Penatalaksanaan Tetanus Neonatorum
Penatalaksanaan tetanus neonatorum atau TN bertujuan untuk mengeradikasi kuman Clostridium tetani, menetralkan toksin, dan memberikan terapi suportif spesifik sesuai keparahan penyakit.
Terapi Antitoksin
Terapi antitoksin menggunakan imunoglobulin antitetanus (human tetanus immune globulin atau HTIG) dari serum manusia maupun kuda (antitetanus serum atau ATS) masih menjadi terapi pilihan pada penanganan tetanus.[27-29]
Pemberian HTIG bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit dengan cara menghancurkan toksin tetanus yang belum terikat pada jaringan. Namun, HTIG tidak memengaruhi efek toksin yang telah terikat pada jaringan. HTIG diberikan secara intramuskular dengan dosis tunggal 3.000–6.000 IU.[27-29]
ATS dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Namun, penggunaan ATS kurang disukai karena meningkatkan risiko reaksi alergi. Dosis pemberian ATS adalah 50.000-100.000 unit, dengan didahului uji kulit untuk melihat reaksi sensitivitas, kemudian separuh dosis ATS diberikan secara intramuskular dan sisanya diberikan secara intravena.[27-29]
Terapi Antimikroba
Terapi antimikroba yang disarankan pada kasus TN adalah metronidazole oral atau intravena maupun penisilin G intravena. Pemberian antibiotik didasarkan pada asumsi bahwa modalitas terapi ini dapat mencegah proliferasi lokal Clostridium tetani pada lokasi luka.[29,30,34]
Walaupun penisilin dan metronidazole merupakan antibiotik pilihan pada kasus tetanus, terdapat bukti yang mendukung metronidazole sebagai pilihan yang lebih baik. Suatu studi klinis tanpa penyamaran di Indonesia membandingkan penggunaan metronidazole oral dengan penisilin intramuskular pada pengobatan tetanus. Pasien yang mendapat metronidazole memiliki progresivitas penyakit yang lebih ringan, masa perawatan yang lebih pendek, dan angka kesintasan yang lebih baik.[31]
Sejauh ini belum ada rekomendasi khusus dosis pemberian metronidazole oral maupun intravena pada kasus TN. Namun, bukti terbatas menunjukkan bahwa pemberian metronidazole sebagai bagian dari perangkat manajemen tetanus neonatorum dapat membantu menurunkan tingkat kematian akibat TN hingga 66%.[32]
Dalam penelitian oleh Trieu, et al, dosis metronidazole yang disarankan untuk bayi berusia kurang dari 7 hari adalah 15 mg/kg/hari, yang diberikan secara oral selama 7 hari, dibagi dalam beberapa dosis.[32]
Sementara itu, untuk bayi berusia lebih dari 7 hari, dosis pemberian metronidazole yang disarankan adalah 30 mg/kg/hari, yang diberikan secara oral selama 7 hari dan dibagi juga dalam beberapa dosis.[32]
Peran Pembedahan pada Tetanus Neonatorum
Peran pembedahan pada kasus tetanus neonatorum (TN) terletak pada eliminasi situs masuknya kuman C. tetani sehingga pelepasan tetanospasmin lebih lanjut dapat dicegah. Secara historis, tindakan pembedahan seperti omfalektomi pernah dilaporkan dalam penatalaksanaan TN dengan hasil yang cukup baik.[33]
Namun, kelangkaan penyakit ini di era modern dan kesulitan dalam menemukan tempat masuknya kuman membuat peran pembedahan pada kasus TN sangat berkurang.[33]
Pemberian Obat Pereda Spasme
Pemberian obat pereda spasme bertujuan untuk mengendalikan spasme dan tonus otot dengan mengurangi efek farmakologi yang mengganggu terhadap kemampuan gerak secara volunter, kesadaran, dan pernapasan spontan.[30]
Benzodiazepin merupakan salah satu agen farmakologi yang ideal untuk melawan blokade pelepasan GABA dari neuron inhibitorik di susunan saraf pusat akibat pengaruh tetanospasmin. Benzodiazepin, misalnya diazepam, memodulasi transmisi GABA A dan meningkatkan inhibisi presinaps.[30]
