Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia
Patofisiologi benign prostatic hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat jinak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia dan hormonal. Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan mengalami pembesaran. Sementara, pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon androgen, terutama dihidrotestosteron dan testosteron.[1,4,9,10]
Kadar testosteron dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia, karena isoenzim alfa-5-reduktase mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT). Penurunan kadar testosteron ini kemudian akan mengakibatkan ketidakseimbangan hormon androgen, sehingga terjadi peningkatan rasio estrogen/androgen dalam serum serta jaringan prostat, terutama pada stroma. DHT juga akan berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel, sehingga dapat menyebabkan hiperplasia.[1,4,9,10]
Pembesaran Zona Transisional
Prostat dibagi ke dalam 3 zona, yaitu:
- Zona sentral
- Zona perifer
- Zona transisional
Zona perifer terletak pada sisi posterior sampai lateral dari uretra dan merupakan zona terbesar, yaitu sekitar 75% dari seluruh kelenjar prostat. Zona sentral berukuran lebih kecil dan terletak disekitar duktus ejakulatorius. Bagian terkecil dari prostat merupakan zona transisional, yaitu sekitar 5% yang terletak pada kedua sisi urethra pars prostatika. Pada BPH, zona transisional membesar hingga 95% dan menekan zona lain.
Pembesaran zona transisional ini dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih, sehingga dapat menyebabkan retensi urine. Hal ini terjadi karena turunnya elastisitas uretra pars prostatika karena penurunan kolagen dan peningkatan proteoglikan, sehingga uretra pars prostatika lebih resisten terhadap tekanan dan pembesaran terjadi lebih banyak ke arah luar. Jika pembesaran terjadi ke arah dalam, akan terjadi penekanan pada lumen uretra pars prostatika, sehingga menyebabkan obstruksi saluran kemih atau bladder outlet obstruction (BOO).[1,4,10,11]
Obstruksi Saluran Kemih
Obstruksi saluran kemih akan membuat tekanan intravesika meningkat, sehingga buli-buli harus berkontraksi lebih untuk melawan kenaikan tekanan tersebut setiap kali miksi. Kontraksi berlebih ini lama-lama dapat menyebabkan hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya divertikula, sakula, ataupun selula pada buli-buli. Fase di mana hipertrofi otot detrusor ini terjadi disebut dengan fase kompensasi dinding otot.
Bila keadaan ini berlangsung secara kronis, otot detrusor akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi, sehingga menyebabkan retensi urin dalam vesika urinaria yang dapat menjadi infeksi ataupun batu. Tekanan tinggi yang terus menerus ini juga menyebabkan terjadinya aliran balik urin dari buli-buli ke ureter, sehingga menyebabkan hidroureter ataupun hidronefrosis. Perubahan-perubahan struktur ini akan menyebabkan terbentuknya gejala lower urinary tract syndrome (LUTS), baik obstruktif ataupun iritatif.[1,4,10,11]
Direvisi oleh: dr. Roshni Manwani