Langkah diagnostik kejang pertama pada usia dewasa berbeda dengan pasien anak. Hal ini berkaitan dengan penegakan diagnosis yang optimal dan sistematis. Penegakan diagnosis secara tepat diperlukan untuk memastikan pemberian terapi yang adekuat, serta untuk menghindari adanya pemberian terapi yang tidak perlu, seperti penggunaan anti konvulsan jangka panjang, bahkan sampai seumur hidup.[3]
Kasus kejang pada usia tua ditemukan sebanyak 5% dari seluruh populasi usia dewasa. Pasien akan mengalami setidaknya satu episode serangan kejang di sepanjang hidupnya. Angka insidens kejang bervariasi antara 70 dari 100.000 jiwa dan angka insidens epilepsi 30-50 per 100.000 jiwa yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa.[1]
Kejadian kejang pertama pada usia dewasa akan memerlukan pendekatan klinis dan diagnostik yang tepat serta akurat. Hal ini karena secara statistik, pasien memerlukan rata-rata 4 tahun untuk dapat kembali menjalani kehidupan personal maupun profesional yang normal setelah kejadian kejang, bahkan pada kasus kejang yang tidak berulang.[1] Sehingga serangan kejang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien pada fase usia produktif.[2]
Pertimbangan langkah diagnostik pada penanganan episode kejang pertama pada usia dewasa, dititikberatkan pada langka diagnosis yang tepat. Hal ini untuk menentukan langkah tatalaksana selanjutnya. Langkah diagnosis tersebut terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang neurologi.
Evaluasi Klinis: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Langkah diagnostik yang paling awal dan paling penting dalam mengevaluasi penyebab dari kejang ialah evaluasi klinis, baik dengan anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang detail dan terarah. Anamnesis dapat dilakukan secara langsung dengan pasien (autoanamnesis) dan/atau dengan keluarga atau saksi lain yang tinggal bersama pasien atau menyaksikan serangan kejangnya secara langsung. Beberapa hal penting yang perlu ditanyakan adalah:
Pola Serangan Kejang, Faktor Risiko, dan Diagnosis Banding
Sering kali kejadian kejang tidak disaksikan secara langsung oleh dokter atau tenaga medis yang memeriksa dan menangani pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mendapatkan gambaran detail mengenai pola serangan kejang dari saksi mata, baik pihak keluarga, rekan kerja, ataupun orang lain yang berada di sekitar pasien saat serangan berlangsung. Selain itu, informasi dalam bentuk foto atau video akan sangat membantu memberikan gambaran serangan secara lebih akurat. Pola atau semiologi kejang yang perlu dikenali antara lain:
- Fase preiktal (kondisi sebelum kejang)
- Fase iktal (saat kejang)
- Fase post iktal (setelah kejang)[4]
Dari gambaran tersebut, dapat disimpulkan bentuk bangkitan kejang, baik fokal maupun umum.[4]
Pada anamnesis, juga perlu ditanyakan mengenai beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kejang yang mengarah ke kondisi epilepsi, antara lain:
- Riwayat infeksi sistem saraf pusat
- Riwayat trauma kepala sebelumnya
- Riwayat kejang demam
- Riwayat keluarga dengan kejang ataupun terdiagnosis epilepsi
- Riwayat kelainan saat masa kelahiran atau bayi dan juga gangguan tumbuh kembang[3]
Anamnesis terkait detail bentuk serangan kejang ini juga sangat penting untuk memastikan apakah serangan memang merupakan suatu kejang atau kondisi medis lainnya.[3]
Beberapa kondisi medis dapat menyerupai serangan kejang dan sering kali salah teridentifikasi. Hal ini terjadi pada 20-30% kasus kejang. Sehingga diperlukan pertimbangan diagnosis lain. Beberapa diagnosis yang dapat ditemukan pada populasi usia dewasa dan lanjut usia dirangkum dalam tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis Banding Kejang
Usia Dewasa | Lanjut Usia |
Sinkop vasovagal | Sinkop kardiogenik |
Narkolepsi | Transient ischemic attack |
Diskinesia paroksismal | Transient global amnesia |
Tic | Delirium |
Migrain dengan aura | Ensefalopati metabolik |
Serangan panik | |
Mioklonus hipnik |
Sumber :dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S, Alomedika, 2019[3]
Pada kedua kelompok usia tersebut, juga dapat dipertimbangkan adanya kejang disosiatif (non-epileptik atau kejang psikogenik) yang sering kali sangat sulit dibedakan dengan kejang epileptik.[4]
Pemeriksaan Neurologis
Evaluasi klinis akan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang bertujuan mendukung maupun mengkonfirmasi temuan pada anamnesis. Pemeriksaan neurologis terutama bermanfaat untuk beberapa hal seperti :
