Berbagai kombinasi herbal telah disarankan di berbagai negara sebagai alternatif terapi dispepsia fungsional (functional dyspepsia/FD). Dispepsia fungsional (FD) merupakan kumpulan gejala gastrointestinal kronis atau berulang tanpa penyebab organik, seperti kelainan struktural atau biokimia.[1,2]
Penyebab dispepsia fungsional masih belum dipahami dengan jelas. Akan tetapi, terdapat sejumlah mekanisme yang diperkirakan mendasari kelainan FD, yakni kelainan motilitas saluran cerna atas, hipersensitivitas visceral, inflamasi mukosa saluran cerna atas, perubahan sekresi asam lambung dan mukosa duodenum, stress, masalah psikologis, dan predisposisi genetik. Maka dari itu, tata laksana FD akan lebih berfokus pada mekanisme ini.[3]
Prevalensi FD tertinggi dilaporkan terjadi pada negara-negara barat dengan persentase sekitar 10 hingga 40%. Di kawasan Asia, prevalensi FD bervariasi dari 5 hingga 30%. Kejadian FD lebih sering ditemukan pada wanita, karena adanya perbedaan pengaruh inherent sex-specific pada fungsi gastrointestinal, misalnya karena hormonal dan reseptor nyeri yang lebih banyak.[2,4]
Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional dan Kriteria Diagnosis
Gejala FD terdiri dari 3 subtipe, yakni:
-
Epigastric pain syndrome (EPS), yaitu gejala kram abdomen, nyeri epigastrik atau burning
Postprandial distress syndrome (PDS), yaitu hilang nafsu makan, early satiety, mual, retching, muntah, kembung
Overlapping subtipe EPS dan PDS[2]
Gejala ini sering ditemukan dengan keluhan penyerta seperti masalah gangguan tidur, nyeri kepala, diaforesis, ataupun irritable bladder.[2,6]
Penegakkan diagnosis FD adalah berdasarkan kriteria Rome IV, dimana FD didefinisikan oleh adanya gejala postprandial fullness, mudah kenyang (early satiety), nyeri epigastrik dan epigastric burning tanpa temuan kelainan struktural. Gejala tersebut cukup mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan timbul sedikitnya 3 hari per minggu selama 3 bulan, dengan onset berulang minimal dalam 6 bulan terakhir.[2,5]
Tata Laksana Medikamentosa dan Non Medikamentosa untuk Dispepsia Fungsional
Terapi medikamentosa lini pertama yang lazim digunakan saat ini ialah pompa penghambat proton, seperti omeprazole, atau antagonis reseptor H2, seperti ranitidin. Jika gejala menetap, dapat ditambahkan agen prokinetik, seperti domperidone, ataupun dengan antidepresan trisiklik, seperti amitriptyline.[6]
Akan tetapi, terapi medikamentosa pada kebanyakan kasus tidak mengurangi angka rekurensi dan berisiko efek samping pada penggunaannya, sehingga tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang. Maka dari itu, ada pula terapi non medikamentosa dapat disarankan sebagai alternatif terapi untuk dispepsia fungsional yang meliputi psikoterapi, suplementasi herbal, modifikasi gaya hidup, intervensi diet, akupuntur, dan electrical stimulation.[6]
Terapi Kombinasi Herbal untuk Dispepsia Fungsional
Terapi kombinasi herbal untuk dispepsia fungsional mulai dikenal dan disarankan sebagai alternatif atau terapi tambahan untuk dispepsia fungsional. Adapun ekstrak herbal yang paling banyak dimanfaatkan pada terapi ini meliputi ekstrak Iberis amara totalis (bitter candytuft), Angelica archangelica radix (akar tanaman angelica), Matricaria chamomilla (chamomile), Carum carvi (caraway/jintan), dan Cardui mariae fructus yang merupakan buah Silybum marianum matang yang dikeringkan (buah milk thistle).[3,7]
Selain itu, ekstrak herbal lain yang juga digunakan adalah Melissa officinalis (lemon balm leaf), Glycyrrhiza glabra (liquorice/Liquiritiae radix/akar manis), Chelidonii herba/majus, dan Menthae piperitae folium (daun peppermint).[3,7]
Beberapa mekanisme yang mendasari penggunaan terapi kombinasi herbal sebagai salah satu terapi alternatif dalam FD, antara lain mempengaruhi motilitas dan sekresi saluran cerna atas, serta memberikan efek antiinflamasi pada saluran cerna atas. Melalui mekanisme tersebut, diharapkan terapi kombinasi herbal ini dapat memberikan perbaikan gejala pada FD yang refrakter, baik pada subtipe EPS, PDS, maupun campuran keduanya.[3,6,7,19]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Motilitas Gaster
Studi pada manusia efek terapi kombinasi herbal pada motilitas gaster baru dilakukan dalam skala kecil. Pada studi kecil ini ditemukan bahwa terapi kombinasi herbal menstimulasi relaksasi fundus dan korpus (yang diukur dengan gastric barostat), serta meningkatkan motilitas antrum pada gaster (yang diukur dengan manometri antroduodenal). Namun, mekanisme pasti yang mendasari hal ini belum jelas.[7,19-21]
Akan tetapi, efeknya terhadap motilitas gaster telah diuji secara ex vivo pada jaringan otot gaster guinea pig dan in vivo pada guinea pig. Pada regio fundus dan corpus, ekstrak herbal menghambat aktivitas otot secara dose-dependent, sehingga terjadi relaksasi fundus, serta mengurangi tonus atau spasme pada area tersebut.
Pada regio antrum gaster, terapi kombinasi herbal ini meningkatkan kontraktilitas otot melalui peningkatan influks kalsium ke otot antrum. Hipomotilitas antrum gaster diduga telah diperkirakan sebagai salah satu mekanisme dispepsia fungsional yang mengganggu pengosongan lambung.[3,7,9]
Ekstrak angelica, chamomile, dan liquorice memberikan efek relaksasi pada bagian proksimal gaster, yaitu fundus dan corpus. Sedangkan ekstrak herbal lainnya (kecuali peppermint dan milk thistle) menyebabkan terjadinya kontraksi antrum.[7]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Motilitas Usus
Efek pada motilitas usus untuk terapi herbal kombinasi ini ditemukan pada jaringan usus guinea pig, yang meliputi duodenum, jejunum, ileum, dan kolon. Pada studi tersebut ditemukan bahwa, terapi kombinasi herbal pada usus besar dan usus kecil yang sedang berkontraksi memberikan efek spasmolitik. Akan tetapi, saat relaksasi terapi kombinasi herbal ini meningkatkan tonus resting basal pada usus besar dan usus kecil. Efek ini dikenal dengan dual action.[3,19]
Efek dual action ini belum dapat dijelaskan pada manusia. Akan tetapi, pada studi dengan responden manusia, terapi kombinasi herbal ditemukan noninferior dibandingkan dengan plasebo untuk mengurangi skor gastrointestinal symptom (GIS). Skor gastrointestinal symptom (GIS) digunakan untuk mengevaluasi gejala FD. Efek terhadap motilitas dan tonus otot usus ini bersumber dari ekstrak bitter candytuft, peppermint, liquorice, angelica, melissa, dan celandine.[3,7,20]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Hipersensitivitas Viseral/Serotonin
Mekanisme penurunan hipersensitivitas visceral pada pemberian terapi herbal kombinasi belum dapat dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, berdasarkan studi in vivo (pada tikus) dan ex vivo (pada jaringan saraf kolon dan mesenterika tikus) efek ini ditunjukkan dengan berkurangnya respon reseptor 5-HT3 (serotonin) dan bradikinin pada studi usus kecil maupun kolon. Studi pada manusia untuk mengidentifikasi hal ini belum dilakukan.[3,7]
Reseptor 5-HT adalah salah satu reseptor neurotransmitter utama di traktus gastrointestinal dan berperan pada gejala mual dan muntah. Efek receptor-blocking STW5 terhadap serotonin ini ditemukan pada ekstrak bitter candytuft, liquorice, angelica dan celandine.[3,7]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Reaksi Inflamasi
Efek antiinflamasi pada pemberian terapi kombinasi herbal pada berbagai penelitian in vitro (pada segmen ileum/jejunum tikus Wistar dan sel epitel kolon manusia normal) dan in vivo (pada tikus), diperantarai oleh aktivasi reseptor adenosin A2A, inhibisi mediator proinflamasi (tumor nekrosis faktor/TNF alfa, interleukin-8, leukotrien), dan peningkatan mediator antiinflamasi (interleukin-10).[3,7,22]
Selain itu, pada studi in vivo, terapi kombinasi herbal juga ditemukan memiliki efek antioksidan. Efek antioksidan ini ditemukan pada semua komponen kombinasi herbal, sedangkan efek antiinflamasi terutama bersumber dari kandungan ekstrak bitter candytuft dan melissa.[3,7]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Sekresi Mukosa
Efek terapi kombinasi herbal pada sekresi mukosa intestinal dipelajari dengan eksperimen Ussing chamber pada jaringan usus manusia. Secara dose-dependent, terapi kombinasi herbal ini meningkatkan sekresi mukosa dan mempunyai efek secretagogue pada jaringan usus manusia secara langsung pada epitel usus, serta berperan pada aktivasi neuron enterik. Hal ini ditemukan pada ekstrak angelica, peppermint, dan melissa.[3,7]
Integritas barier mukosa juga dipengaruhi pula oleh sekresi prostaglandin (PGE2) dan mucin dari sel-sel goblet saluran cerna. Pada studi in vivo, kombinasi ekstrak herbal dapat meningkatkan kedua hal tersebut dan memberikan efek proteksi mukosa saluran cerna. Efek tersebut bersumber dari ekstrak milk thistle, chamomile, liquorice dan caraway.[7]
Efek Terapi Kombinasi Herbal terhadap Skor Gastrointestinal Symptom (GIS)
Beberapa studi randomized controlled trial telah dilakukan untuk melihat efek terapi kombinasi herbal terhadap perbaikan gejala FD yang dinilai dengan menggunakan skor gastrointestinal symptom (GIS) dan dibandingkan dengan pilihan terapi pada FD, seperti prokinetik.
Terapi Kombinasi Herbal dengan Plasebo
Berdasarkan studi perbandingan antara pemberian terapi kombinasi herbal dengan plasebo, ditemukan bahwa pemberian ekstrak kombinasi herbal ini lebih superior dibandingkan dengan plasebo. Penilaian pada studi diambil dari 308 responden setelah 4–8 minggu diterapi dengan ekstrak kombinasi herbal 3 kali sehari sebanyak 20 tetes setiap pemberian.[8]
Pada hasil studi didapatkan bahwa, kedua kelompok mengalami perbaikan skoring GIS setelah terapi dengan plasebo dan kombinasi ekstrak herbal. Akan tetapi, kelompok yang mendapat terapi kombinasi herbal mengalami perbaikan gejala pada skoring GIS yang lebih signifikan dibanding plasebo. Selain itu, setelah dilakukan follow up pada bulan keenam, didapatkan bahwa kelompok yang mendapat terapi kombinasi herbal tidak mengalami rekurensi FD.[8,25]
Terapi Kombinasi Herbal dengan Prokinetik
Studi RCT dilakukan oleh Rösch W, et al pada 137 responden dengan FD yang diacak untuk mendapat terapi kombinasi herbal atau prokinetik, seperti cisapride. Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa setelah terapi 4 minggu didapatkan bahwa terapi kombinasi herbal memiliki efek perbaikan gejala skoring GIS yang tidak lebih inferior dibanding cisapride. Akan tetapi, efek samping yang didapatkan pada kombinasi herbal lebih rendah jika dibandingkan dengan cisapride.[8,9]
Efek samping yang dicatat dalam studi saat dilakukan pemberian terapi kombinasi herbal adalah pusing, mual dan rasa tidak nyaman di abdomen. Sedangkan angka kejadian efek samping pada pemberian cisapride (22 dari 63 responden) dicatat lebih banyak daripada terapi kombinasi herbal (9 dari 61 responden). Akan tetapi pada studi ini tidak dijelaskan efek samping apa saja yang terjadi pada pemberian cisapride.[8,9,23]
Studi kohort retrospektif yang dilakukan oleh Raedsch R, et al. pada 490 responden yang mendapat terapi kombinasi herbal kombinasi dibandingkan dengan 471 pasien yang mendapat metoclopramide, menunjukkan bahwa terapi kombinasi herbal juga tidak lebih inferior untuk FD dibandingkan dengan metoclopramide dengan efek samping yang lebih minimal. Pada kelompok yang mendapatkan metoclopramide, ditemukan gejala seperti vertigo dan pusing, sedangkan pada pemberian terapi kombinasi herbal tidak ditemukan efek samping ini.[9,16]
Efek Samping dan Kontraindikasi Pemberian Kombinasi Herbal pada Dispepsia Fungsional
Efek samping akibat pemberian terapi kombinasi herbal pada dispepsia fungsional yang dilaporkan oleh Ottilinger B et al. adalah esofagitis, bronkitis, diare, mual, stomatitis, konstipasi dan nyeri abdomen. Akan tetapi, angka insidensinya sangat rendah, yaitu 0,04% dari seluruh studi yang melibatkan lebih dari 90.000 responden.[9]
Efek samping lainnya yang jarang namun dapat ditemukan adalah hipersensitivitas, pruritus, ruam, pusing, dan nyeri tenggorokan. Efek samping yang serius dan kelainan pada nilai laboratorium pada penggunaan klinis maupun studi observasional tidak ditemukan pada penggunaan terapi kombinasi herbal ini.[6,9]
Akan tetapi, di samping keamanannya yang sudah teruji klinis, terdapat kecurigaan bahwa salah satu komponen herbal ini, yaitu Chelidonii herba/majus memiliki efek hepatotoksik pada tahap DNA mitokondria. Efek samping ini masih diteliti lebih lanjut, karena mungkin berhubungan dengan interaksi obat lain yang digunakan bersamaan. Maka dari itu, penggunaan ekstrak ini pada ibu hamil dan menyusui serta pasien dengan gangguan hepar tidak disarankan.[17]
Terapi kombinasi herbal ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap kandungan herbal yang diberikan. Selain itu, studi pemberian terapi kombinasi herbal ini pada ibu hamil, ibu menyusui, serta anak berusia <3 tahun masih sangat minimal. Maka dari itu, pada kelompok ini tidak dianjurkan untuk mendapatkan terapi kombinasi herbal ini.[17,18]
Formulasi dan Pemberian Kombinasi Terapi Herbal di Indonesia
Pemberian terapi herbal di Indonesia sudah mengalami reformulasi dari menghilangkan komponen ekstrak Chelidonii herba/majus yang bersifat toksik. Setiap 10 ml ekstrak mengandung 8 komponen ekstrak Iberis amara totalis (bitter candytuft) 60 mg, Angelica sinensis radix 30 mg, Matricaria chamomilla flos 150 mg, Carum carvi semen 30 mg, Silybum marianum semen 30 mg, Melissa officinalis folium 30 mg, Glycyrrhiza uralensis radix dan mentha piperita folium 30 mg.[10]
Bahan tambahan lain mencakup sorbitol, sukralosa, sukrosa, natrium benzoat, kalium sorbat, peppermint, dan apel dengan kandungan alkohol tidak lebih dari 1%. Produk ini sudah mendapat sertifikasi halal.[10,11]
Posisi Herbal Pada Pedoman Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional
Penggunaan terapi herbal, dalam hal ini kombinasi kedelapan ekstrak tumbuhan tersebut di luar negeri atau di Indonesia, sudah mendapat tempat dalam alternatif tata laksana FD maupun irritable bowel syndrome (IBS). Terapi kombinasi herbal sudah masuk dalam rekomendasi pedoman di Jerman sejak tahun 2001 untuk penatalaksanaan functional gastrointestinal disorder bagian atas maupun bawah.[8]
Konsensus nasional perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) tahun 2021 telah merekomendasikan terapi kombinasi herbal ini untuk membantu mengurangi gejala dispepsia fungsional dengan tingkat rekomendasi kuat dan kualitas bukti ilmiah sedang.[11]
Sedangkan komponen ekstrak peppermint pada sudah direkomendasikan pula untuk penatalaksanaan IBS baik dari PGI, American College of Gastroenterology, World Gastroenterology Organization Global Guideline, dan British Society of Gastroenterology.[12,13,14]
Posisi terapi herbal kombinasi dalam penatalaksanaan FD adalah sebagai terapi tambahan pada FD apabila dengan pemberian proton-pump inhibitor (PPI), seperti omeprazole, tidak memberikan perbaikan gejala. Umumnya, respon klinis perbaikan gejala didapatkan setelah 4 sampai 8 minggu, dimana pada keadaan ini terapi dapat dihentikan atau diberikan sesuai keperluan.[10,11,24]
Kesimpulan
Dispepsia fungsional (FD) merupakan kumpulan gastrointestinal yang bersifat kronis dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan. Tata laksana FD sampai saat ini berpusat pada berbagai mekanisme yang diperkirakan mendasari FD. Terapi herbal kombinasi yang terdiri dari ekstrak Iberis amara totalis (bitter candytuft), Angelica sinensis radix, Matricaria chamomilla flos, Carum carvi semen, Silybum marianum semen, Melissa officinalis folium, Glycyrrhiza uralensis radix dan mentha piperita folium sudah mulai mendapat tempat sebagai terapi untuk penatalaksanaan FD.
Hal ini karena kombinasi herbal ini terbukti mampu mengurangi gejala FD, yang dilihat dari perbaikan gejala pada skor gastrointestinal symptoms (GIS) dengan efek samping yang masih dapat ditoleransi. Hal ini karena, berdasarkan studi, ekstrak kombinasi herbal ini bekerja pada berbagai mekanisme FD di saluran cerna.
Terapi kombinasi herbal mempengaruhi motilitas gaster manusia, sekresi mukosa usus manusia, dan reaksi inflamasi sel epitel kolon manusia yang dibuktikan pada penelitian skala kecil. Beberapa RCT telah memperlihatkan perbaikan gejala FD pada pemberian terapi kombinasi herbal dibandingkan dengan plasebo dan prokinetik.
Maka dari itu, karena profil efek samping dan keamanannya, serta beberapa studi telah memperlihatkan adanya perbaikan gejala dan penurunan risiko rekurensi pada pemberian terapi herbal kombinasi, ekstrak herbal kombinasi direkomendasikan dalam guideline terapi FD di Indonesia.