Resusitasi Jantung Paru di Luar Fasilitas Kesehatan

Oleh :
dr. Hendra Gunawan SpPD

Resusitasi jantung paru dewasa yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan (out of hospital) berperan besar dalam mengurangi fatalitas akibat henti jantung mendadak. Henti jantung merupakan hilangnya fungsi jantung secara mendadak pada individu yang mungkin memiliki atau tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Henti jantung dapat terjadi di berbagai tempat, dengan ataupun tanpa gejala yang mendahului. Data di Amerika Serikat menunjukkan sekitar 347.000 kasus henti jantung dewasa dan 7.000 kasus henti jantung pada anak ≤18 tahun terjadi di luar fasilitas kesehatan (Out of hospital Cardiac Arrest/ OHCA).[1-3]

Kesintasan pasien henti jantung akan dipengaruhi dengan seberapa cepat dilakukannya resusitasi jantung paru. Meski demikian, pada banyak kasus, pasien mengalami henti jantung pada situasi dimana tidak terdapat petugas kesehatan di sekitarnya. Dalam kondisi seperti ini, resusitasi jantung paru yang dilakukan orang awam (bystander) dapat menjadi pilihan sembari menunggu kedatangan petugas medis.[4-8]

RJPdiluarFaskes

Pemasangan Automated External Defibrillator (AED) juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan angka kesintasan pada pasien henti jantung di luar fasilitas kesehatan. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemasangan AED dapat meningkatkan kesintasan hingga 74%, tetapi di Indonesia alat AED belum tersedia secara luas.[3]

Out of Hospital Cardiac Arrest Chain Of Survival

Peluang keberhasilan resusitasi jantung paru akan meningkat seiring dengan jalannya chain of survival atau rantai kesintasan dari resusitasi jantung baru. Pedoman American Heart Association tahun 2020 melaporkan bahwa komponen chain of survival Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) terdiri dari 6 langkah yaitu:

  • Deteksi henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat
  • Resusitasi jantung paru dini dengan penekanan pada kompresi dada
  • Defibrilasi dini

  • Resusitasi jantung paru lanjut oleh tenaga kesehatan terlatih
  • Perawatan pasca henti jantung
  • Pemulihan, termasuk dalam hal ini adalah tata laksana, observasi, rehabilitasi, dan dukungan psikologis[1]

Perlu diketahui bahwa dalam pedoman AHA tahun 2020, kompresi dada yang dilakukan oleh orang awam (bystander) tidak perlu diselingi dengan pemberian napas bantuan. Selain itu, tindakan resusitasi jantung paru pada kondisi tersebut lebih ditekankan pada aspek kompresi yang cepat dan dalam di titik tengah dada. Syarat resusitasi jantung yang baik adalah:

  1. Minimal interupsi kompresi dada
  2. Kompresi diberikan dengan kecepatan dan kedalaman yang adekuat
  3. Hindarkan mendekat pada pasien di antara kompresi dada
  4. Kompresi dada dilakukan di tempat yang tepat
  5. Hindari ventilasi berlebihan[1,4]

Efikasi Resusitasi Jantung Paru di Luar Fasilitas Kesehatan

Sebuah studi oleh Lim et al (2020) mengevaluasi efikasi resusitasi jantung paru yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan di Singapura dan Victoria. Studi ini mengevaluasi data 43.064 kejadian Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Hasil studi menunjukkan bahwa kesintasan pasien meningkat signifikan pada pasien yang mendapat resusitasi jantung paru di luar fasilitas kesehatan (bystander cardiopulmonary resuscitation) dan defibrilasi di luar fasilitas kesehatan (bystander defibrillation).[5]

Hasil serupa ditunjukkan dalam meta analisis yang mengevaluasi data dari 19 studi dan melibatkan total 232.703 partisipan. Studi ini menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru di luar fasilitas kesehatan meningkatkan kemungkinan kesintasan pasien hingga 2 kali lipat.[8]

Dalam sebuah kohort di Denmark (2019), resusitasi jantung paru yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan pada kasus henti jantung dengan etiologi non-kardiak juga ditemukan memiliki manfaat signifikan. Dalam studi yang melibatkan 10.761 kasus OHCA non-kardiak ini, bystander CPR dilaporkan berkaitan secara signifikan dengan peningkatan kesintasan 30 hari (3,4% vs 1,8%).[9]

Potensi Komplikasi Resusitasi Jantung Paru yang Dilakukan di Luar Fasilitas Kesehatan

Komplikasi tersering dari resusitasi jantung paru adalah fraktur iga dan fraktur sternal. Selain itu, potensi komplikasi lain yang perlu diwaspadai dari resusitasi jantung paru di luar fasilitas kesehatan adalah hemoperikardium, tamponade jantung, hemothorax, ruptur perikardium, cedera aorta, kontusio paru, laserasi gaster, dan laserasi liver. Meski begitu, ketakutan menyebabkan komplikasi jangan dijadikan alasan untuk tidak melakukan resusitasi pada pasien OHCA.

Faktor risiko mengalami komplikasi antara lain usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, kejadian di tempat umum, dan ritme awal yang shockable.[10,11]

Penggunaan Automated External Defibrillator pada Skenario Out of Hospital Cardiac Arrest

Selain resusitasi jantung paru, salah satu elemen chain of survival Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) adalah defibrilasi yang harus dilakukan sedini mungkin sejak kejadian henti jantung ditemukan. Berbagai penelitian mengenai penggunaan Automated External Defibrillator (AED) oleh orang awam telah menunjukkan bahwa tindakan ini berkaitan dengan peningkatan kesintasan pada kasus henti jantung. Sebuah kohort melaporkan bahwa penggunaan defibrilator oleh orang awam meningkatkan kesintasan sebesar 9,7%.[6]

Potensi Komplikasi Penggunaan Automated External Defibrillator

Secara umum, komplikasi jarang terjadi akibat penggunaan AED. Tindakan ini relatif aman dan pada banyak kasus akan bersifat life saving. Potensi komplikasi yang perlu diwaspadai antara lain luka bakar, nekrosis miokard, dan aritmia kardiak. Meski demikian, komplikasi ini jarang terjadi dan dapat dihindari dengan perawatan alat yang baik.[12,15]

Meningkatkan Kualitas Resusitasi Jantung Paru dan Penggunaan Automated External Defibrillator di Luar Fasilitas Kesehatan

Resusitasi jantung paru dan penggunaan Automated External Defibrillator (AED) akan meningkatkan peluang kesintasan kasus Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA). Oleh karenanya, penggunaan resusitasi jantung paru dan AED di luar fasilitas kesehatan dapat ditingkatkan dengan penyediaan alat secara luas dan edukasi tata cara penggunaan pada masyarakat awam sesuai pedoman klinis.

Seiring dengan perkembangan teknologi, pelatihan resusitasi jantung paru dengan penggunaan AED dapat dilakukan dengan pelatihan berbasis video daring dan praktik pada manekin. Edukasi dilakukan berkala untuk meningkatkan retensi pengetahuan dan meningkatkan kepercayaan diri penolong.

Hingga saat ini, masih belum ditentukan waktu re-edukasi yang tepat untuk pelatihan resusitasi jantung paru. Watanabe et al melakukan penelitian yang melibatkan 41 siswa sekolah menengah dengan pelatihan resusitasi jantung paru ulangan dilakukan tiap 2-4 bulan. Penelitian itu melaporkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan dan pengetahuan mengenai resusitasi jantung paru dan penggunaan AED sebelum dan sesudah latihan. Tingkat retensi pengetahuan juga lebih baik dengan pengulangan setiap 2-4 bulan.[13,14]

Hambatan dalam Resusitasi Jantung Paru Oleh Bystanders

Beberapa penelitian telah mengidentifikasi berbagai hambatan yang mencegah bystanders melakukan resusitasi jantung paru. Ini termasuk tidak yakin apa yang harus dilakukan, takut membahayakan pasien, takut dituntut, dan khawatir risiko tertular penyakit. Hambatan ini dapat diatasi dengan edukasi masyarakat, serta memfokuskan resusitasi jantung paru pada kompresi tanpa bantuan napas.[16]

Kesimpulan

Henti jantung dalam skenario di luar fasilitas kesehatan atau Out of hospital cardiac arrest (OHCA) merupakan salah satu kasus gawat darurat medis yang sering dijumpai. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang dilakukan di luar fasilitas kesehatan telah dilaporkan mampu meningkatkan kesintasan pasien secara bermakna. Meski demikian, edukasi terhadap masyarakat perlu dilakukan agar resusitasi dan defibrilasi dilakukan dengan benar serta untuk meningkatkan kepercayaan diri penolong. Dokter perlu memahami berbagai hambatan bystander dalam melakukan resusitasi dan mengedukasi masyarakat bahwa resusitasi jantung paru dapat meningkatkan angka keselamatan pasien secara bermakna.

Referensi