Penurunan berat badan selama ini dinilai bermanfaat untuk pasien gout karena diduga dapat mengurangi keparahan gejala gout dan risiko flare gout. Akan tetapi, bukti klinis yang mendasari rekomendasi penurunan berat badan pada pasien gout ini sebenarnya masih bersifat lemah.[1,2]
Berdasarkan Global Burden of Disease, gout merupakan salah satu peradangan sendi yang paling banyak terjadi di kawasan Asia Pasifik. Gout terjadi akibat hiperurisemia, yang disebabkan oleh produksi asam urat berlebihan atau kurangnya eliminasi asam urat melalui ginjal dan saluran cerna. Hiperurisemia dapat diperparah dengan adanya komorbiditas yang lazim dialami pasien, seperti hipertensi (75%), gagal ginjal kronis (GGK) (70%), obesitas (53%) dan penyakit kardiovaskular (10-14%).[1,2]
Dalam mayoritas literatur, penurunan berat badan (BB) dianjurkan kepada pasien gout yang overweight atau obesitas dengan anggapan dapat mengurangi keparahan gejala gout dan mengurangi risiko flare gout. Namun, bukti klinis sebenarnya tidak cukup kuat dan masih menjadi kontroversi, sehingga studi klinis yang lebih baik perlu dilakukan untuk mengonfirmasi benar tidaknya asumsi tersebut.[1,2]
Sekilas tentang Hiperurisemia
Asam urat adalah produk metabolisme purin dalam tubuh, yang berasal dari degradasi enzimatik hipoxantin dan xantin. Sekitar ⅓ asam urat dalam tubuh berasal dari diet yang mengandung purin, sedangkan ⅔ sisanya berasal dari produksi endogen. Proses metabolisme terutama berlangsung di hepar, sedangkan proses eliminasi terjadi melalui ginjal dan usus. Sekitar 90% asam urat bisa direabsorpsi kembali ke sirkulasi.[2-4]
Hiperurisemia dapat terjadi karena naiknya produksi asam urat ataupun berkurangnya eliminasi asam urat. Konsentrasi asam urat dalam tubuh bisa dipengaruhi beberapa faktor, seperti diet, genetik, dan lingkungan. Ketika terjadi gangguan pada faktor-faktor tersebut, maka hiperurisemia berisiko terjadi. Hiperurisemia didefinisikan sebagai kadar asam urat >7 mg/dL pada laki-laki atau >6 mg/dL pada perempuan.[2-4]
Tidak semua pasien hiperurisemia mengalami gout. Namun, hiperurisemia merupakan prediktor kuat untuk terjadinya gout.[2-4]
Prinsip Tata Laksana Gout Secara Umum
Berdasarkan rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan American College of Rheumatology, pasien gout harus diberikan edukasi terkait modifikasi gaya hidup. Contohnya adalah menurunkan BB hingga ideal, menghindari alkohol dan minuman yang mengandung pemanis buatan atau high-fructose corn syrup, dan mengurangi makanan berkalori tinggi serta daging merah dan seafood. Pasien dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak dan melakukan latihan fisik teratur.[5,6]
Modifikasi gaya hidup tersebut selama ini menjadi kunci terapi gout bersama dengan terapi medikamentosa, misalnya allopurinol yang menurunkan kadar asam urat maupun kolkisin yang mengurangi gejala dalam fase akut.[5,6]
Bukti tentang Efek Penurunan Berat Badan terhadap Serangan Gout
Dari berbagai faktor risiko, obesitas merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada pasien gout. Beberapa guideline merekomendasikan penurunan BB pada pasien gout, yang didasarkan pada beberapa uji klinis terdahulu. Indeks massa tubuh (IMT) dilaporkan berhubungan dengan kadar asam urat, sehingga penurunan BB dianjurkan. Namun, bukti tentang seberapa efektifnya penurunan BB mengurangi keparahan gejala gout maupun risiko flare gout sebenarnya masih terbatas.[1,7]
Meta analisis Nilsen et al. pada tahun 2017 menyatakan bahwa penurunan BB mungkin bermanfaat untuk membantu mencapai target kadar asam urat serum dan mengurangi serangan gout dalam jangka menengah serta jangka panjang. Namun, Nielsen et al. mengakui bahwa hasil tersebut perlu dikaji lebih lanjut, karena mayoritas studi yang dianalisis merupakan penelitian observasional dan memiliki metodologi yang berkualitas rendah.[7]
Suatu uji klinis yang lebih baru yang dipublikasikan pada tahun 2024 oleh Christensen et al. mencoba menganalisis kembali dampak penurunan BB pada 61 pasien gout yang mengalami obesitas. Uji klinis dilakukan selama 16 minggu, di mana pasien diacak ke dalam grup yang menggunakan diet rendah energi atau grup diet kontrol.[8]
Hasil studi Christensen et al. tersebut menunjukkan bahwa diet rendah energi memang efektif mengurangi BB, tetapi penurunan BB ternyata tidak begitu berdampak pada kadar asam urat serum, keluhan nyeri, dan fatigue. Antara grup yang diberi intervensi diet dan grup kontrol, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan dalam perubahan kadar asam urat serum, keluhan nyeri, dan terjadinya gout flares. Namun, studi ini memiliki jumlah sampel yang sangat kecil dan berdurasi singkat, sehingga hasilnya perlu diinterpretasikan dengan berhati-hati.[8]
Kesimpulan
Modifikasi gaya hidup merupakan kunci terapi gout yang sebaiknya diterapkan bersama dengan terapi medikamentosa. Modifikasi gaya hidup yang terutama dianjurkan adalah pembatasan makanan dan minuman yang tinggi purin. Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan hingga ideal, yakni dengan mengonsumsi diet rendah kalori dan berolahraga, juga sering dianjurkan. Namun, bukti tentang efek penurunan BB terhadap keparahan gejala gout dan risiko flare gout sebenarnya masih bersifat lemah.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan BB dapat bermanfaat untuk membantu mencapai target kadar asam urat serum dan mengurangi serangan gout, tetapi terdapat juga studi yang menunjukkan bahwa penurunan BB tidak berdampak signifikan.
Untuk saat ini, mengingat betapa berisikonya obesitas itu sendiri, maka penurunan BB hingga IMT ideal dapat terus direkomendasikan untuk pasien gout yang mengalami obesitas. Akan tetapi, ke depannya, studi klinis lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar dan desain yang lebih baik perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa efektifnya program penurunan BB untuk pasien gout dan regimen olahraga seperti apakah yang aman dianjurkan.