Hipertensi dalam kehamilan diduga meningkatkan risiko terjadinya gangguan autisme dan attention deficit hypersensitivity disorder (ADHD) pada anak. Hipertensi pada kehamilan dapat berupa hipertensi kronik yang sudah terjadi sebelum kehamilan, hipertensi gestasional, preeklampsia, eklampsia, atau hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia.
Gangguan hipertensi cukup sering terjadi dalam masa kehamilan, yaitu sekitar 10–15%. Apabila tidak ditangani dengan tepat, gangguan hipertensi dalam kehamilan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi.
Hipertensi dalam kehamilan dapat mengakibatkan peningkatan risiko jangka panjang terhadap gangguan vaskular, kognitif, dan psikiatrik pada bayi. Beberapa penelitian menduga terdapat hubungan antara hipertensi dalam kehamilan dengan terjadinya gangguan mental dan perilaku pada anak, seperti autisme dan ADHD. Autisme dan ADHD merupakan gangguan yang terjadi pada personal, sosial, akademik, dan fungsi okupasi seseorang.
Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan jika ibu hamil memiliki tekanan sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg. Jika ditemukan sebelum usia kehamilan 20 minggu, disebut sebagai hipertensi kronik. Sedangkan jika ditemukan pada usia kehamilan 20 minggu ke atas, disebut sebagai hipertensi gestasional.[3,4]
Diagnosis preeklampsia ditegakkan jika ditemukan tekanan darah tinggi, ditambah dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Preeklampsia dan eklampsia merupakan gangguan hipertensi dalam kehamilan yang memiliki risiko tinggi.[3,4]
Preeklampsia terjadi akibat ketidakseimbangan antara suplai uteroplasental dengan kebutuhan janin. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan inflamasi maternal sehingga terjadi stres oksidatif, aktivasi sel imun dan sitokin, serta ketidakseimbangan angiogenik. Rangkaian kejadian tersebut mengakibatkan aktivasi sel endotelial yang menghasilkan tanda dan gejala pada ibu.[3,4]
Komplikasi hipertensi pada kehamilan dapat berupa komplikasi pada maternal dan janin. Komplikasi pada maternal umumnya bersifat jangka pendek, di antaranya gangguan pada sistem saraf pusat atau kejang (eklampsia), stroke iskemik atau perdarahan intrakranial, gagal hati, disfungsi renal, dan melahirkan bayi prematur.[3]
Komplikasi yang terjadi pada janin dapat berupa restriksi pertumbuhan intrauterin, gangguan pernapasan pada neonatus, lahir prematur, dan peningkatan risiko kegawatan neonatus, bahkan kematian. Komplikasi jangka panjang yang bisa terjadi pada janin adalah gangguan tumbuh kembang.[3]
Mekanisme Hubungan Hipertensi dalam Kehamilan dengan Autisme dan ADHD
Mekanisme pasti hubungan antara hipertensi dalam kehamilan, khususnya preeklampsia, dengan kejadian gangguan neuropsikiatri belum diketahui secara jelas. Berbagai penelitian mencoba menjelaskan beberapa mekanisme biologis pada gangguan hipertensi yang dapat meningkatkan risiko autisme dan ADHD.
Pada preeklampsia, terdapat gangguan invasi arteri spiral uterus maternal ke dalam trofoblas plasental. Hal ini mengakibatkan perfusi plasental berkurang sehingga terjadi hipoksia pada fetus dan plasenta. Kurangnya suplai oksigen ke fetus semasa kehamilan dapat mengakibatkan gangguan pada perkembangan neuron.
Terbatasnya oksigen dan nutrisi ke janin juga dapat mengakibatkan terjadi stres oksidatif, terkhususnya pada otak janin. Rendahnya suplai oksigen dan peningkatan stres oksidatif ini memungkinkan peningkatan risiko kejadian autisme dan ADHD.[3,5]
Penelitian lain mengatakan defisiensi mikronutrien dan disfungsi metabolik akibat hipertensi merupakan mekanisme yang berpotensi untuk menyebabkan gangguan neuropsikiatri pada anak. Kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan restriksi pertumbuhan intrauterin, merupakan komplikasi yang dapat terjadi akibat ibu menderita hipertensi dalam kehamilan. Komplikasi ini juga berhubungan dengan keterlambatan tumbuh kembang, dan gangguan autisme maupun ADHD.[3,5]
Penelitian oleh Dang, et al. mengatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan, terutama preeklampsia, menyebabkan penurunan placental growth factor (PGF) pada plasma maternal. PGF berfungsi dalam perkembangan vaskular di dalam basalis desidual. Kurangnya PGF pada kehamilan dapat mengakibatkan gangguan perkembangan vaskular otak fetus.[6]
Adanya gangguan perkembangan vaskular dapat menyebabkan disrupsi neuron, terutama pada fungsi kognitif, visuospasial dan memori.[6]
Bukti Klinis Risiko Autisme dan ADHD pada Hipertensi dalam Kehamilan
Etiologi autisme dan ADHD sampai saat ini masih belum sepenuhnya dimengerti. Gangguan neuropsikiatri, seperti autisme dan ADHD, merupakan gangguan multifaktorial yang melibatkan faktor genetik dan lingkungan.[2]
Hipertensi dalam kehamilan dapat mengakibatkan berbagai komplikasi jangka panjang, salah satunya gangguan neuropsikiatri pada anak. Namun, masih menjadi perdebatan apakah hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan angka kejadian autisme dan ADHD.[2]
Risiko Autisme pada Hipertensi dalam Kehamilan
Metaanalisis oleh Maher, et al. terdiri dari 61 studi yang meneliti hubungan antara hipertensi dalam kehamilan dan gangguan perkembangan neurologis pada anak. Dua puluh studi meneliti tentang risiko autisme pada hipertensi dalam kehamilan. Ibu yang mengalami hipertensi dalam kehamilan memiliki risiko anak dengan autisme 1,41 kali lebih tinggi dibandingkan ibu hamil normal.[2]
Metaanalisis oleh Xu, et al. terdiri dari 21 studi yang menilai hubungan antara gangguan hipertensi pada kehamilan dan risiko terjadinya autisme pada anak. Metaanalisis ini menghasilkan hasil yang serupa, yaitu adanya peningkatan risiko sebesar 1,42 kali untuk anak mengalami gangguan autisme pada ibu hamil dengan gangguan hipertensi.[7]
Pada metaanalisis ini didapatkan adanya prevalensi kelahiran prematur yang cukup tinggi pada grup hipertensi, yang diduga memperkuat risiko terjadinya autisme pada kelompok hipertensi.[7]
Metaanalisis lain dilakukan oleh Dachew, et al. terdiri dari sepuluh studi yang meneliti hubungan antara preeklampsia dengan kejadian autisme. Pada metaanalisis ini didapatkan peningkatan risiko sebesar 32% untuk kejadian autisme pada kelompok preeklampsia.[5]
Tidak ada bukti heterogenitas dan bias publikasi pada metaanalisis ini. Namun, pada metaanalisis ini beberapa faktor perancu, seperti obesitas, paritas, diabetes gestasional, dan infeksi dalam kehamilan, bisa saja memengaruhi hasil penelitian.[5]
Risiko ADHD pada Hipertensi dalam Kehamilan
Pada metaanalisis oleh Maher, et al. sepuluh studi meneliti tentang risiko ADHD pada hipertensi dalam kehamilan, dan didapatkan peningkatan risiko 1,32 kali lebih tinggi pada ibu hamil yang mengalami hipertensi untuk memiliki anak dengan ADHD. Studi ini juga menilai hubungan antara hipertensi dalam kehamilan dengan gangguan neuropsikiatri dan perilaku lain, tetapi tidak didapatkan hasil yang konsisten.[2]
Pada metaanalisis ini, didapatkan adanya peningkatan risiko yang signifikan antara terjadinya gangguan autisme dan ADHD pada anak dengan ibu yang memiliki riwayat hipertensi dalam kehamilan. Studi ini memiliki heterogenitas rendah dan sebagian besar studi memiliki risiko bias yang rendah–sedang. Namun, metaanalisis ini belum dapat menutup kemungkinan penggunaan obat-obatan antihipertensi berhubungan dengan adanya efek samping pada janin.[2]
Kesimpulan
Hipertensi dalam kehamilan masih cukup sering terjadi dan berkontribusi pada tingginya morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Beberapa metaanalisis mendapatkan hasil yang serupa, yaitu ibu hamil yang mengalami gangguan hipertensi memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan autisme dan ADHD.
Walau hubungan kausalitas antara hipertensi pada kehamilan dengan peningkatan risiko autisme dan ADHD masih memerlukan penelitian lebih lanjut, sebaiknya tenaga medis tetap melakukan skrining hipertensi selama antenatal care pada ibu hamil. Pastikan juga teknik pemeriksaan tekanan darah dilakukan dengan benar untuk memastikan hasil yang akurat.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra