Agen terapi hiperurisemia yang paling sering digunakan saat ini adalah obat golongan inhibitor xantin oksidase (XOI), yaitu allopurinol dan febuxostat. Kedua obat ini memiliki profil efikasi dan keamanan berbeda, seperti pada populasi dengan komorbiditas kardiovaskular dan gangguan ginjal. Meski demikian, apakah febuxostat atau allopurinol lebih unggul dari satu sama lain masih menjadi kontroversi.[1-3]
Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat serum >6,8 mg/dL (≥0,4 mmol/L). Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit gout, batu saluran kemih, insufisiensi ginjal, bahkan penyakit kardiovaskuler.[1-3]
Pedoman dari American College of Rheumatology (ACR) maupun European League Against Rheumatism (EULAR) merekomendasikan penurunan serum asam urat di bawah 6 mg/dL (0,36 mmol/L), bahkan lebih rendah hingga <5 mg/dL (<0,3 mmol/L) pada pasien dengan deposit kristal asam urat.[1,4,5]
Perbandingan Efikasi Febuxostat Vs Allopurinol
Meskipun allopurinol dan febuxostat merupakan obat golongan XOI, tetapi data klinis melaporkan keunggulan efikasi febuxostat dalam menurunkan asam urat. Febuxostat merupakan inhibitor selektif xantin oksidase poten yang mampu membentuk kompleks yang lebih stabil terhadap enzim xantin oksidase, baik bentuk reduksi maupun oksidasi.[1,6]
Kecepatan Penurunan Kadar Asam Urat
Pada tahun 2013, sebuah meta analisis menemukan bahwa pemberian febuxostat lebih efektif mencapai target serum asam urat <6 mg/dL daripada allopurinol (RR 1,56). Meski demikian, tidak ada perbedaan bermakna dalam mengurangi risiko gout flare jika dibandingkan dengan allopurinol (RR 1,16).[7]
Hasil serupa dilaporkan meta analisis lain yang meninjau 15 uji klinis acak terkontrol dan membandingkan efek berbagai obat hiperurisemia, termasuk allopurinol, benzbromarone, febuxostat, pegloticase, dan probenesid. Studi yang melibatkan 7.246 pasien ini menunjukkan bahwa febuxostat tampak lebih baik dalam mencapai kadar normal asam urat daripada allopurinol.[8]
Studi lain melaporkan bahwa pasien yang mendapat febuxostat lebih cepat mencapai target serum asam urat daripada allopurinol, yaitu sekitar 86 hari vs 98 hari untuk serum asam urat <6 mg/dL, dan sekitar 52 hari vs 90 hari untuk serum asam urat <5 mg/dL. Mayoritas dosis febuxostat yang digunakan pada studi ini adalah 80 mg/hari, sedangkan dosis allopurinol 300 mg/hari.[1]
Dalam sebuah meta analisis yang lebih baru (2023), dilakukan evaluasi terhadap 11 uji klinis acak terkontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa febuxostat dosis 80 mg/hari lebih efektif menurunkan kadar asam urat hingga ≤6,0 mg/dL dibandingkan allopurinol 200–300 mg/hari. Meski begitu, sediaan febuxostat 80 mg/hari tidak menghasilkan perbedaan bermakna dalam insiden gout.[14]
Perbandingan Keamanan Febuxostat Vs Allopurinol
Isu penting dari laporan efek samping allopurinol adalah reaksi hipersensitivitas derajat berat atau allopurinol-induced hypersensitivity syndrome (AHS). Risiko efek ini terutama meningkat pada individu dengan alel HLA-B*5801, yang umumnya meliputi subpopulasi Asia, termasuk Indonesia. Spektrum AHS meliputi sindrom Stevens Johnson, toxic epidermal necrolysis, vaskulitis, eosinofilia, hingga gagal ginjal dan gagal hati.[1,8]
Berbeda dari allopurinol, struktur kimia febuxostat tidak menyerupai struktur purin atau pirimidin lainnya, sehingga tidak menyebabkan inhibisi terhadap enzim lain yang terlibat dalam jalur katabolik nukleotida. Penggunaan febuxostat dapat menghindari efek samping serupa AHS tetapi tetap memberi efikasi penurunan asam urat. Efek samping umum febuxostat mencakup pusing, artralgia, mual, ruam kulit, dan abnormalitas fungsi hepar.[1,6]
Perbandingan Efek Samping Allopurinol vs Febuxostat
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa risiko efek samping febuxostat lebih rendah dibandingkan allopurinol.[7,8]
Keamanan Fungsi Ginjal
Dari segi keamanan fungsi ginjal, studi pasca pemasaran yang dilaporkan oleh Rey et al di tahun 2019 menunjukkan bahwa risiko gagal ginjal akut lebih rendah pada pasien yang mendapat febuxostat daripada allopurinol (OR 3,25 vs 5,67).[11]
Studi lain menemukan bahwa febuxostat 40 mg lebih efektif menurunkan serum asam urat daripada allopurinol 100 mg. Studi juga menemukan perbedaan eGFR slope (estimated glomerular filtration rate) pada penggunaan jangka panjang, di mana grup febuxostat positif sedangkan grup allopurinol negatif. Hal ini mengindikasikan efek nefroprotektif dari febuxostat.[12]
Hasil studi oleh Peng et al di tahun 2020 menunjukkan bahwa mean eGFR pada pemantauan interval 3 bulan lebih tinggi di grup febuxostat daripada grup allopurinol (46,69 vs 36,86 ml/min/1,73m2). Meski begitu, hasil statistik tidak bermakna secara signifikan pada risiko penurunan >30% eGFR di antara grup febuxostat dan allopurinol selama masa studi 5 tahun.[13]
Keamanan Kardiovaskuler
Studi FAST (the febuxostat vs allopurinol streamlined trial) melaporkan bahwa risiko kardiovaskuler pada kelompok febuxostat tampak lebih rendah daripada allopurinol untuk penggunaan jangka panjang. Studi melaporkan 1,72 kejadian/100 pasien/tahun di grup febuxostat dibandingkan adanya 2,05 kejadian/100 pasien/tahun di grup allopurinol.[9]
Suatu meta analisis oleh Gao L et al menemukan bahwa febuxostat menunjukkan luaran keamanan yang lebih baik daripada allopurinol, terutama dalam hal urgent coronary revascularization. Namun, tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian merugikan infark miokard non-fatal, mortalitas terkait kardiovaskuler, maupun mortalitas semua sebab.[10]
Kesimpulan
Baik febuxostat maupun allopurinol merupakan terapi efektif untuk menurunkan kadar asam urat pada pasien hiperurisemia. Walau begitu, bukti ilmiah menunjukkan keunggulan efikasi febuxostat, baik dari segi dosis yang lebih rendah maupun durasi kecepatan pencapaian target asam urat, dibandingkan dengan allopurinol 300 mg/hari. Dosis febuxostat yang disahkan oleh FDA adalah 40 dan 80 mg/hari. Febuxostat juga telah disetujui penggunaannya di Indonesia.
Selain itu, keamanan penggunaan febuxostat lebih baik terutama pada pasien dengan komorbid gangguan fungsi ginjal atau alergi allopurinol. Penggunaan febuxostat dapat menghindari kejadian efek samping kutaneus berat yang berhubungan dengan allopurinol, yakni allopurinol-induced hypersensitivity syndrome (AHS).
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha
 
 
 
 