Walaupun secara teoritis golongan obat ini berpotensi efektif dalam meredakan spasme pada tetanus neonatorum, bukti mutakhir yang ada masih sangat sedikit dan hanya berasal dari 2 uji klinis dengan jumlah sampel yang minimal (n=134). Dalam suatu tinjauan sistematik, Okoromah dan Lesi menyimpulkan bahwa penggunaan diazepam berkaitan dengan angka kesintasan yang lebih baik daripada kombinasi fenobarbital dan klorpromazin.[34]
Diazepam
Untuk neonatus, dosis diazepam (sediaan emulsi cair 5 mg/ml) yang disarankan adalah 0,1–0,3 mg/kg, injeksi perlahan selama 3-5 menit, tiap 1 hingga 4 jam tergantung pada derajat keparahan dan persistensi spasme.[35]
Jika pada pemberian tiap jam kejang masih berlangsung, pemberian diazepam infus kontinu dengan menggunakan pompa suntik dapat dipertimbangkan. Dosis diazepam untuk suntik kontinu tersebut adalah 0,1–0,5 mg/kg/jam (2,4–12 mg/kg/24 jam), dimulai dari dosis terendah, dan dapat ditingkatkan sebanyak 0,1 mg/kg/jam apabila frekuensi pernapasan ≥ 30 kali per menit.[35]
Apabila pada dosis 0,5 mg/kg/jam kejang masih berlangsung, dosis dapat ditingkatkan hingga 0,8 mg/kg/jam jika frekuensi pernapasan ≥30 kali per menit.[35]
Lorazepam
Selain diazepam, lorazepam dan midazolam juga dapat menjadi alternatif pereda spasme. Di beberapa negara, lorazepam lebih disukai daripada diazepam sebab lorazepam memiliki durasi kerja lebih panjang. Namun, penggunaan lorazepam dan diazepam parenteral pada dosis tinggi (umumnya di atas 500 mg/hari untuk diazepam dan 200 mg/hari untuk lorazepam) meningkatkan risiko toksisitas propilen glikol sehingga perlu diwaspadai dan dipantau ketat.[36,37]
Midazolam
Sementara itu, midazolam merupakan benzodiazepin kerja cepat yang larut air dan tidak mengandung propilen glikol dalam sediaannya. Mengingat waktu paruhnya yang pendek, pemberian obat ini perlu dilakukan dengan cara infus kontinu dengan dosis infus awal 100–300 µg/kgBB/jam. Dosis ini dapat dititrasi sampai level minimal yang dapat mencegah spasme tetanik tercapai.[31]
Pencegahan Withdrawal
Untuk menghindari efek withdrawal pasca penggunaan dalam jangka panjang, seluruh obat golongan benzodiazepin harus diturunkan dosisnya secara perlahan (tapering off) dalam kurun waktu beberapa minggu.[38]
Terapi Suportif
Terapi suportif untuk kasus tetanus neonatorum (TN) mencakup minimalisasi stimulus eksternal yang berpotensi memicu spasme fatal. Hal ini dicapai dengan melakukan koordinasi penjadwalan prosedur pengobatan sedemikian hingga risiko tetanospasme ditekan sekecil mungkin. Segala manuver intervensi sebaiknya dilakukan setelah pasien mendapat sedasi optimal.[22,39]
Perawatan pasien TN idealnya dilakukan di ruangan yang senyap yang dilengkapi pintu dengan bantalan peredam suara serta cahaya redup, tanpa mengorbankan kaidah perawatan intensif guna optimalisasi pemantauan kondisi pasien.[22,39]
Kendati perawatan di ruang rawat intensif merupakan rekomendasi umum bagi seluruh bayi yang didiagnosis dengan TN, hingga kini belum ada bukti yang cukup mengenai pengaruh perawatan di unit rawat intensif neonatus dibandingkan perawatan di ruang non-intensif terhadap luaran TN.[22,39,40]
Rekomendasi perawatan di unit rawat intensif umumnya didasarkan pada antisipasi kemungkinan komplikasi fatal TN seperti henti jantung mendadak dan gagal napas serta perlunya pemantauan ketat tanda vital dan gejala efek samping penggunaan berbagai terapi farmakologi pada kasus TN.[22,39,40]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur