Effect of Stress Ulcer Prophylaxis With Proton Pump Inhibitors vs Histamine-2 Receptor Blocker on In-Hospital Mortality Among ICU Patients Receiving Invasive Mechanical Ventilation: The PEPTIC Randomized Clinical Trial
PEPTIC Investigators for the Australian and New Zealand Intensive Care Society Clinical Trials Group, Alberta Health Services Critical Care Strategic Clinical Network, and the Irish Critical Care Trials Group. The Journal of the American Medical Association. 2020;323(7):616-626. PMID: 31950977
Abstrak
Latar Belakang: Penghambat pompa proton dan antagonis reseptor histamin-2 sering diresepkan untuk profilaksis stress ulcer pada pasien di ruang perawatan intensif (ICU). Efek komparatif kedua obat ini terhadap kematian belum diketahui.
Tujuan: Membandingkan angka kematian pasien rawat inap yang menggunakan penghambat pompa proton untuk profilaksis stress ulcer dengan yang menggunakan antagonis reseptor histamin-2.
Desain dan Peserta: Uji klinis acak crossover berkluster diadakan di 50 ICU di lima negara antara bulan Agustus 2016 sampai Januari 2019. Pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik invasif dalam waktu 24 jam setelah admisi ke ICU dipantau hingga 90 hari di rumah sakit.
Intervensi: Dua strategi profilaksis stress ulcer, yaitu menggunakan penghambat pompa proton atau menggunakan antagonis reseptor histamin-2 dibandingkan.
Setiap ICU menggunakan kedua strategi tersebut secara bergantian, masing-masing selama 6 bulan. Sebanyak 25 ICU menggunakan penghambat pompa proton terlebih dahulu lalu menggunakan antagonis reseptor histamin-2, sedangkan 25 ICU lainnya menggunakan antagonis reseptor histamin-2 terlebih dahulu kemudian menggunakan penghambat pompa proton. Sebanyak 13436 pasien mendapatkan penghambat pompa proton dan 13392 pasien mendapatkan antagonis reseptor histamin-2.
Luaran dan Parameter: Luaran primer adalah mortalitas karena penyebab apapun selama 90 hari masa perawatan. Luaran sekunder adalah perdarahan saluran cerna atas yang bermakna secara klinis, infeksi Clostridioides difficile, dan lama perawatan di ICU dan di rumah sakit.
Hasil: Dari 26982 pasien, 154 pasien mengundurkan diri dan 26828 pasien dianalisis. Rata-rata usia adalah 58 tahun dan 9691 (36,1%) adalah perempuan.
Terdapat 26771 pasien (99,2%) yang dianalisis mortalitasnya. Sebanyak 2459 dari 13415 pasien (18,3%) yang mendapat penghambat pompa proton meninggal di rumah sakit dalam 90 hari dan sebanyak 2333 dari 13356 pasien (17,5%) yang mendapat antagonis reseptor histamin-2 meninggal di rumah sakit dalam 90 hari (risiko relatif 1,05 [95% CI, 1.00 hingga 1.10]; perbedaan risiko absolut 0,93 [95% CI, -0,01 hingga 1,88]; P = 0,054).
Sekitar 4,1% dari pasien yang seharusnya menerima penghambat pompa proton ternyata menerima antagonis reseptor histamin-2 dan sekitar 20,1% pasien yang seharusnya menerima antagonis reseptor histamin-2 ternyata menerima penghambat pompa proton.
Perdarahan saluran cerna atas yang bermakna secara klinis terjadi pada 1,3% pasien yang mendapat penghambat pompa proton dan pada 1,8% pasien yang mendapat antagonis reseptor histamin-2 (risiko relatif 0,73 [95% CI, 0,57 hingga 0,92]; perbedaan risiko absolut -0,51 [95% CI, -0,90 hingga -0,12); P = 0,009).
Tingkat infeksi Clostridiodes difficile dan lamanya perawatan di ICU dan rumah sakit tidak berbeda signifikan pada kedua kelompok. Terdapat 1 kejadian tidak diharapkan (reaksi alergi) pada 1 pasien yang mendapat penghambat pompa proton.
Kesimpulan: Penggunaan penghambat pompa proton vs antagonis reseptor histamin-2 dalam profilaksis stress ulcer pada pasien ICU yang membutuhkan ventilasi mekanik invasif menunjukkan angka mortalitas 18,3% vs 17,5% secara respektif. Perbedaan ini tidak mencapai ambang batas yang signifikan. Namun, interpretasi penelitian mungkin terganggu oleh adanya crossover dalam penggunaan jenis obat yang telah ditentukan.
Ulasan Alomedika
Sekitar 2,5% pasien dewasa yang dirawat di ICU dilaporkan mengalami perdarahan saluran cerna atas, sehingga dokter sering meresepkan penghambat pompa proton untuk profilaksis stress ulcer. Sebuah meta analisis menyatakan bahwa penghambat pompa proton mungkin lebih efektif daripada antagonis reseptor histamin-2 dalam profilaksis perdarahan saluran cerna atas. Namun, keabsahan dari kesimpulan meta analisis ini dibatasi oleh kurangnya data dan keterbatasan metodologi penelitian.
