Memulai kembali terapi antikoagulan setelah timbulnya komplikasi perdarahan gastrointestinal, terutama yang berat atau mengancam nyawa, bukanlah hal yang mudah bagi klinisi. Perdarahan adalah komplikasi utama dan tersering dari terapi antikoagulan.[1]
Setiap tahunnya, kejadian perdarahan akibat antikoagulan bervariasi antara 2–5% untuk perdarahan mayor, 0,5–1% untuk perdarahan fatal, dan 0,2–0,4% untuk perdarahan intrakranial. Perdarahan akibat antikoagulan paling sering terjadi di sistem gastrointestinal, yaitu sebanyak 40%.[1–3]
Di satu sisi terapi antikoagulan jangka panjang penting untuk mencegah kejadian tromboemboli, seperti stroke, tetapi terjadinya perdarahan membuat banyak klinisi ragu untuk melanjutkan terapi antikoagulan. Hal ini menimbulkan dilema klinis, seolah-olah klinisi harus “memilih” antara menghentikan terapi antikoagulan dengan konsekuensi risiko tromboemboli, atau melanjutkan terapi antikoagulan dengan konsekuensi perdarahan berulang kembali.
Hingga kini, belum ada pedoman klinis yang membahas pentingnya memulai kembali terapi antikoagulan dan kapan dimulainya setelah komplikasi perdarahan gastrointestinal terjadi. Adanya ketidakpastian ini membuat banyak klinisi enggan melanjutkan terapi antikoagulan, bahkan dilaporkan bahwa 41–51% klinisi cenderung menghentikan terapi antikoagulan secara permanen.[2]
Bukti Ilmiah Terkait Memulai Kembali Antikoagulan Setelah Komplikasi Perdarahan Gastrointestinal
Dari 4 publikasi studi observasional sejak tahun 2012 yang meneliti luaran terkait dilanjutkannya antikoagulan setelah perdarahan gastrointestinal, dapat disimpulkan bahwa:
- Dimulainya kembali antikoagulan tidak meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal secara signifikan
- Dilanjutkannya terapi antikoagulan justru menurunkan kejadian tromboemboli secara bermakna
- Mortalitas keseluruhan secara signifikan lebih rendah pada kelompok pasien yang melanjutkan kembali terapi antikoagulan[4-7]
Suatu meta-analisis tahun 2019 melaporkan hasil yang sedikit berbeda. Meta-analisis ini menganalisa 12 studi observasional mencakup 3098 pasien. Studi ini mendukung kesimpulan sebelumnya, yaitu dimulainya kembali terapi antikoagulan pasca perdarahan gastrointestinal secara signifikan menurunkan risiko tromboemboli dan kematian. Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa dimulainya kembali terapi antikoagulan tetap meningkatkan risiko berulangnya perdarahan gastrointestinal, bahkan hingga 2 kali lipat.[2]
Hasil serupa didapatkan oleh sebuah studi tahun 2021 yang melibatkan lebih dari 7000 subjek berusia di atas 65 tahun dengan riwayat perdarahan saat mengonsumsi antikoagulan. Jenis antikoagulan yang digunakan adalah warfarin, sebesar 57%, dan sisanya menggunakan direct oral anticoagulants (DOAC), seperti rivaroxaban. Indikasi terbanyak penggunaan DOAC adalah akibat fibrilasi atrium. Lokasi perdarahan paling sering terjadi di gastrointestinal dan intrakranial.[8]
Hasil studi mendapatkan penggunaan kembali antikoagulan menurunkan risiko terjadinya trombosis dan mortalitas, tetapi meningkatkan risiko perdarahan ulang.[8]
Ketika memutuskan untuk memulai atau menghentikan terapi antikoagulan setelah adanya komplikasi perdarahan gastrointestinal, perlu diingat bahwa case-fatality rate dari perdarahan akibat antikoagulan sekitar 8–13%.[2]
Sementara itu, European Stroke Registry mencatat bahwa risiko kematian dan disabilitas 3 bulan akibat stroke adalah 41%. Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa rasio mortalitas setelah stroke iskemik mencapai 57%.[9,10]
Waktu Optimal Memulai Kembali Terapi Antikoagulan
Keputusan klinisi untuk memulai terapi antikoagulan juga menghadapi dilema mengenai kapan waktu yang paling tepat untuk memulai kembali terapi antikoagulan dan yang paling meminimalisir risiko perdarahan.
Sebuah studi yang dipublikasikan di akhir 2018 melakukan analisis retrospektif pada 1338 pasien yang ditatalaksana dengan DOAC dan dirawat inap akibat perdarahan gastrointestinal. Studi ini menemukan bahwa memulai kembali terapi antikoagulan dalam 30 hari setelah perdarahan gastrointestinal tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian tromboembolisme dalam 90 hari.[11]
Studi terdahulu oleh Qureshi et al juga menyimpulkan hal serupa. Pada kohort retrospektif ini, didapatkan bahwa memulai kembali warfarin setelah 7 hari tidak berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal, bahkan menurunkan mortalitas dan kejadian tromboembolisme, dibandingkan memulai kembali warfarin setelah 30 hari.[4]
Selain itu, sebuah risk-modelling analysis oleh Majeed et al menemukan bahwa risiko perdarahan gastrointestinal berulang paling rendah bila antikoagulan dimulai antara 3–6 minggu pasca perdarahan.[12]
Namun, hal ini tetap harus mempertimbangkan derajat risiko tromboemboli dan preferensi setiap individu. Stratifikasi risiko berdasarkan kondisi yang mendasari kebutuhan antikoagulan juga harus dilakukan, misalnya kondisi heart valve replacement, atrial fibrilasi, dan deep vein thrombosis. Penilaian risiko individual dapat dilakukan menggunakan sistem skoring, seperti P2-CHAD2DS2-VASc untuk atrial fibrilasi.[12]
Kesimpulan
Perdarahan gastrointestinal sering muncul sebagai komplikasi dari penggunaan terapi antikoagulan jangka panjang. Sering kali, hal ini menimbulkan dilema karena klinisi seolah harus memilih antara melanjutkan antikoagulan dan meningkatkan risiko perdarahan berulang, atau menghentikan antikoagulan secara permanen dan meningkatkan risiko kejadian tromboembolisme.
Beberapa studi yang ada menunjukkan bahwa memulai kembali terapi antikoagulan berkaitan dengan penurunan angka mortalitas dan risiko kejadian tromboemboli. Bukti tentang peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal ulang masih kontroversial, sehingga kedepannya dibutuhkan studi lebih lanjut.
Selain itu, berbagai studi menemukan bahwa waktu yang tepat untuk memulai kembali terapi antikoagulan berkisar pada hari ke 7–30 pasca penghentian terapi akibat perdarahan.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra