Resipien transplantasi ginjal dengan bakteriuria asimtomatik umumnya diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih berat. Walau demikian, studi tidak menunjukkan adanya manfaat dari pemberian antibiotik ini.
Bakteria asimtomatik didefinisikan sebagai bakteriuria tanpa disertai tanda atau gejala infeksi saluran kemih, seperti disuria, frekuensi, nyeri suprapubik atau demam. [1-8]
Infectious Disease Society of America (IDSA) mendefinisikan bakteriuria pada pria sebagai satu spesies bakteri yang diisolasi dari spesimen urine tunggal, clean-catch voided dengan hitung kuantitatif ≥ 105 colony forming unit (CFU)/mL. Sedangkan pada wanita, diagnosis bakteriuria mensyaratkan dua spesimen urine dengan isolasi strain bakteri yang sama dengan hitung kuantitatif ≥ 105 CFU/mL.
Jika sampel urine diambil melalui kateter, maka spesimen urine tunggal dengan isolasi spesies bakteri tunggal dengan hitung kuantitatif ≥ 105 CFU/mL sudah cukup untuk mengidentifikasi bakteriuria pada pria atau wanita. [1-8]
Saat ini, insidensi bakteriuria asimtomatik diestimasi sebesar 17 hingga 51% pada resipien transplantasi ginjal. Sejumlah data retrospektif menunjukkan bahwa episode asimtomatik tersebut bisa berlanjut menjadi infeksi saluran kemih. Hal ini dikuatirkan akan menyebabkan gangguan denervasi graft ginjal, infeksi saluran kemih tersamar akibat penggunaan obat imunosupresan, atau infeksi berat yang dapat menyebabkan terjadinya sepsis hingga kematian. [5-8]
Kekuatiran akan komplikasi dari kondisi bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal ini menjadi dasar diberikannya intervensi profilaksis antibiotik pada kasus bakteriuria asimtomatik. Walau demikian, belum terdapat konsensus bersama yang merekomendasi pemberian antibiotik rutin untuk kasus bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal.
Bukti Ilmiah Terkait Pemberian Antibiotik untuk Bakteria Asimtomatik pada Resipien Transplantasi Ginjal
Praktik pemberian antibiotik rutin pada resipien transplantasi ginjal selama ini tidak didasari atas bukti ilmiah. Rekomendasi oleh IDSA tahun 2005 mengenai diagnosis dan terapi bakteriuria asimtomatik sendiri tidak memberi rekomendasi pada resipien transplantasi ginjal karena kurangnya bukti klinis mengenai hal ini.[1-8]
Rekomendasi yang lebih baru pada tahun 2013 oleh American Society of Transplantation Infectious Disease Community of Practice menyarankan terapi antibiotik hanya diberikan pada bakteriuria asimtomatik yang sudah berlangsung di atas tiga bulan setelah transplantasi dan disertai dengan peningkatan serum kreatinin. Akan tetapi, para penulis rekomendasi tersebut menggarisbawahi bahwa rekomendasi di atas tidak didasarkan pada data penelitian acak terkontrol dan adopsi strategi tersebut bisa menghasilkan overtreatment dan risiko resistansi antibiotik.[4]
Studi Terkini mengenai Terapi Antibiotik untuk Bakteriuria Asimtomatik pada Resipien Transplantasi Ginjal
Sejak rekomendasi terakhir dari American Society of Transplantation Infectious Disease Community of Practice, telah didapatkan beberapa studi mengenai manfaat dan keamanan terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik yang dirangkum pada studi meta analisis Cochrane tahun 2018.
Peneliti mengumpulkan data berupa studi randomized controlled trial (RCT) dan quasi-RCT dari Cochrane Kidney and Transplant Register of Studies hingga 1 September 2017. Hanya terdapat 2 studi dengan total sampel 212 partisipan yang membahas mengenai terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik.
Secara keseluruhan, insidensi simtomatik infeksi saluran kemih bervariasi antara 19-31%. Terapi antibiotik tidak memberikan dampak signifikan dalam hal pencegahan simtomatik infeksi saluran kemih. Risiko untuk multidrug resistance organism tidak signifikan dengan terapi antibiotik.
Persistensi bakteriuria asimtomatik tetap tinggi terlepas dari terapi antibiotik. Pemberian terapi antibiotik tidak berdampak signifikan pada luaran graft seperti all-cause mortality, graft loss, acute rejection, rawat inap karena infeksi saluran kemih, graft function dan efek samping merugikan. Kualitas bukti penelitian termasuk rendah untuk analisis semua luaran di atas.[8]
Kelemahan dari Studi yang Ada Mengenai Terapi Antibiotik untuk Bakteriuria Asimtomatik pada Resipien Transplantasi Ginjal dan Potensi Penelitian
Pemberian terapi antibiotik pada kasus bakteriuria asimtomatik untuk pasien resipien transplantasi ginjal tampaknya tidak memberi dampak signifikan baik dalam hal pencegahan simtomatik infeksi saluran kemih ataupun untuk mendukung luaran graft transplan.
Walau demikian, terdapat beberapa kelemahan dari kedua studi yang diikutkan pada meta analisis tersebut. Kelemahan pertama adalah tidak adanya blinding pada kedua penelitian tersebut. Kesadaran pasien akan perlakuan yang diberikan (terapi antibiotik atau tidak mendapat terapi) memiliki potensi bias.
Selain itu, potensi bias juga dapat terjadi akibat salah satu studi tidak menggunakan randomisasi untuk menentukan partisipan masuk ke dalam kelompok yang mendapat terapi atau tidak.
Kelemahan lain dari penelitian ini adalah tidak adanya studi awal mengenai tingkat resistensi antibiotik sebelum terapi diberikan. Jika tingkat resistensi antibiotik terbukti tinggi, bisa jadi hal ini yang menyebabkan tidak adanya perbedaan antara kelompok yang mendapatkan terapi dan tidak mendapatkan terapi.
Kelemahan terakhir yang didapatkan dari penelitian ini adalah sampel penelitian tidak menyertakan pasien yang baru saja menjalani transplantasi ginjal. Padahal, tingkat insidensi bakteriuria asimtomatik dan risiko infeksi saluran kemih adalah tertinggi pada bulan pertama setelah transplantasi ginjal.[8]
Kesimpulan
Bakteriuria asimtomatik merupakan salah satu kondisi yang sering terjadi pada resipien transplantasi ginjal dan berpotensi menyebabkan komplikasi berupa infeksi saluran kemih berat, kegagalan graft, sepsis, hingga kematian.
Potensi komplikasi dari bakteriuria asimtomatik tersebut menjadi dasar untuk diberikannya terapi antibiotik. Namun, hal ini tidak didukung oleh bukti ilmiah yang ada. Pemberian antibiotik pada bakteriuria asimtomatik tidak memberikan efek yang berbeda bermakna dengan tidak memberikan terapi.
Walau demikian, perlu diingat bahwa studi yang ada tidak menilai pemberian antibiotik pada bulan pertama setelah transplantasi ginjal. Studi juga tidak meneliti mengenai pemberian antibiotik pada pasien dengan kondisi khusus, misalnya pasien yang menggunakan sten uretra atau kateter uretra indwelling, serta pasien yang menjalani transplantasi organ multipel.
Pada kondisi khusus seperti disebutkan di atas, pemberian antibiotik mungkin dapat bermanfaat. Hal ini memerlukan adanya penelitian lebih lanjut.