Keraguan atas keunggulan penghambat pompa proton (misalnya omeprazole dan lansoprazole) dibandingkan antagonis reseptor histamin-2 (misalnya ranitidine dan cimetidine) juga semakin besar karena studi lain mengasosiasikan penggunaan penghambat pompa proton dengan peningkatan risiko pneumonia nosokomial dan infeksi Clostridioides difficile. Obat ini dikatakan dapat menimbulkan efek imunosupresi yang mungkin berperan dalam meningkatkan risiko infeksi.
Uji klinis acak ini diadakan untuk membandingkan angka mortalitas kedua jenis obat profilaksis stress ulcer ini pada pasien di ICU yang membutuhkan ventilasi mekanik invasif. Uji klinis ini diperlukan karena belum adanya studi lain yang membandingkan efek kedua obat tersebut terhadap mortalitas secara langsung.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini berbentuk uji klinis acak crossover berkluster. Setiap ICU diacak untuk memberikan penghambat pompa proton sebagai standar profilaksis stress ulcer selama 6 bulan, kemudian diganti dengan antagonis reseptor histamin-2 selama 6 bulan juga atau sebaliknya.
Klinisi menentukan apakah pasien membutuhkan profilaksis stress ulcer, kemudian memberikan obat profilaksis sesuai standar yang sedang diberlakukan di ICU tersebut. Namun, klinisi dapat memberikan penghambat pompa proton atau antagonis reseptor histamin-2 sesuai dengan penilaian klinis apabila dibutuhkan.
Penentuan inisiasi terapi dan penentuan pergantian obat yang sangat tergantung pada keputusan masing-masing klinisi tanpa suatu pedoman yang baku ini mungkin dapat menyebabkan bias.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran primer yang dinilai dalam uji klinis acak ini adalah angka mortalitas akibat segala penyebab dalam 90 hari. Luaran ini mungkin bersifat terlalu general, mengingat salah satu alasan timbulnya keraguan keunggulan penghambat pompa proton adalah teori bahwa obat ini menimbulkan imunosupresi dan meningkatkan risiko infeksi nosokomial seperti pneumonia. Analisis angka mortalitas yang lebih spesifik akibat infeksi nosokomial masih dibutuhkan.
Sebanyak 4,1% dari pasien yang berada dalam grup penghambat pompa proton ternyata diberikan antagonis reseptor histamin-2, sementara 20,1% pasien dalam grup antagonis reseptor histamin-2 akhirnya justru diberikan penghambat pompa proton. Nonadherence yang asimetris ini (penggunaan condong ke penghambat pompa proton) mungkin menimbulkan bias hasil studi.
Salah satu luaran sekunder yang dinilai dalam studi ini adalah perdarahan saluran cerna atas. Grup pasien yang mendapat antagonis reseptor histamin-2 dilaporkan lebih banyak mengalami perdarahan saluran cerna atas. Namun, hal ini mungkin terjadi karena beberapa pasien telah mengonsumsi penghambat pompa proton sejak sebelum admisi ke ICU, sehingga penghentian penghambat pompa proton dan pergantian ke antagonis reseptor histamin-2 menyebabkan sekresi asam lambung rebound.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini membandingkan angka mortalitas pada pasien ICU yang mendapatkan penghambat pompa proton dan yang mendapatkan antagonis reseptor histamin-2, mengingat belum adanya studi serupa sebelumnya. Hal ini menjadi suatu keunggulan, terutama karena perbandingan dilakukan antar intervensi dan bukan antar intervensi dengan plasebo.
Ukuran sampel yang dipelajari dalam penelitian ini juga besar dan penelitian dilakukan di tempat yang tersebar, sehingga diharapkan sampel yang telah digunakan dapat merepresentasikan populasi yang luas. Desain penelitian berupa uji klinis kohort acak juga dapat meminimalkan bias.
Limitasi Penelitian
Selain risiko bias yang mungkin timbul akibat nonadherence klinisi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini juga memiliki beberapa limitasi lain. Beberapa pasien yang didiagnosis mengalami perdarahan saluran cerna atas selama dirawat di ICU mungkin telah mengalami perdarahan tersebut sejak sebelum admisi.
Data mortalitas juga diperoleh dari registries, sehingga mungkin terdapat kekeliruan. Selain itu, klinisi dan staf riset sadar akan jenis obat yang digunakan. Hal ini dapat memengaruhi penilaian mereka saat menentukan luaran sekunder seperti perdarahan saluran cerna atas.
Terakhir, klinisi memiliki kebebasan dalam menentukan jenis penghambat pompa proton dan jenis antagonis reseptor histamin-2 serta rute administrasi yang digunakan. Hal ini menyebabkan generalisasi yang luas. Studi lebih spesifik tentang jenis obat atau rute administrasi tertentu mungkin memberikan hasil yang berbeda.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Di Indonesia, obat golongan penghambat pompa proton sangat sering diberikan pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Mengingat hasil studi yang ada saat ini tidak membuktikan bahwa obat golongan penghambat pompa proton dapat meningkatkan angka mortalitas pasien dibandingkan obat golongan antagonis reseptor histamin-2, maka obat ini dapat tetap digunakan sebagai profilaksis stress ulcer bila dokter menilai pasien membutuhkan profilaksis.
Pemilihan antara penghambat pompa proton atau antagonis reseptor antihistamin-2 juga dapat disesuaikan dengan kondisi risk-benefit tiap pasien dan ketersediaan obat di masing-masing fasilitas kesehatan. Studi lebih lanjut yang membandingkan efek obat-obat kedua golongan ini secara lebih spesifik dengan rute administrasi yang juga lebih spesifik masih diperlukan.