Epidemiologi Infark Miokard Akut
Epidemiologi infark miokard akut (acute myocardial infarct) berbeda antara ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI) dengan Non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI). Mortalitas infark miokard akut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, klasifikasi Killip, waktu tata laksana, keberadaan fasilitas, dan komorbiditas pasien.
Global
Epidemiologi infark miokard akut (IMA) secara global menunjukkan insidensi STEMI menurun, sedangkan insidensi NSTEMI meningkat. Sekitar 3 juta orang menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita NSTEMI secara global. Setiap tahun, di Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000 kasus, sedangkan di Inggris sekitar 180.000 kasus. Di India, epidemiologi IMA lebih tinggi akibat faktor genetik dan gaya hidup yaitu mencapai 64,37/1.000 orang.[2,6,7]
Indonesia
Belum ada data epidemiologi khusus IMA di Indonesia. Pada laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara umum di Indonesia berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom koroner akut,. Prevalensi penyakit jantung terbesar berada di provinsi Kalimantan Utara sebesar 2,2%, Yogyakarta 2,0%, dan Gorontalo 2,0%.[8]
Mortalitas
Mortalitas IMA dipengaruhi faktor usia, klasifikasi Killip, waktu dilakukan tata laksana, keberadaan fasilitas kesehatan, dan adanya komorbiditas pada pasien. Angka kematian akibat IMA masih berada pada tingkatan yang tinggi, di mana sebagian besar kematian terjadi sebelum pasien sempat datang ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Mortalitas pasien dalam 12 bulan pertama akibat henti jantung mendadak setelah kejadian IMA berkisar 5−10%, di mana 50% pasien IMA membutuhkan perawatan ulang di rumah sakit dalam rentang satu tahun setelah serangan pertama.[1,7]