetes mellitus dengan peningkatan risiko pneumonia hingga 1,7 kali.[6-9]
Gangguan Absorpsi Vitamin dan Mineral
Vitamin B12 adalah vitamin larut air yang tidak dapat dibuat oleh tubuh sendiri. Sumber dari vitamin B12 pada umumnya berasal dari diet, seperti daging, ikan, produk susu, dan sereal yang terfortifikasi. Vitamin B12 merupakan salah satu vitamin yang sifatnya esensial bagi tubuh karena berguna untuk sintesis DNA, fungsi otak dan sistem saraf yang normal, serta produksi dari sel darah merah.
Vitamin B12 akan dilepaskan dari protein diet dengan bantuan asam lambung dan pepsin. Vitamin B12 yang bebas akan membentuk kompleks bersama faktor intrinsik dan akan diserap oleh ileum terminalis. Berkurangnya asam lambung dan menurunnya konversi pepsinogen menjadi pepsin menyebabkan berkurangnya pembebasan vitamin B12. Hal ini berakibat dengan penurunan jumlah vitamin B12 yang dapat diabsorpsi di tubuh.
Selain vitamin B12, studi membuktikan bahwa perubahan pH intraluminal usus menyebabkan penurunan absorpsi magnesium di usus halus dengan mengganggu afinitas reseptor magnesium dan aktivitas transport aktif oleh transporter. Hal ini dapat memicu kondisi hipomagnesemia.[8-14]
Risiko Dementia
Dementia adalah penyakit yang ditandai dengan deteriorasi dari kemampuan kognitif yang menyebabkan seorang individu tidak mampu hidup tanpa bergantung pada orang lain. Penumpukan dari protein amyloid-β di otak merupakan penyebab dementia yang paling banyak dikenal saat ini.
Penggunaan PPI diketahui mengganggu proses degradasi dari protein amyloid-β dan dapat bekerja sebagai modulator dari γ-secretase dan β-secretase yang akan meningkatkan produksi dari amyloid β.
Defisiensi vitamin B12 akibat konsumsi acid suppressant juga dapat mengganggu pengolahan homosistein menjadi metionin dan menyebabkan kondisi hiperhomosisteinemia. Hiperhomosisteinemia diketahui dapat menyebabkan peningkatan produksi dari Aβ yang diketahui berperan dalam patofisiologi dementia.[9,15]
Risiko Penyakit Ginjal Kronis
Mekanisme penggunaan acid suppressant dalam menyebabkan gangguan ginjal masih belum jelas. Salah satu mekanisme yang diduga menyebabkan gangguan ginjal adalah terjadinya reaksi alergi obat yang dimediasi oleh respon seluler yang menyebabkan nefritis interstisial akut.
Etiologi terbanyak dari nefritis interstisial akut adalah obat, dimana 14% berkaitan dengan konsumsi PPI. Pasien yang pernah mengalami jejas ginjal akut memiliki risiko lebih besar menjadi penyakit ginjal kronis dibandingkan pasien yang tidak pernah mengalami jejas sebelumnya. Selain itu, nefritis interstitial akut (AIN) pada penggunaan PPI sering kali bersifat subklinis atau tidak terdiagnosis sehingga berkembang menjadi gagal ginjal kronis.[8,9,16]
Risiko Fraktur
Penggunaan jangka panjang dari acid suppressant, terutama PPI, telah dikaitkan dengan penurunan densitas tulang yang pada akhirnya dikaitkan dengan osteoporosis. Telah banyak studi mengaitkan hal tersebut dengan peningkatan risiko fraktur, terutama fraktur panggul.[17]
Risiko Keganasan Gastrointestinal
Konsumsi acid suppressant jangka panjang, terutama PPI, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker lambung. Hal ini diduga berkaitan dengan terjadinya atrofi lambung, hipergastrinemia, dan hiperplasia sel enterochromaffin.[18]
Kesimpulan
Acid suppressant merupakan terapi yang paling banyak digunakan pada pasien dengan keluhan dyspepsia. Ini termasuk proton pump inhibitor seperti omeprazole, serta histamine-2 receptor antagonist (H2 blocker) seperti ranitidine.
Berbagai studi telah melaporkan bahwa acid suppressant efektif dan memiliki tolerabilitas yang baik dalam penanganan dyspepsia. Obat golongan ini juga mudah didapatkan dan memiliki harga yang relatif terjangkau.
Meski demikian, penggunaan acid suppressant juga telah dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan, terutama jika digunakan jangka panjang. Risiko ini mencakup peningkatan risiko fraktur patologis, keganasan gastrointestinal, pneumonia, gangguan ginjal, dan dementia. Oleh sebab itu, acid suppressant perlu digunakan secara lebih rasional. Pendekatan penanganan dyspepsia sebaiknya lebih mengandalkan terapi nonfarmakologi, seperti modifikasi gaya hidup, dibandingkan terapi simptomatik dengan acid suppressant.
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra