Indikasi pemeriksaan C-reactive protein atau CRP pada anak-anak perlu dipahami oleh dokter untuk mencegah overuse pemeriksaan CRP. Pemeriksaan CRP yang dilakukan tanpa basis tidak bisa membantu diagnosis dan manajemen pasien melainkan hanya meningkatkan biaya medis yang tidak perlu.
C-reactive protein atau CRP adalah protein fase akut yang disintesis oleh hati sebagai respons terhadap sekresi beberapa sitokin inflamasi, termasuk IL-6 (interleukin 6), IL-1, dan TNF (tumor necrosis factor). CRP disintesis oleh hati dengan cepat dalam kurun waktu 6 jam setelah inflamasi dan nekrosis jaringan. CRP memiliki waktu paruh singkat dan umumnya segera menurun saat kondisi pasien membaik.[1]
Sifat-sifat CRP tersebut menjadikannya sebagai salah satu pemeriksaan yang populer untuk mendeteksi inflamasi dan mengestimasi tingkat keparahan penyakit. Nilai rujukan panel CRP untuk anak berusia 1 bulan hingga 16 tahun dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu:
- Ringan: kadar <20 mg/L
- Sedang: kadar 20–75 mg/L
- Berat: kadar >75 mg/L[2,3]
Akurasi Diagnostik Pemeriksaan C-Reactive Protein
Pada individu normal, panel CRP kadarnya terjaga ekstrim rendah (<0,5 mg/L). Panel ini bersifat sangat sensitif. Peradangan ringan dapat meningkatkan kadar CRP hingga 10–20 kali lipat dari nilai normalnya. Namun, kadar CRP bervariasi pada setiap individu tergantung pada usia dan jenis kelamin.[3]
Selain itu, panel CRP mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang beragam tergantung pada pabrikan alatnya. Sensitivitasnya dilaporkan berkisar antara 87–98%, sedangkan spesifisitasnya berkisar antara 91–98% bila dibandingkan dengan pemeriksaan baku emas, yaitu kultur.[3]
Uji klinis juga menunjukkan adanya variasi sensitivitas, spesifisitas, dan predictive value CRP yang signifikan tergantung pada jenis infeksi yang dialami pasien. Oleh karena itu, CRP masih memiliki keterbatasan dalam diagnosis dan memerlukan pertimbangan lebih matang oleh dokter sebelum dilakukan.[1,3]
Pro dan Kontra Pemeriksaan C-Reactive Protein pada Anak
Pemeriksaan CRP sering dilakukan pada anak-anak untuk membedakan apakah suatu infeksi disebabkan oleh virus atau bakteri. Hal ini didasari oleh hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa CRP meningkat lebih signifikan pada infeksi bakteri. Contoh umum penggunaan CRP adalah pada anak yang febris atau neonatus yang dicurigai sepsis.[1]
Suatu penelitian tahun 2022 mengenai rapid test CRP pada anak dengan infeksi akut di fasilitas kesehatan primer menyatakan bahwa pemeriksaan ini bersifat cukup akurat dan ramah anak karena cara pengambilan sampel dan jumlah sampel yang dibutuhkan tidak menyulitkan anak. Akan tetapi, pemeriksaan CRP tidak dapat secara spesifik menentukan sebab penyakit. Pemeriksaan ini hanya bermanfaat untuk memperkirakan tingkat keparahan penyakit dan respons terhadap terapi.[5]
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemeriksaan CRP bisa mengurangi rata-rata peresepan antibiotik karena bisa membedakan infeksi virus dan bakteri. Namun, ada juga penelitian di beberapa negara Eropa (Norwegia dan Belanda) yang menunjukkan bahwa pemeriksaan CRP tidak mengurangi peresepan antibiotik secara signifikan dan hanya bermanfaat sebagai tambahan informasi untuk monitoring keparahan penyakit.[5]
Suatu studi retrospektif terhadap 2.250 data rumah sakit menunjukkan bahwa dari semua pemeriksaan CRP yang dilakukan, hanya 12,9% membantu decision-making klinis pada neonatus suspek sepsis dan hanya 29,9% membantu decision-making klinis pada anak febris. Lebih dari separuh tes CRP yang dilakukan tidak memiliki basis bukti yang jelas, padahal pemeriksaan ini meningkatkan biaya medis.[1]
Indikasi yang Tepat untuk Pemeriksaan C-Reactive Protein pada Anak
CRP bisa meningkat pada kondisi infeksi maupun noninfeksi. Contoh kondisi noninfeksi adalah inflamasi pada penyakit autoimun. Sementara itu, contoh infeksi di mana CRP meningkat sangat beragam, misalnya pneumonia, gastroenteritis, infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas atas, meningitis, abses, selulitis, dan sepsis. CRP meningkat lebih signifikan pada infeksi bakteri, tetapi juga naik pada infeksi HIV atau malaria.[1,3-6]
CRP memiliki potensi untuk digunakan sebagai pembeda infeksi bakteri (≥40 mg/L) dan infeksi non-bakteri (20–40 mg/L), terutama untuk menentukan pemberian antibiotik jika kadar CRP >40 mg/L. Akan tetapi, mengingat banyaknya kemungkinan penyebab CRP meningkat, keputusan untuk melakukan pemeriksaan CRP sebaiknya didasarkan juga dengan penilaian klinis.[3,5]
Penilaian klinis untuk seleksi pasien yang akan menjalani pemeriksaan CRP penting dilakukan. Menurut suatu uji klinis terhadap 2.773 anak di Belgia, pemeriksaan CRP bisa bermanfaat jika dilakukan pada anak yang memiliki risiko tinggi infeksi serius, yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis.[7]
Dalam studi tersebut, anak yang berisiko tinggi terkena infeksi serius adalah mereka yang mengalami demam bersuhu ≥40°C, memiliki usia 12–30 bulan, mengalami diare, atau mengalami sesak napas.[7]
Menurut studi tersebut, pelaksanaan tes CRP hanya pada anak yang berisiko tinggi secara klinis mampu mengurangi jumlah anak yang menjalani tes CRP hingga hampir 80%. Studi tersebut juga menemukan bahwa kadar CRP <5 mg/dL bisa menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi serius, sehingga dokter dapat menghindari rujukan ke rumah sakit yang mungkin tidak perlu.[7]
Pemeriksaan CRP juga bermanfaat sebagai tambahan informasi mengenai tingkat keparahan penyakit pasien bila digabungkan dengan beberapa panel pemeriksaan lain, yakni pemeriksaan fisik, radiologi, hematologi, dan pemeriksaan laboratorium lain. Beberapa pusat kesehatan sudah menerapkan kombinasi panel CRP dengan kondisi klinis anak-anak, misalnya sesak, demam, diare, atau peningkatan bising usus.[5]
Beberapa klinisi mulai mempertimbangkan pemeriksaan lain untuk deteksi peradangan, yaitu PCT (procalcitonin). Panel PCT menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value yang lebih baik daripada CRP. Namun, panel PCT membutuhkan biaya yang lebih mahal.[3,5,6]
Kesimpulan
Pemeriksaan CRP pada anak-anak sering dilakukan untuk membedakan infeksi bakteri dan infeksi non-bakteri, dengan harapan dapat mengurangi peresepan antibiotik yang tidak perlu. Namun, pemeriksaan CRP memiliki variasi sensitivitas dan spesifisitas yang cukup signifikan tergantung pada jenis infeksi.
Oleh sebab itu, pelaksanaan tes CRP secara universal pada semua anak yang demam atau dicurigai sepsis tanpa seleksi lebih lanjut mungkin tidak bisa membantu proses decision-making klinis dan hanya memberatkan biaya bagi pasien.
Permintaan untuk pemeriksaan CRP sebaiknya tetap dikombinasikan dengan penilaian klinis untuk seleksi pasien, yakni pasien yang secara klinis memiliki risiko tinggi untuk mengalami infeksi serius. Pemeriksaan CRP juga bermanfaat sebagai tambahan informasi mengenai tingkat keparahan penyakit pasien bila digabung dengan beberapa panel pemeriksaan lain, yakni pemeriksaan fisik, radiologi, atau hematologi, sesuai dengan indikasi tiap pasien.