Epidemiologi Chilblains (Pernio)
Epidemiologi chilblains (pernio) sangat terbatas karena jarangnya kasus, sering tidak dikenali, atau terdapat kesalahan diagnosis. Secara epidemiologi, chilblains lebih sering terjadi pada jenis kelamin perempuan daripada laki–laki. Umumnya, chilblains terjadi setelah terpapar lingkungan yang dingin dan lembab sehingga paling umum terjadi pada individu yang tinggal di iklim dingin.[1,2]
Global
Secara global, epidemiologi terjadinya chilblains bervariasi sesuai iklim. Faktor yang paling berperan secara signifikan adalah paparan dingin dan lembab sehingga seringkali terjadi pada negara tanpa pemanas sentral seperti di beberapa bagian negara Inggris dan Eropa Utara. Tingkat insiden tahunan terjadinya chilblains di Inggris sebesar 10%. Kasus chilblains juga dilaporkan di Hongkong selama akhir Januari–Februari terkait cuaca dingin yang berkepanjangan dan resolusi secara spontan dalam beberapa minggu ketika cuaca menghangat.[1,2,10]
Di Belanda, prevalensi terjadinya chilblains bervariasi antara 0,9 per 1.000 dan 1,7 per 1.000 seperti yang dilaporkan oleh Netherlands Institute for Health Services Research (NIVEL) dengan jenis kelamin perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki, dengan prevalensi masing-masing 0,9-2,1 per 1.000 vs 0,6 per 1.000.[4]
Umumnya, gejala dimulai pada awal musim dingin dan hilang pada musim semi saat paparan dingin menurun. Namun, pasien dapat mengalami kekambuhan selama musim dingin berikutnya atau mengalami penyakit yang terus–menerus.[11]
Chilblains primer lebih sering terjadi pada anak-anak. Sebaliknya, chilblains sekunder cenderung pada usia lebih tua, dengan usia rata–rata 40 tahun dalam satu studi epidemiologi. Sedangkan, pada chilblains terkait infeksi COVID–19 tampaknya memiliki kecenderungan terjadi pada pasien usia muda dengan studi dari Italia dan Spanyol yang melaporkan usia rata-rata 12–14 tahun.[3]
Indonesia
Tidak ada data epidemiologi dari chilblains di Indonesia.
Mortalitas
Sebagian besar kasus chilblains dapat diatasi dengan mudah tanpa adanya gejala sisa berkepanjangan karena lesi berat jarang terjadi. Namun, pada chilblains sekunder yang disebabkan oleh kondisi sistemik seperti lupus eritematosis sistemik perlu monitoring yang memadai bersama dengan penatalaksanaan adekuat.[1,2]
Penderita lupus eritematosus sistemik memiliki tingkat morbiditas yang signifikan dan mortalitas yang tinggi dengan penyebab utama kematian termasuk penyakit kardiovaskular, renal, dan infeksi. Tingkat kelangsungan hidup sebesar 85–90% selama 10 tahun pertama.[12]
Selain itu, tingkat mortalitas meningkat pada chilblains terkait infeksi COVID–19. Respon IFN tipe I dalam patogenesis chilblains terkait infeksi COVID–19 mempengaruhi replikasi virus yang berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas, yakni pada pasien dengan usia tua memiliki respon IFN tipe I tidak adekuat/ tertunda akan memperburuk dan memicu terjadinya hipersitokinemia dan hiperkoagulabilitas sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas.[3,13]
Direvisi oleh: dr. Qanita Andari