Terdapat berbagai tes noninvasif untuk diagnosis Helicobacter pylori, yang meliputi urea breath test, tes antigen feses, dan tes serologi. Selain dari tes noninvasif, terdapat pemeriksaan diagnosis Helicobacter pylori yang invasif menggunakan pemeriksaan endoskopi.[1,2]
Helicobacter pylori (HP) adalah bakteri Gram negatif yang sangat motil, berbentuk spiral atau batang melengkung dengan flagela multipel yang dapat hidup pada lapisan mukosa gaster dan lipatan jaringan epitel gaster dan/atau duodenum.[1]
Umumnya HP berkolonisasi dalam lambung manusia sejak anak-anak dan bertahan seumur hidup sebagai karier. Pada sebagian besar individu, infeksi HP dapat bersifat asimtomatik sehingga menyebabkan gastritis kronis. Sekitar 20-30% dari individu yang terinfeksi dapat berkembang menjadi ulkus peptikum, dan kurang dari 2% menjadi kanker gaster.[1]
Oleh karena itu, mendeteksi ada atau tidaknya infeksi HP dalam diagnosis penyakit gaster maupun duodenum diperlukan untuk menentukan tatalaksana yang diberikan. Pemeriksaan juga berguna untuk memantau efektivitas dari terapi antimikrobial.[1]
Tes Invasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Tes invasif untuk diagnosis Helicobacter pylori meliputi endoskopi yang kemudian diikuti dengan pemeriksaan histologi, rapid urease test (RUT), kultur, ataupun polymerase chain reaction (PCR). Namun terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan pada tes invasif tersebut.[3,4]
Kelebihan Tes Invasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Hingga saat ini, pemeriksaan histologi masih dianggap sebagai pemeriksaan baku emas diagnosis HP pada mukosa, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing berkisar 80–95% dan 99–100%. Pemeriksaan histologis mampu membedakan tipe gastritis terutama tipe kronik, atrofi, displasia, metaplasia, dan keganasan neoplasma.[4]
Tes invasif lain umumnya juga mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi, dimana RUT memiliki sensitivitas >90% dan spesifisitas 95-100%, kultur memiliki spesifitas hingga 100%, dan PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas ˃95%.[3,4]
RUT merupakan pemeriksaan yang cepat, dimana hasil dapat keluar dalam 5 menit hingga 24 jam bergantung dengan sediaan tes yang ada, dan mudah dilakukan. Kultur mempunyai kelebihan tersendiri yaitu dapat mendeteksi kepekaan antibiotik pada HP, sehingga sangat bermanfaat secara klinis, terutama pada kasus gagal terapi.[3,4]
PCR didapatkan lebih akurat dibandingkan tes invasif lainnya bila terdapat perdarahan aktif.[3,4]
Kekurangan Tes Invasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Beberapa kekurangan tes invasif adalah adanya risiko komplikasi endoskopi dan risiko dari tindakan biopsi. Risiko komplikasi dari endoskopi berupa perdarahan, perforasi saluran cerna, trauma pita suara, hipoksia, infeksi seperti pneumonia dan aspirasi pneumonia. Risiko akibat sedasi/anestesi waktu dilakukan endoskopi juga dapat terjadi.[3,4]
Di samping komplikasi prosedural, tes invasif juga memerlukan waktu yang panjang, dimana pasien perlu dirawat dalam pelayanan one day care atau rawat inap untuk persiapan dan pasca prosedur– selain menyita waktu, pemeriksaan invasif juga memerlukan biaya yang besar yang meliputi biaya tindakan dan anestesi, biaya profesional, biaya layanan rawat inap, dan biaya untuk pengolahan hasil tes. Selain itu, terdapat beberapa faktor/kondisi dapat mempengaruhi hasil tes invasif.[3,4]
Pengambilan sampel biopsi memerlukan pengalaman dan keahlian karena lokasi pengambilan sampel dapat mempengaruhi hasil tes. Pemeriksaan endoskopi untuk diagnosis Helicobacter pylori memerlukan setidaknya 6 sampel biopsi dan lebih apabila terdapat lesi yang mencurigakan.[3,4]
Untuk pemeriksaan histologis, pengambilan sampel yang lebih banyak juga diperlukan untuk meningkatkan akurasi dan sensitivitas. Sensitivitas juga dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel.[3,4]
Sama halnya dengan pemeriksaan endoskopi, pengambilan sampel dan teknik pewarnaan dalam pemeriksaan histologi juga memerlukan keahlian dan pengalaman.[3.4]
Meski kultur mampu mendeteksi kepekaan bakteri terhadap antibiotik, hasil kultur bergantung pada keterampilan dan pengalaman mikrobiologis, kualitas sampel, paparan terhadap kondisi aerobik, dan penggunaan medium kultur.[3,4]
Pemeriksaan PCR termasuk tes invasif yang efisien tetapi hasil yang didapatkan dapat berupa positif palsu karena PCR dapat mendeteksi hingga bakteri yang sudah mati. Selain itu, biaya pemeriksaannya mahal; RUT merupakan pemeriksaan yang termurah dari antara tes invasif lainnya.[3,4]
Hasil dari serangkaian tes invasif yang ada untuk diagnosis HP juga dipengaruhi oleh adanya perdarahan ulkus peptikum, riwayat penggunaan antibiotik, dan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole dan esomeprazole.[3,4]
Perlunya Tes Noninvasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Sebanyak 50% dari populasi global terinfeksi dengan Helicobacter pylori (HP) dimana insiden pada negara miskin dan berkembang adalah 80% sementara pada negara maju, insiden terjadi sekitar 20–50%.[3]
Hingga saat ini, metode standar yang dapat diaplikasikan, terutama pada populasi berisiko belum memadai; meski metode diagnostik telah berkembang. Metode ini harus memenuhi standar klinis umum untuk diagnostik yang meliputi akurasi, sensitivitas, dan spesifisitas.[2-4]
Efektivitas dalam menghambat penyebaran infeksi berhubungan langsung dengan diagnosis yang cepat dan aplikasi tatalaksana yang diberikan pada tahap awal infeksi. Selain itu, melakukan pemeriksaan endoskopi pada anak-anak tidak direkomendasikan karena memerlukan anestesi umum beserta risiko-risikonya.
Metode-metode ini juga harus dapat digunakan dalam negara berkembang di mana standar hygiene dan pelayanan medis masih tergolong buruk.[2–4]
Tes Noninvasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Saat ini telah tersedia 3 jenis tes noninvasif untuk diagnosis Helicobacter pylori, meliputi urea breath test (UBT), stool antigen test (SAT) atau yang dikenal sebagai tes antigen feses, dan tes serologi.[5]
Urea Breath Test
Urea breath test (UBT) didasarkan pada adanya enzim urease yang terdapat pada infeksi Helicobacter pylori (HP), dimana HP hidup dengan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Pemeriksaan UBT dilakukan oleh klinisi dan sudah digunakan secara luas. UBT memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, yaitu dari 90 hingga 100% dalam mendiagnosa infeksi HP.[1]
Selain itu, kemudahan untuk melakukan dan keamanannya menjadikan UBT pilihan pemeriksaan pada orang dewasa, anak-anak, dan kehamilan. Namun, spesifisitas UBT menurun pada anak-anak <6 tahun karena memerlukan kerjasama yang baik dari pasien.[1,5]
Sebuah meta analisis oleh Rahim et al pada tahun 2019 melibatkan 11 studi dengan tingkat bias rendah. Meta analisis ini menganalisa akurasi 13C-UBT untuk diagnosis infeksi HP. Hasil studi menunjukkan sensitivitas 97% (95% CI: 96, 98%) dan spesifisitas 96% (95% CI: 95, 97%). Pengaturan protokol pemeriksaan dan dosis dari 13C-urea dan sampel napas dapat meningkatkan akurasi diagnosis.[6]
Tes Antigen Feses
Pada individu terinfeksi, HP menempel pada dinding epitel gaster dan terekskresi pada feses. Pemeriksaan ini merupakan tes langsung dari infeksi inisial yang lebih superior dari tes serologi. Pemeriksaan ini berdasarkan pada terdeteksinya antigen HP pada feses.[2]
Terdapat dua metode SAT untuk mendeteksi HP, yaitu enzyme immunoassay (EIA) dan immunochromatography assay (ICA); menggunakan antara antibodi poliklonal atau monoklonal. Metode antibodi monoklonal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan metode antibodi poliklonal karena sulitnya mendapatkan antibodi poliklonal yang konsisten dari waktu ke waktu. Pemeriksaan dengan EIA memberikan hasil yang lebih terpercaya dan akurat dibandingkan tes ICA walaupun kedua tes dapat dilakukan dengan antibodi monoklonal.[2]
Akurasi dari pemeriksaan ini dapat dipengaruhi dengan beberapa masalah gastrointestinal, pengobatan PPI, antibiotik, N-acetylcysteine (NAC), dan ulkus berdarah. Mirip dengan urea breath test, negatif palsu dapat terjadi saat bacterial load secara relatif rendah.[2]
Namun, SAT tidak memerlukan puasa dan telah dikembangkan pemeriksaan antibodi monoklonal yang tidak terpengaruhi PPI telah dikembangkan. Kelebihan ini membuat SAT menjadi tes yang lebih baik dari UBT.[2]
SAT juga dapat membedakan infeksi aktif sehingga dapat digunakan untuk menilai efektivitas eradikasi HP. Hal ini menjadikan SAT sebuah alat yang baik untuk penelitian epidemiologi dan program skrining.[2]
Sebuah studi potong lintang prospektif mengatakan sensitivitas SAT mencapai 90,2% (CI: 84,2%-96,3%), spesifisitas 98,5% (CI:96,8%-100%) dan keakuratan diagnosis 95,9%.[7]
Tes Serologi
Pemeriksaan darah ini berdasarkan sirkulasi antibodi dari HP. Terdapat tiga metode yang digunakan pada tes ini yaitu, tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), tes aglutinasi lateks, dan Western blotting. ELISA merupakan metode yang paling sering digunakan. Immunoglobulin total, subtipe immunoglobulin, dan respons antibodi terhadap antigen spesifik dapat diperiksa.[3,5]
Tes serologi tidak memerlukan perlengkapan khusus, sehingga dapat dengan mudah dilakukan. Namun, hasil positif dapat terjadi pada infeksi aktif, infeksi sebelumnya, atau karena reaksi silang antibodi tidak spesifik.[3,5]
Tes serologi memiliki rentang sensitivitas yang cukup luas berkisar dari 55,6% hingga 100% dan spesifisitas 59,6% hingga 97,9%, namun kurang akurat pada daerah yang memiliki prevalensi infeksi rendah.[3,5]
Akurasi Tes Noninvasif untuk Diagnosis Helicobacter pylori
Berdasarkan studi Cochrane pada tahun 2018 yang menganalisa 101 penelitian yang membandingkan ketiga tes noninvasif tersebut secara tidak langsung. Berdasarkan studi Cochrane, didapatkan bahwa pada pasien yang tidak memiliki riwayat penggunaan antibiotik, PPI dan tidak pernah menjalani gastrektomi, UBT memiliki tingkat akurasi diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan SAT dan tes serologi.[5]
Selain itu, penggunaan batas threshold bervariasi, sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan.[5]
Kesimpulan
Saat ini pemeriksaan invasif untuk diagnosis Helicobacter pylori (HP) masih menjadi pemeriksaan baku emas karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta kelebihannya dalam hal menilai resistensi antibiotik. Namun, tes invasif ini memiliki beberapa kekurangan yaitu biayanya yang tidak murah, risiko komplikasi endoskopi dan sedasi/anestesi, diperlukannya laboratorium khusus, membutuhkan waktu lebih lama, serta bergantung pada keahlian dari klinisi yang mengambil sampel dan mengerjakan pemeriksaannya.
Tingginya prevalensi infeksi HP pada anak-anak dan negara berkembang menunjukkan butuhnya sebuah pemeriksaan noninvasif yang dapat dilakukan tanpa menyulitkan populasi tersebut dan dapat menghemat waktu dan biaya. Saat ini urea breath test masih menjadi tes noninvasif pilihan untuk diagnosis HP; pemeriksaan ini memiliki sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi. Dari segi kenyamanan, stool antigen test dapat menjadi tes noninvasif pilihan untuk diagnosis HP.
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani