Sebuah kohort terbaru melaporkan bahwa diet tinggi lemak berkaitan dengan angka mortalitas yang lebih rendah dibandingkan diet tinggi karbohidrat. Hal ini berbeda dengan kepercayaan masyarakat selama ini, dimana lemak kerap kali dipandang sebagai unsur negatif pada diet sehari-hari. Lemak sering diasosiasikan sebagai penyebab penyakit jantung koroner, obesitas, stroke, dan kanker.[1]
WHO menyatakan bahwa diet yang sehat dapat melindungi manusia dari malnutrisi dan penyakit noncommunicable seperti stroke dan penyakit jantung koroner. Informasi ini penting untuk diketahui oleh warga Indonesia karena Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa di Indonesia pada tahun 2014 stroke merupakan penyebab tertinggi kematian pada semua umur, diikuti oleh penyakit jantung koroner.[2,3]
Makronutrien dan Hubungan Terhadap Penyakit
Terdapat banyak perdebatan mengenai berbagai jenis makronutrien dan pengaruhnya terhadap penyakit noncommunicable terutama stroke, penyakit jantung koroner, dan obesitas. Jenis makronutrien yang paling sering dibahas adalah lemak dan karbohidrat yang merupakan sumber energi dari makanan konsumsi terbesar pada negara-negara Asia.[4]
Lemak kerap kali dikaitkan dengan pembentukan arterosklerosis, salah satu faktor yang berperan pada patofisiologi stroke dan penyakit jantung koroner. [1,5] Namun, mayoritas riset yang ada, dilakukan pada populasi Eropa dan Amerika, negara-negara first world dengan diet yang lebih tinggi lemak dibandingkan karbohidrat. Rekomendasi WHO saat ini adalah untuk membatasi jumlah lemak yang dikonsumsi menjadi kurang dari 30% total energi, dan lemak jenuh kurang dari 10%.[2,4]
Berbagai penelitian baru menyimpulkan bahwa hubungan antara makronutrien dan penyakit bukanlah hal yang simpel. Jenis-jenis makronutrien sendiri dapat dibagi menjadi subdivisi dan kualitas masing-masing. Contohnya karbohidrat ada yang refined, sedangkan lemak juga dibagi menjadi saturated, monosaturated, polyunsaturated, dan trans-fat.[5]
Penilaian efek dan risiko terhadap stroke atau penyakit jantung koroner dapat dilihat dari berbagai sisi seperti low-density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high-density lipoprotein (HDL), trigliserida, dan rasio apolipoprotein B (ApoB) terhadap apolipoprotein A1 (ApoA1). Terlebih lagi, terdapat faktor risiko lainnya yang perlu dipertimbangkan seperti lingkar perut, riwayat merokok, riwayat keluarga dan lain sebagainya.[4–6]
Penelitian Terbaru Mengenai Lemak dan Karbohidrat
Salah satu penelitian besar terbaru mengenai topik ini diteliti oleh The Prospective Urban Rural Epidemiology (PURE). Penelitian ini mengumpulkan informasi dari 18 negara di lima benua, dan mencakup lebih dari 135 ribu partisipan dengan rerata follow up 7,4 tahun. Penelitian ini mencatat konsumsi makanan sehari-hari partisipan menggunakan validated food frequency questionnaires dan membagi jenis nutrien menjadi persentase dari total asupan energi selama 24 jam.[4]
Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa kelompok dengan konsumsi karbohidrat yang lebih tinggi dapat diasosiasikan dengan peningkatan risiko mortalitas, tapi tidak dengan risiko penyakit kardiovaskular atau kematian karena penyakit kardiovaskular. Konsumsi lemak secara keseluruhan dan setiap tipe lemak (saturated, monounsaturated, dan polyunsaturated) tidak berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, infark miokard akut, mauun mortalitas kardiovaskular. Jumlah konsumsi lemak saturated yang tinggi bahkan dilaporkan berkaitan dengan penurunan risiko stroke.[4]
Beberapa jurnal lain juga menyatakan bahwa hipotesa satu makronutrien buruk dan perlu dikurangi adalah konsep yang terlalu sederhana.[4,5,7–9]
Penelitian PURE adalah awalan baru penelitian skala besar yang melihat diet pada sisi dunia yang lain selain dari populasi yang selama ini diteliti. Populasi dengan pola diet yang berbeda, dengan kondisi sosioekonomik yang berbeda, dan demografis penyakit yang berbeda. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dari penelitian tersebut. Peneliti tidak mempertimbangkan jenis karbohidrat yang dikonsumsi, hanya jenis lemak saja.[4]
Takaran yang digunakan adalah persentase setiap makronutrien, tetapi tidak total jumlah yang dikonsumsi. Persentase karbohidrat berbanding lurus dengan kondisi sosioekonomik peserta, sehingga dapat mempengaruhi faktor eksternal lainnya. Penelitian ini juga tidak mencakup trans fat, yaitu jenis lemak yang, pada penelitian sebelumnya, dilaporkan ‘paling berbahaya’.[4]
Aplikasi Secara Klinis
Diet yang baik adalah diet yang seimbang antara lemak, karbohidrat, dan protein dengan kualitas yang baik. Bukan hanya fokus terhadap satu jenis makronutrien. [5,9] Saat ini, regimen atau saran yang direkomendasikan tetap pembatasan persentase lemak yang dikonsumsi, namun informasi dan penelitian terbaru harus tetap dipertimbangkan. Diperlukan lebih banyak lagi penelitian dan uji klinis mengenai dampak karbohidrat serta peningkatan sosialisasi mengenai apa yang dimaksud dengan lemak dan subdivisinya agar pasien mengerti bahwa tidak semua lemak buruk.
Liu et al menyatakan bahwa 90% konsumer mengasosiasikan lemak dengan hal yang negatif seperti obesitas dan gangguan jantung. Pasien harus mengerti bahwa lemak bukan hanya dari keju, makanan siap saji, produk dairy, atau mentega, tetapi lemak juga bisa didapat dari sumber sehat seperti alpukat dan kacang-kacangan.[5]
Kesimpulan
Suatu studi kohort terbaru yang dilakukan di 18 negara melaporkan bahwa konsumsi diet tinggi karbohidrat berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan diet tinggi lemak. Studi ini dilakukan pada populasi yang lebih luas daripada penelitian-penelitian sebelumnya, dengan kondisi sosioekonomik dan demografik yang berbeda. Namun, studi ini masih memiliki berbagai kekurangan dan faktor perancu yang tidak dikendalikan.
Rekomendasi diet yang baik adalah diet yang seimbang dengan kualitas dan pengertian yang tepat. Penyakit tidak dapat diasosiasikan secara sederhana dengan membatasi atau meningkatkan satu jenis makronutrien, tetapi terdapat hubungan yang lebih kompleks antara banyak faktor lainnya.