- Tanda kejang atau fase iktal : seperti gerakan tonik, mioklonik, automatisasi, penurunan kesadaran, dan sebagainya
- Gangguan kesadaran pada fase post iktal
- Serta defisit neurologis fokal yang mengindikasikan adanya lesi otak epileptogenik[1,4]
Pemeriksaan fisik fungsi sistemik dapat membantu untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin mencetuskan terjadinya kejang, seperti adanya infeksi, penggunaan alkohol atau obat-obatan, penyakit kronis, dan sebagainya. Selain itu, juga perlu diperhatikan adanya tanda-tanda trauma akibat serangan kejang (fraktur terbuka, fraktur tertutup, dislokasi sendi, hematoma, luka terbuka).[3,4]
Pemeriksaan Penunjang: Laboratorium, Elektroensefalografi, Neuroimaging
Tidak ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat menggantikan kepentingan dan nilai diagnostik dari evaluasi klinis. Namun, beberapa jenis pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, neuroimaging (MRI kepala atau CT scan), serta elektroensfalografi dapat menjadi pemeriksaan yang menunjang diagnosis dan prognosis pada pasien.[3]
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu untuk mencari etiologi dari kasus kejang non epileptik, antara lain infeksi, gangguan kadar elektrolit seperti hiponatremia, dan hipoglikemia. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kadar gula dalam darah dan elektrolit.[3]
Sebagai contoh, bila pada anamnesis ditemukan keadaan yang menjurus pada infeksi dan tanda klinis dan/atau hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah pada kondisi meningitis atau ensefalitis, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal untuk dilakukan analisis pada cairan serebrospinal. Selain mencari tanda infeksi intrakranial, juga dapat dilakukan analisis untuk mencari kemungkinan adanya ensefalitis karena kondisi autoimun.[4]
Elektroensefalografi
Kondisi kejang yang secara umum didasari oleh adanya aktivitas listrik otak yang abnormal, tentu tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan rekam listrik otak atau elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan EEG ini juga menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan dalam investigasi atau alur diagnostik kejang pertama pada usia dewasa. Jika dilakukan dalam 24 jam pertama pasca kejang, didapatkan adanya kelainan EEG pada 50% kasus. Jika dilakukan di atas 24 jam maka tingkat penemuan abnormalitasnya menurun hingga 30% kasus.[4]
Ditemukannya kelainan pada EEG, berupa gelompang epileptiform baik fokal maupun umum, menjadi faktor prediktor kekambuhan kejang selanjutnya. Akan tetapi, hasil EEG yang normal tidak dapat menyingkirkan kemungkinan adanya serangan kejang berulang. Hal ini didasari oleh karena, pasien dengan epilepsi sekali pun akan dapat ditemui hasil EEG tanpa kelainan berarti.[3]
Neuroimaging
Setiap pasien usia dewasa yang mengalami serangan kejang untuk pertama kalinya akan terindikasi untuk dilakukan pemeriksaan pencitraan otak atau neuroimaging. Pemeriksaan utama neuroimaging pada pasien dengan kejang pertama usia dewasa adalah magnetic resonance imaging (MRI). Hal ini disebabkan oleh karena MRI lebih sensitif mengevaluasi kondisi struktur otak secara mendetail dibandingkan dengan CT scan.[1,4]
Namun, modalitas CT scan dapat dilakukan pada setting kegawatdaruratan jika ada kecurigaan terhadap lesi patologis akut seperti perdarahan intrakranial, stroke non hemoragik, space occupying lesion seperti tumor otak dengan tanda peningkatan intrakranial, abses otak, dan traumatic brain injury. Hal ini disebabkan oleh karena CT scan lebih banyak tersedia di rumah sakit.[1,4]
Penelitian yang dilakukan oleh Tranvinh et al. melaporkan bahwa CT scan wajib dilakukan pada pasien yang berusia di atas 40 tahun, mengalami kejang dengan bangkitan fokal, terdapat gangguan kesadaran pasca kejang, ada riwayat trauma sebelumnya atau riwayat keganasan, menggunakan obat-obatan pengencer darah, berstatus imunodefisiensi, dan memiliki defisit neurologi fokal.[4]
Terapi Setelah Kejang Pertama
Pertimbangan pemberian Obat Anti Epilepsi (OAE) pada episode kejang pertama sering kali masih menjadi perdebatan. Hal ini akan melibatkan pertimbangan antara keuntungan dan efek samping pemberian obat jangka panjang.
Dilaporkan hanya sebesar 30% pasien dengan serangan kejang pertama yang akan mengalami serangan kejang berulang dalam jangka waktu 5 tahun ke depan. Oleh karena itu, tidak semua pasien yang datang dengan kejang pertama akan menjadi kandidat pemberian terapi OAE jangka panjang.
Langkah evaluasi yang telah dijabarkan sebelumnya akan berguna dalam menentukan pasien mana yang memerlukan terapi dengan beberapa faktor prediktor rekurensi kejang seperti ditemukan adanya gelombang epileptiform pada pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) atau adanya lesi otak yang sesuai dengan semiologi kejang pada pemeriksaan MRI atau CT scan kepala. Lebih lanjut, pemilihan jenis OAE yang akan digunakan terutama akan disesuaikan dengan jenis bangkitannya, seperti bangkitan fokal atau umum.[3.4]
Panduan dari American College of Emergency Physicians (ACEP) tidak merekomendasikan pemberian OAE pada pasien dengan provoked seizure. Fokus tatalaksananya akan berpusat pada mengatasi kondisi medis yang menyebabkan terjadinya kejang.[5]
Pada 20-30% kasus, kondisi acute symptomatic seizure (ASS) memang dapat menjadi tahap awal dari terjadinya kondisi epilepsi. Pemberian OAE tidak selalu diperlukan pada kasus ASS jika faktor penyebab kejangnya dapat segera teratasi sehingga kecenderungan kejang untuk berulang jadi sangat minimal. Jika faktor penyebabnya tidak dapat segera teratasi, maka pemberian OAE dapat dipertimbangkan untuk sementara waktu dan juga dipilih obat yang paling minimal efek sampingnya. Selain itu, pemberian OAE segera juga tidak direkomendasikan pada pasien dengan unprovoked seizure pertama yang tidak disertai bukti klinis ataupun penunjang kelainan struktural di otak.[4]
Tata laksana lain yang juga menjadi penting ialah edukasi yang baik kepada pasien dan keluarga pasien, antara lain mencakup langkah penanganan pertama jika terjadi kejang berulang, pencegahan kejang berulang termasuk menginfokan kemungkinan faktor pencetusnya, dan juga aktivitas-aktivitas yang perlu dihindari.[3]
Edukasi cara penanganan pertama pada serangan kejang terutama ditujukan bagi keluarga pasien atau orang lain yang sering mendampingi pasien, mengingat pada sebagian besar serangan kejang, kondisi pasien tidak sadar dan tidak dapat mengatasi kejangnya sendiri. Edukasi kepada pada pasien kejang atau dalam terapi kejang adalah larangan dalam mengendarai kendaraan bermotor dan larangan terhadap profesi yang berhubungan dengan mengoperasikan alat berat. Oleh karena risiko kejang berulang saat sedang melakukan pekerjaan tersebut.[3]
Algoritma Kejang Dewasa Tidak Terprovokasi
Pada kasus kejang dewasa tanpa provokasi, algoritma menajemen kejang adalah:
Sumber : dr.dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S, Alomedika, 2019[1]
Kesimpulan
Evaluasi terkait diagnosis dan etiologi kejang pertama pada pasien dewasa sehat tanpa riwayat kejang sebelumnya ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan penentuan prognosis dan langkah tatalaksana selanjutnya.
Langkah awal dan paling penting ada evaluasi anamnesis yang terarah dan detail. Berisikan riwayat kejadian kejang dan riwayat penyakit sebelumnya. Berdasarkan data penelitian, sebanyak 30 persen pasien yang datang dengan keluhan kejang memiliki etiologi non epileptik seperti migraine, reaksi vasovagal, TIA, sinkop dan beberapa penyakit lainnya. Sehingga keadaan ini tidak perlu di gali lebih dalam sebagai kejang pertama pada dewasa.
Pemeriksaan fisik membantu evaluasi penyebab yang mendasari dari kejang pertama pada dewasa antara lain tanda dan gejala pada meningitis, ensefalitis, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, abses otak, dan traumatic brain injury.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengkonfirmasi temuan klinis pada kejang pertama dewasa. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan laboratorium terarah seperti pemeriksaan gula darah untuk melihat hipoglikemia, pemeriksaan elektrolit untuk melihat hiponatremia, dan pemeriksaan darah lengkap untuk tanda konfirmasi infeksi. Selanjutnya, diikuti oleh pemeriksaan EEG dalam 24 jam dan MRI untuk menilai kelainan struktur otak. CT scan dapat digunakan pada kasus kegawatdaruratan dan bila MRI tidak tersedia.
Pertimbangan pemberian terapi OAE jangka panjang akan didasarkan pada hasil evaluasi klinis maupun pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Beberapa faktor prediktor rekurensi kejang antara lain adanya temuan gelombang epileptiform pada pemeriksaan EEG dan lesi otak yang sesuai dengan semiologi kejang pada pemeriksaan neuroimaging.
Pemberian OAE harus dengan hati-hati, tidak diresepkan tanpa indikasi yang tepat dan jelas. Hal ini dikarenakan OAE adalah obat yang diminum seumur hidup. Berdasarkan data inisiasi terapi OAE yang lebih dini dilaporkan tidak menunjukkan perbedaan bermakna terhadap frekuensi kejadian kejang berulang dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.