Penatalaksanaan Opioid Use Disorder
Penatalaksanaan opioid use disorder atau penyalahgunaan opioid bergantung pada kondisi pasien. Pada pasien dengan intoksikasi, penanganan kegawatdaruratan menjadi fokus terapi. Pada pasien dengan ketergantungan opioid, diberikan terapi sulih untuk dapat menghentikan penggunaan opioid tanpa menyebabkan gejala withdrawal. Pasien dengan gejala withdrawal diberikan penatalaksanaan simptomatis untuk mengurangi gejala.
Menentukan Tingkat Penggunaan Opioid
Menentukan tingkat penggunaan opioid dapat membantu dokter memperkirakan seberapa berat gejala withdrawal yang mungkin dialami pasien. Tingkat penggunaan opioid dapat dinilai dari dosis opioid yang digunakan atau frekuensi penyuntikan per hari.
Pasien dikatakan memiliki tingkat penggunaan opioid yang tinggi jika melakukan injeksi lebih dari 4 kali sehari atau menggunakan heroin 1-2 gram per hari. Pasien dikatakan memiliki tingkat penggunaan opioid rendah jika pasien melakukan injeksi hanya 1-3 kali sehari atau menggunakan heroin ≤0,5 gram per hari.[7]
Intoksikasi Opioid
Pada keadaan intoksikasi, penatalaksanaan dilakukan dengan mengidentifikasi kegawatdaruratan yang terjadi dan melakukan penatalaksanaan yang sesuai. Misalnya, pasien dengan henti napas atau henti jantung, akan ditatalaksana sesuai algoritma resusitasi jantung-paru.
Nalokson
Terapi standar pada kasus intoksikasi opioid adalah pemberian nalokson. Nalokson merupakan antagonis reseptor miu yang bekerja singkat. Obat ini dapat diberikan secara intravena, subkutan, atau intramuskular. Biasanya nalokson diberikan pada awal saat pasien dalam transport menuju IGD atau pertama kali datang ke IGD.
Nalokson bekerja cepat dengan onset kurang dari 2 menit pasca pemberian intravena. Nalokson adalah obat antagonis opiat spesifik yang akan membalikkan efek depresi pernapasan dan sedasi yang disebabkan opioid.
Dosis awal pemberian adalah 0,4 mg. Dosis dapat dinaikkan setiap 2 menit sesuai respons pasien, dengan dosis maksimum 15 mg. Bila tidak ditemukan perbaikan pada gejala depresi pernapasan pasca pemberian 15 mg nalokson, harus dipikirkan penyebab depresi pernapasan lain.
Pasca pemberian nalokson dapat terjadi gejala hipoksemia yang persisten yang menunjukkan terjadi edema pulmonal. Pada pasien seperti ini, dibutuhkan intubasi dengan ventilator tekanan positif. Biasanya gejala akan membaik dalam 24 jam.[5,7-9]
Indikasi Rawat Inap
Pasien dengan intoksikasi opioid kerja pendek (misal: heroin) membutuhkan observasi yang lebih pendek dibanding pengguna opioid kerja panjang (misal: methadone).
Pasien yang diberikan nalokson umumnya juga memerlukan rawat inap. Penggunaan nalokson berulang atau dengan dosis yang lebih tinggi untuk memberikan respons biasanya membutuhkan perhatian lebih.
Pasien yang memiliki gejala lebih berat, seperti hipoventilasi, pneumonia aspirasi, penurunan kesadaran, dan edema pulmonal membutuhkan waktu observasi yang lebih panjang, bahkan perawatan di ICU.
Pada kasus tanpa komplikasi, dapat dilakukan observasi selama 12-24 jam, kemudian pasien dapat melanjutkan dengan terapi rawat jalan.[16]
Withdrawal Opioid
Penatalaksanaan intoksikasi opioid dengan nalokson tidak dapat mencegah kemungkinan terjadinya gejala withdrawal atau putus obat. Onset dan durasi withdrawal bergantung pada waktu paruh jenis opioid yang dikonsumsi. Gejala dapat terjadi pada 6-24 jam dari penggunaan terakhir, mencapai puncak dalam 24-48 jam, kemudian membaik dalam 5-10 hari.[5]
Kejadian withdrawal biasanya tidak berbahaya namun dapat menginduksi pengguna untuk menggunakan opioid kembali. Pencegahan withdrawal dapat dilakukan dengan terapi substitusi opioid golongan lain, seperti buprenorfin, kemudian dilakukan tapering off.[16]
Buprenorfin
Buprenorfin dapat menghilangkan gejala pada opioid withdrawal, sehingga terapi simptomatis lain umumnya tidak diperlukan. Berikan buprenorfin dengan dosis inisial 4-6 mg, kemudian nilai ulang pasien dalam 3-4 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perburukan gejala withdrawal tetapi gejala belum hilang sepenuhnya, berikan lagi buprenorfin sebanyak 2-4 mg.[7] Buprenorfin umumnya dilanjutkan selama 4-8 hari dengan dosis sebagai berikut:
Tabel 1. Dosis Regimen Buprenorfin
Dosis yang Disarankan | Rekomendasi Batas Atas dan Bawah |
Hari 1 : 6 mg | 4-8 mg |
Hari 2 : 8 mg | 4-12 mg |
Hari 3 : 10 mg | 4-16 mg |
Hari 4 : 8 mg | 2-12 mg |
Hari 5 : 4 mg | 0-8 mg |
Hari 6 : 0 mg | 0-4 mg |
Hari 7 : 0 mg | 0-2 mg |
Buprenorfin tidak boleh digunakan dengan obat lain yang memiliki efek sedasi, misalnya opioid, alkohol, atau antidepresan trisiklik, karena meningkatkan risiko depresi pernapasan, koma, bahkan kematian.[7]
Tatalaksana Simptomatis
Pada pasien dengan withdrawal, selain penatalaksanaan untuk mengatasi gejala withdrawal, juga dilakukan penatalaksanaan untuk mengurangi gejala yang ada.
Pada pasien dengan keluhan nyeri otot, dapat diberikan paracetamol 1000 mg setiap 4-6 jam, maksimal 4000 mg, atau ibuprofen 400 mg setiap 6 jam jika pasien tidak memiliki riwayat ulkus peptikum.
Pada pasien dengan keluhan mual-muntah dapat diberikan metoklopramid 10 mg setiap 4-6 jam, atau proklorperazin 5 mg setiap 4-6 jam, atau ondansetron 4-8 mg setiap 12 jam.
Pada pasien yang mengeluhkan kram perut, dapat diberikan hyosin butilbromida 20 mg setiap 6 jam.
Pada pasien dengan diare dapat diberikan loperamide 2 mg sesuai kebutuhan.
Pasien dengan gangguan tidur dapat diberikan temazepam 10-20 mg, tetapi dosis dihentikan setelah 3-5 hari.
Pada pasien dengan ansietas dan restless leg dapat diberikan diazepam 5 mg empat kali sehari, tetapi dosis harus sesegera mungkin di tapering off.
Pasien dengan gejala otonom seperti takikardia, hipertensi, dan berkeringat, dapat diberikan clonidine 75 mcg setiap 6 jam.
Selain daripada obat-obatan, pasien dengan sindroma putus obat mungkin memerlukan terapi cairan karena rentan terjadi dehidrasi. Hilangnya cairan dapat berasal dari keringat, muntah, dan diare.[7]
Ketergantungan Opioid
Terapi ketergantungan opioid dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu pemutusan penggunaan secara tiba-tiba (abrupt termination) dan terapi tapering off. Bila dilakukan abrupt termination, maka tatalaksana sama dengan tatalaksana withdrawal. Bila dilakukan terapi tapering off maka pasien diberikan substitusi kemudian dosis diturunkan perlahan. Substitusi dapat dilakukan menggunakan buprenorfin dengan dosis seperti disebutkan sebelumnya, atau menggunakan methadone dan naltrexone.[19,20]
Methadone
Methadone adalah opioid agonist yang digunakan sebagai terapi substitusi dengan dosis 20-100 mg per oral sekali per hari. Penatalaksanaan menggunakan methadone biasanya berlangsung selama 1-2 tahun.
Dosis inisial umumnya berkisar antara 20-30 mg. Kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan hingga 80-120 mg per hari. Penyesuaian dosis dilakukan setiap minggu, dan dosis disesuaikan berdasarkan gejala withdrawal yang muncul.
Pengurangan dosis dilakukan sebanyak 10% dari dosis rumatan yang digunakan. Dosis dikurangi setiap 10-14 hari, sambil dilakukan pengawasan terhadap gejala relaps.
Methadone dapat menimbulkan efek samping berupa konstipasi, depresi pernapasan, pusing, sedasi, dan mual.[20]
Naltrexone
Naltrexone adalah opioid antagonis yang digunakan dengan kisaran dosis 50-100 mg per oral sekali sehari atau 3 kali per minggu. Sebuah tinjauan Cochrane menyatakan bahwa pemberian obat ini tidak lebih baik dibandingkan plasebo. Tetapi ada pula studi yang menunjukkan bahwa penggunaan naltrexone sebagai terapi rumatan dapat mencegah relaps dan mengurangi opioid-craving.[19-21]
Pasien yang diterapi menggunakan buprenorfin, dapat dialihkan ke naltrexone dalam 48 jam setelah penghentian buprenorfin.
Dosis inisial naltrexone tidak boleh melebihi 125 mg. Setelah pemberian dosis inisial, lakukan observasi selama 3 jam untuk menilai adanya gejala withdrawal. Lalu, berikan 25 mg selama 2 hari, kemudian 50 mg per hari.[7]