Pencegahan depresi postpartum pada ibu-ibu berisiko tinggi bisa mengurangi dampak gangguan ini, salah satunya dengan pemberian antidepresan pada masa kehamilan. Depresi postpartum merupakan bentuk penyakit depresi berat yang terjadi dalam 4β6 minggu setelah melahirkan.
Pasca melahirkan, ibu yang mengalami depresi postpartum akan mengalami gangguan tidur, mood swings, gangguan nafsu makan, takut sesuatu terjadi pada bayinya, merasa sedih dan mudah menangis, ragu-ragu, sulit berkonsentrasi, tidak mau beraktivitas, dan bahkan bisa muncul pikiran bunuh diri. Depresi postpartum juga bisa berdampak terhadap perkembangan anak dan keluarga secara keseluruhan.[1]
Faktor Risiko Prenatal untuk Depresi Postpartum
Ibu-ibu hamil yang berisiko mengalami depresi postpartum harus diidentifikasi seawal mungkin agar bisa mendapatkan penanganan yang tepat. Ibu dengan riwayat depresi (khususnya depresi postpartum) mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi postpartum. Timbulnya gangguan psikiatri selama masa kehamilan juga merupakan prediktor kuat depresi postpartum[3-6]
Riwayat gangguan psikiatri sebelum hamil juga merupakan faktor risiko depresi postpartum, seperti riwayat kecemasan, depresi, premenstrual syndrome, dan gangguan bipolar. Ibu dengan riwayat gangguan bipolar mempunyai risiko paling tinggi untuk mengalami depresi postpartum.[5,7,8]
Kehamilan pada usia muda, gangguan metabolisme glukosa selama kehamilan, dan kadar oksitosin yang tinggi pada tengah kehamilan juga merupakan faktor risiko depresi postpartum. Faktor lain yang menjadi faktor risiko depresi postpartum adalah dukungan sosial yang rendah, kekerasan dalam rumah tangga, status pekerjaan, penghasilan, dan tingkat pendidikan.[9-12]
Pencegahan Depresi Postpartum
Program pencegahan gangguan psikiatri yang efektif mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Identifikasi faktor risiko dan protektif yang mempengaruhi timbulnya gangguan
- Metode yang efektif untuk menurunkan faktor risiko dan menguatkan faktor protektif
- Identifikasi populasi yang berisiko tinggi
Pencegahan depresi postpartum bisa dilakukan dengan memberikan edukasi mengenai prevalensi, faktor risiko, dan gejala-gejala depresi postpartum, terutama pada ibu-ibu berisiko tinggi. Metode ini bisa mempersingkat durasi sakit dan meringankan gejala. Perawatan antenatal dan penanganan kelahiran yang baik juga bisa menurunkan risiko depresi postpartum.[8]
Selain pendekatan psikososial, obat antidepresan juga dilaporkan bisa digunakan untuk mencegah relaps atau meringankan gejala depresi. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa antidepresan juga bisa digunakan sebagai metode pencegahan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi mengalami depresi, termasuk ibu hamil dengan riwayat depresi postpartum.[13]
Dua penelitian RCT memeriksa manfaat vitamin D dalam mencegah depresi postpartum, baik pada ibu hamil yang sehat maupun ibu hamil yang mempunyai faktor risiko untuk mengalami depresi postpartum.[14,15]
Penggunaan Antidepresan sebagai Pencegahan Depresi Postpartum
Antidepresan telah banyak dilaporkan efektivitasnya dalam penanganan depresi postpartum, namun masih jarang dilaporkan penggunaannya sebagai metode pencegahan depresi postpartum pada ibu-ibu hamil dengan risiko tinggi. Pemberian antidepresan untuk mencegah depresi postpartum pada ibu-ibu dengan risiko tinggi bisa dilakukan pada masa kehamilan atau segera setelah melahirkan.[16,17]
Molyneaux et al. dalam sebuah review menemukan hanya dua penelitian yang menilai efektivitas penggunaan antidepresan dalam mencegah depresi postpartum. Penelitian-penelitian ini dilakukan pada ibu-ibu dengan riwayat depresi postpartum sebelumnya dan antidepresan mulai diberikan dalam 24 jam pasca melahirkan. Penelitian pertama membandingkan nortriptilin dan placebo dalam mencegah depresi postpartum dalam 17 minggu masa postpartum. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa nortriptilin tidak efektif dalam mencegah depresi postpartum.[4,18]
Penelitian kedua membandingkan sertraline dan placebo dalam mencegah depresi postpartum dalam 17 minggu masa postpartum. Sertraline maupun placebo mulai diberikan segera setelah lahir. Mereka menemukan bahwa insidensi depresi postpartum lebih rendah pada ibu yang mendapatkan sertraline. Mereka juga menemukan bahwa periode timbulnya relaps juga lebih lama dengan pemberian sertraline. Namun ukuran sampel yang digunakan dalam penelitian ini sangat kecil.[4,19]
Pada tahun 2023, terapi baru bernama zuranolone telah disetujui untuk penggunaan pada depresi postpartum. Studi klinis menunjukkan bahwa zuranolone efektif dalam mengurangi gejala depresi dengan onset yang cepat dan profil keamanan yang baik pada ibu-ibu yang mengalami depresi postpartum. Namun, obat ini tidak digunakan pada wanita hamil karena dianggap berisiko meningkatkan gangguan perkembangan janin.[20]
Pemberian Antidepresan pada Kehamilan dan Menyusui
Pada prinsipnya, paparan obat-obatan seharusnya dibuat seminimal mungkin pada ibu hamil dan menyusui. Penanganan depresi pada ibu hamil dan menyusui harus mengedepankan pendekatan non farmakologis. Pendekatan non farmakologis dilaporkan efektif untuk mencegah dan menangani depresi ringan dan sedang. Namun pemberian antidepresan tetap diindikasikan untuk kasus depresi berat selama kehamilan atau pasca melahirkan, tentunya dengan menimbang risk and benefit terhadap ibu dan bayinya.[2,21]
Ibu hamil yang mempunyai riwayat depresi postpartum yang berat sebelumnya berisiko tinggi mengalami kembali depresi postpartum sehingga pemberian antidepresan bisa diberikan sebagai pencegahan. Namun saat ini rasio risk and benefit untuk pemberian antidepresan sebagai pencegahan depresi postpartum masih belum jelas.[4]
Sebuah penelitian kohort oleh Nulman et al meneliti mengenai penghentian antidepresan pada ibu-ibu yang mengalami depresi. Antidepresan dihentikan pada mereka yang kemudian hamil. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar akan mengalami relaps pada tahun pertama pasca penghentian.[22]
Meskipun penelitian mengenai penggunaan antidepresan sebagai pencegahan depresi postpartum masih sedikit sekali diteliti, namun penggunaannya selama masa kehamilan dan menyusui sudah banyak dilaporkan.
Berle et al dalam sebuah review melaporkan bahwa antidepresan generasi baru sangat sedikit sekali disekresikan dalam air susu ibu (ASI) maupun dalam plasma bayi. Kadar plasma pada bayi tertinggi dilaporkan untuk fluoxetine, citalopram, dan venlafaxine. Sementara antidepresan lini pertama untuk ibu menyusui adalah sertraline dan paroxetine.[23]
Risiko Pemberian Antidepresan pada Kehamilan dan Menyusui
Sebelum mulai memberikan terapi antidepresan, penting untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis gangguan bipolar. Hal ini karena pemberian antidepresan pada pasien dengan bipolar bisa memicu timbulnya episode manik, sehingga membutuhkan monitoring ketat.[17]
Pemberian antidepresan pada masa kehamilan meningkatkan risiko kelahiran prematur. Risiko ini lebih tinggi untuk citalopram dan escitalopram dibandingkan dengan fluoxetine, paroxetine, dan sertraline. Bukti hubungan antara pemberian antidepresan selama masa kehamilan dengan timbulnya gangguan perkembangan (kognitif, motorik, dan bahasa) dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) sangat lemah.[23-25]
Bukti ilmiah menunjukkan adanya hubungan antara pemberian antidepresan dengan autisme pada anak. Namun penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara gangguan mental pada anak lebih disebabkan karena depresi pada ibu, bukan karena pemberian antidepresan.[23,24,26]
Tidak ada bukti bahwa pemberian antidepresan selama kehamilan berhubungan dengan kematian bayi, kejang. Bukti risiko deformitas/malformasi mayor juga lemah. Bukti ilmiah peningkatan risiko deformitas/malformasi hanya terdapat untuk fluoxetine, paroxetine, dan antidepresan trisiklik, meskipun lemah. Ada bukti lemah yang menunjukkan bahwa pemberian SSRI pada masa akhir kehamilan berhubungan dengan peningkatan risiko distress pernafasan.[24,27]
Kadar antidepresan yang disekresikan lewat ASI sangat rendah sehingga ibu-ibu yang mendapatkan terapi antidepresan sebaiknya tetap menyusui bayinya. Pemberian antidepresan golongan SSRI pada ibu tidak mempengaruhi kadar serotonin dalam plasma bayi. Efek antidepresan pada bayi sangat lemah dan sangat jarang dilaporkan. Efek ini biasanya berupa iritabilitas, menangis, kesulitan makan, dan buang air besar cair. Efek ini dilaporkan terutama untuk fluoxetine dan citalopram.[23]
Kesimpulan
Depresi postpartum merupakan depresi berat yang bisa menimbulkan gangguan serius pada ibu dan bayinya. Terapi untuk depresi postpartum adalah kombinasi psikoterapi dan obat antidepresan.
Pencegahan depresi postpartum dilakukan dengan mengidentifikasi faktor risiko dan faktor protektif, menurunkan faktor risiko dan menguatkan faktor protektif. metode yang digunakan mencakup edukasi, psikoterapi dan farmakoterapi dengan antidepresan.
Antidepresan sebagai pencegah depresi postpartum bisa diberikan pada masa kehamilan atau segera setelah melahirkan. Namun bukti penggunaan antidepresan sebagai metode pencegahan depresi postpartum masih sangat terbatas.
Pemberian antidepresan pada ibu hamil dan menyusui harus mempertimbangkan risk and benefits. Bukti ilmiah mengenai risiko gangguan pada janin akibat pemberian antidepresan selama kehamilan lemah dan lebih banyak berhubungan dengan depresi maternal. Antidepresan juga sangat sedikit disekresikan dalam ASI sehingga efeknya pada bayi minimal.
Β
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari