Beberapa klinisi mempercayai bahwa pemberian kortikosteroid pada infeksi dengue tahap awal akan mencegah perkembangan menjadi penyakit yang lebih berat, dan pemberian pada pasien dengue dengan syok akan meningkatkan kesintasan. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah tindakan ini didukung oleh bukti ilmiah yang adekuat.[1]
Dengue merupakan penyakit demam akut yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (mosquito-borne). Penyakit ini disebabkan oleh flavivirus dengan empat serotipe yang berbeda yaitu DENV-1 sampai 4. Infeksi dengue bisa berupa demam dengue, demam berdarah dengue, dan bentuk yang paling parah yakni dengue shock syndrome (DSS).[2-4]
Diperkirakan sekitar 300 juta infeksi dengue simptomatik dan asimptomatik terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.[4] Case fatality rate dengue di regio Asia Tenggara sekitar 1%. Tetapi di India, Indonesia, dan Myanmar, laporan wabah fokal mencatat hasil yang lebih besar yaitu 3-5%.[3]
Salah satu komplikasi yang paling umum terjadi pada infeksi dengue ialah vaskulopati transien yang bermanifestasi sebagai peningkatan permeabilitas vaskuler disertai gangguan hemostasis yang khas terjadi pada 3-6 hari setelah onset demam. Disregulasi respon imun inang, terutama pada infeksi sekunder, melatarbelakangi hal itu. Oleh karenanya, pemberian kortikosteroid sebagai modulator sistem imun diduga bisa bermanfaat dalam penatalaksanaan dengue.[4,5]
Mekanisme Aksi Kortikosteroid dalam Infeksi Dengue
Patogenesis infeksi dengue dipercaya berhubungan dengan mekanisme imunologi. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan pada infeksi dengue dilaporkan berhubungan dengan gangguan hemodinamik dan koagulasi yang akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular, kebocoran plasma, dan pada akhirnya syok hipovolemik. Penggunaan kortikosteroid dipercaya dapat memodulasi sistem imun, sehingga mencegah kerusakan imunologi pada infeksi dengue, termasuk DSS, karditis, ascites, gangguan ginjal dan hepar, ensefalitis, dan perdarahan.
Sebuah studi in vitro menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid bermanfaat dalam modulasi sistem imun pada model infeksi dengue.[6] Pemberian kortikosteroid dilaporkan mampu mencegah maturasi dan diferensiasi sel dendritik, mensupresi sel T dan sel B, dan menginhibisi gen proangiogenik. Kesemua mekanisme ini diduga akan mengurangi keparahan dan manifestasi dari infeksi dengue.[7]
Penggunaan Kortikosteroid Pada Infeksi Dengue
Pada tahun 2014, Cochrane mempublikasikan tinjauan sistematik yang membahas efek dari kortikosteroid pada infeksi dengue. Dalam tinjauan ini, 4 studi yang dianalisis mencoba menilai efek kortikosteroid pada pasien dengan syok akibat dengue. Hasil keempat studi tersebut menyatakan bahwa kortikosteroid yang diberikan dapat memperbaiki kesintasan pasien. Namun, hal ini didasarkan pada jumlah subjek yang kecil dan studi yang usianya sudah melebihi 20 tahun. 4 uji klinis lain yang dianalisis menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada tahap awal infeksi dengue mampu mencegah komplikasi berat, tetapi peneliti merasa data yang ada masih belum adekuat untuk menarik kesimpulan yang pasti. [1]
Penggunaan Kortikosteroid Pada Berbagai Tahap Infeksi Dengue
Pada tahun 2018, Bandara et al mempublikasikan sebuah tinjauan yang mencoba menganalisis manfaat pemberian kortikosteroid dalam berbagai tahap infeksi dengue. Dalam analisisnya, Bandara et al membagi infeksi dengue dalam 3 tahap yaitu :
Preliminary stage atau tahap awal infeksi dengue merupakan periode sejak onset gejala dengue muncul hingga sebelum memasuki tahap kebocoran plasma.
- Tahap intermediata dengue merupakan periode fase kritis dimana sudah terjadi kebocoran plasma, hingga waktu sebelum memasuki tahap berat atau late stage (dengue shock syndrome / DSS).
- Tahap lanjut infeksi dengue merupakan tahap yang sudah memasuki syok atau dikenal dengan DSS[5]
Preliminary Stage :
Untuk infeksi dengue tahap awal, Bandara et al menganalisis studi yang melibatkan 255 pasien dengue di Vietnam, usia 5-20 tahun, dan membandingkan dua grup yang diberikan dosis rendah (0,5 mg/kg) dengan dosis tinggi (2 mg/kg) prednisolon oral selama 3 hari. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan prednisolon oral pada tahap awal infeksi dengue tidak memberi dampak signifikan pada aspek klinis, virologi, ataupun penurunan dari insiden komplikasi dengue. Hasil berbeda didapatkan studi lain yang menguji dampak pemberian methylprednisolone 15 mg/kg dosis tunggal secara intravena pada pasien tahap awal dengue. Hasil menunjukkan adanya penurunan insidensi perdarahan dan ascites dengan pemberian steroid.[5]
Bandara et al juga menganalisis sebuah studi yang membandingkan dampak pemberian dosis tinggi (2 mg/kg) dan dosis rendah (0,5 mg/kg) prednisolon selama 3 hari pada konsentrasi sitokin dan kemokin pasien dengue. Pada penelitian ini ditemukan bahwa konsentrasi dari sitokin plasma fase akut tidak dipengaruhi secara signifikan oleh pemberian prednisolon. Pemberian prednisolon juga tidak memberi penurunan pada tingkat keparahan kebocoran plasma atau modulasi imun.[4,5]
Sedangkan, dua penelitian lain yang dianalisis untuk memeriksa dampak pemberian dexamethasone dosis rendah (6 mg/hari) dibandingkan dosis tinggi (12 mg/hari) terhadap hitung trombosit, tidak menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari intervensi steroid terhadap hitung trombosit.[5]
Tahap Intermediata :
Bandara et al meninjau sebuah studi yang memberikan 50 mg hydrocortisone intravena 4 kali sehari selama 3 hari pada pasien demam berdarah dengue stadium I dan II. Hasil penelitian ini menemukan adanya pemulihan yang lebih awal pada grup yang diberikan hydrocortisone, dimana 92% pasien kelompok intervensi menunjukkan perbaikan gejala tanpa memasuki tahap lanjut (kebocoran plasma berat). Pada studi ini, 50 partisipan pada kelompok kontrol diberikan terapi dengue protokol standar, dan ditemukan 24% pasien mengalami komplikasi berupa miokarditis, perdarahan, dan pneumonia.
Penelitian lainnya melakukan pendekatan tapering dose hydrocortisone intravena selama 3 hari. Hari ke-1 pasien mendapat 25 mg/kg, hari ke-2 mendapat 15 mg/kg, dan hari ke-3 mendapat 10 mg/kg. Studi tahun 1970-an ini melibatkan 98 pasien yang dirandomisasi untuk mendapat intervensi hydrocortisone dan protokol terapi dengue standar. Hasil studi menemukan adanya penurunan mortalitas pada kelompok yang diberikan hydrocortisone.[5,8]
Namun, beberapa tahun setelahnya, penelitian yang dilakukan oleh Sumarmo et al mendapatkan hasil berbeda. Pada studi ini, 97 pasien dirandomisasi untuk mendapat hydrocortisone hemisuccinate 50 mg/kg atau placebo. Hasil studi tidak menemukan manfaat, baik dalam durasi syok atau kebutuhan cairan, dari pemberian dosis tunggal hydrocortisone pada pasien anak.[5,9]
Tahap Lanjut (Late Stage) :
Bandara et al meninjau sebuah studi observasional retrospektif yang menemukan manfaat pemberian dosis tunggal 1 gram methylprednisolone pada pasien dewasa yang didiagnosis DSS. Pemulihan dalam aspek hematologis, lama rawat inap, maupun morbiditas dilaporkan mengalami perbaikan signifikan pada grup yang diberikan kortikosteroid.
Lebih lanjut, tinjauan Bandara et al menemukan sebuah studi yang menunjukkan tidak ada penurunan angka mortalitas pada pemberian dosis tunggal methylprednisolone pada pasien DSS. Hasil serupa juga tampak pada studi lain yang melakukan pemberian 30 mg hydrocortisone intravena setiap 4-6 jam per hari pada pasien anak yang didiagnosis DSS.[5]
Pandangan WHO dan CDC Terkait Penggunaan Kortikosteroid Pada Infeksi Dengue
Hingga saat ini, pedoman WHO dalam penatalaksanaan dengue belum mengintegrasikan penggunaan kortikosteroid karena masih kurangnya bukti ilmiah yang memadai. Pedoman WHO tetap bertumpu pada terapi cairan dan terapi suportif untuk penatalaksanaan infeksi dengue.[10,11]
Sementara itu, CDC menyebutkan bahwa kortikosteroid dikontraindikasikan untuk penatalaksanaan dengue. Hal ini karena tidak ada bukti efikasi yang cukup dan pemberian kortikosteroid berpotensi menimbulkan efek samping berupa perdarahan gastrointestinal, hiperglikemia, dan imunosupresi pada pasien dengan infeksi dengue.[12]
Kesimpulan
Kortikosteroid yang diberikan pada infeksi dengue tahap awal dipercaya akan mencegah perkembangan penyakit menjadi lebih berat. Sedangkan, pemberian kortikosteroid pada pasien dengue dengan syok dipercaya akan meningkatkan kesintasan. Tetapi, bukti ilmiah yang ada belum adekuat untuk mendukung dogma ini. Hasil penelitian yang ada masih inkonsisten dan memiliki kualitas bukti yang rendah. WHO sendiri belum mengintegrasikan penggunaan kortikosteroid dalam pedoman tata laksana dengue. Sementara CDC menyatakan bahwa kortikosteroid kontraindikasi untuk penanganan infeksi dengue. Masih dibutuhkan uji klinis dengan jumlah sampel lebih besar dan desain penelitian yang lebih baik untuk menjawab bagaimana peran kortikosteroid dalam infeksi dengue.