Peran FRAX® dalam Prediksi Risiko Fraktur pada Pasien Osteoporosis

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

FRAX® merupakan alat prediksi risiko fraktur pada pasien osteoporosis yang telah digunakan selama >1 dekade. Alat ini adalah suatu algoritme yang bisa menilai risiko fraktur osteoporotik pada panggul, tulang belakang, humerus, maupun pergelangan tangan. Perhitungan risiko fraktur osteoporotik pada FRAX® memperhatikan perbedaan epidemiologi fraktur osteoporotik berbagai negara.[1-3]

Saat ini, kalibrasi FRAX® memuat data epidemiologi morbiditas maupun mortalitas fraktur osteoporotik dari 64 negara, tetapi penggunaannya telah meluas hingga ke 173 negara sejak peluncurannya pada bulan April 2008 oleh WHO Collaborating Centre di Sheffield, Inggris.[1-3]

FRAXPasienOsteoporosis

FRAX® lahir dari pemahaman bahwa metode penilaian risiko fraktur osteoporotik lebih penting bila dibandingkan dengan penilaian risiko osteoporosis itu sendiri. Selain itu, penentuan rentang waktu prediksi risiko fraktur tidak kalah pentingnya, di mana rentang waktu yang terlalu singkat tidak dapat memberi makna yang berarti bagi klinisi. Rentang waktu terbaik dalam penentuan risiko fraktur disepakati sebagai 10 tahun.[1-3]

Cara Kerja FRAX® untuk Memprediksi Risiko Fraktur pada Pasien Osteoporosis

Saat peluncurannya, FRAX® tersedia untuk 8 negara. Namun, saat ini sudah ada 71 model algoritme untuk 66 negara yang mencakup 80% populasi dunia. Alat ini tersedia dalam 35 bahasa dan dapat diakses secara online. Sekitar 80% perhitungan risiko telah dilakukan di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Spanyol, Jepang, Prancis, Belgia, Italia, Swiss, dan Turki.[1-3]

Fraktur osteoporotik mayor yang dapat diprediksi risikonya oleh FRAX® adalah fraktur panggul, tulang belakang (spine), lengan bawah distal, dan humerus proksimal. FRAX® membutuhkan data pasien untuk deteksi risiko fraktur osteoporotik, seperti usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan berat badan.[1-3]

Berbagai faktor risiko klinis juga diperlukan, misalnya riwayat fraktur, riwayat fraktur panggul dari orang tua, riwayat merokokriwayat konsumsi alkoholriwayat konsumsi glukokortikoid, riwayat diagnosis arthritis rheumatoid, dan riwayat kelainan osteoporosis sekunder. Nilai bone mineral density merupakan pilihan opsional untuk mendapatkan nilai prediksi risiko fraktur osteoporotik yang lebih akurat.[1-5]

Alat ini menghitung risiko fraktur osteoporotik berdasarkan faktor risiko klinis dan risiko kematian, yang membedakannya dengan metode prediksi risiko fraktur osteoporotik lain yang tidak memperhitungkan kemungkinan kematian. Hal ini menjadi penting karena pasien dengan usia lebih tua lebih berisiko mengalami kematian daripada fraktur, begitu pula sebaliknya pada pasien dengan usia lebih muda.[1-5]

Ada 2 luaran perhitungan FRAX®, yakni persentase risiko fraktur panggul dan fraktur osteoporotik mayor lainnya dalam waktu 10 tahun.[1-3]

Manfaat FRAX® sebagai Alat Penapisan Fraktur pada Pasien Osteoporosis

Secara umum, studi-studi yang melibatkan FRAX® menemukan bahwa penilaian risiko fraktur dengan alat ini memberikan manfaat pada pasien osteoporosis karena alat ini dapat membantu dokter menentukan intervensi yang tepat.

Screening in The Community to Reduce Fractures in Older Women (SCOOP) yang dilakukan oleh Shepstone, et al. terhadap 6.233 perempuan berusia 70–85 tahun telah membandingkan efek penapisan menggunakan FRAX® yang diikuti oleh drug targeting dan manajemen osteoporosis yang berbasis case-finding. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup dalam hal fraktur mayor, tetapi ada penurunan insiden fraktur panggul pada grup FRAX® (HR 0,72; 95% CI 0,59–0,89; p=0,002).[1,5]

Penurunan insiden fraktur panggul tersebut berbanding lurus dengan angka risiko fraktur panggul berdasarkan FRAX®, di mana pada risiko persentil ke-10, penurunan insiden fraktur panggul tidak signifikan, tetapi pada risiko fraktur panggul persentil ke-99, penurunan insiden dapat mencapai 33% (HR 0,67; 95% CI 0,53–0,84).[1,5]

Studi lain dilakukan oleh Rubin, et al. berupa Risk-stratified Osteoporosis Strategy Evaluation (ROSE) untuk mengetahui efektivitas penapisan 2 langkah dengan FRAX® dan dual-energy X-ray absorptiometry (DXA). Studi ini melibatkan 34.229 perempuan berusia 65–80 tahun dengan median masa pemantauan 5 tahun, di mana pemeriksaan DXA dilakukan pada pasien dengan skor FRAX® ≥15%.[1,7]

Bersama dengan DXA, penapisan menggunakan FRAX® yang dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang tepat bisa mengurangi insiden secara signifikan pada fraktur panggul (HR 0,71; 95% CI 0,55–0,91), fraktur osteoporotik mayor lain (HR 0,85; 95% CI 0,76–0,97), dan seluruh fraktur osteoporotik (HR 0,88; 95% CI 0,79–0,98).[1,7]

SALT Osteoporosis Study (SOS) yang dilakukan oleh Merlijn, et al. juga meneliti manfaat penapisan dengan FRAX® untuk menurunkan insiden fraktur osteoporotik. Studi ini melibatkan 11.039 perempuan berusia 65–90 tahun dengan ≥1 faktor risiko klinis fraktur yang terbagi menjadi 2 grup, yaitu grup penapisan dengan FRAX® dan grup perawatan biasa.[1,8]

Namun, berbeda dengan studi SCOOP dan ROSE, SOS tidak menemukan efek yang bermakna dengan penapisan FRAX® dalam hal insiden fraktur panggul (HR 0,9; 95% CI 0,71–1,15), fraktur osteoporotik mayor lain (HR 0,91; 95% CI 0,80–1,04), maupun mortalitas (HR 1,03; 95% CI 0,91–1,17). Namun, studi ini memiliki beberapa limitasi, termasuk konsumsi medikamentosa dan masalah kepatuhan pada grup penapisan.[1,8]

Kekurangan FRAX® sebagai Alat Penapisan Fraktur pada Pasien Osteoporosis

Meskipun memiliki berbagai manfaat, FRAX® juga memiliki beberapa kekurangan yang dikhawatirkan dapat mengurangi akurasi prediksi risiko fraktur osteoporotik. FRAX® unggul sebagai alat penapisan yang sederhana dan mudah digunakan, tetapi desain sederhana FRAX® ini dapat menjadi kekurangan tersendiri.[1-4]

FRAX® tidak memperhitungkan besaran paparan secara kuantitatif. Misalnya, FRAX® hanya bisa menerima respons “ya” atau “tidak” pada pertanyaan mengenai konsumsi glukokortikoid. Padahal, perbedaan durasi dan dosis konsumsi glukokortikoid dapat menyebabkan risiko yang berbeda pada pasien.[1-4]

Selain itu, pengukuran bone mass density (BMD) lumbal dan pengukuran material atau struktur tulang yang tidak tercakup dalam FRAX® menyebabkan kekhawatiran tentang kurangnya akurasi prediksi fraktur alat ini. Tidak masuknya beberapa faktor tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya data internasional terkait, sehingga validasi yang diperlukan untuk inklusi faktor tambahan tersebut dalam FRAX® tidak maksimal.[1-4]

Perbaikan faktor risiko dalam FRAX® mungkin akan dapat meningkatkan akurasinya, misalnya tingkat paparan glukokortikosteroid yang terbagi menjadi tinggi, sedang, dan rendah, trabecular bone score (TBS), panjang aksis panggul, riwayat jatuh, riwayat diabetes mellitus tipe 2, status imigrasi, dan jarak waktu riwayat fraktur terakhir.[1-4]

Penggunaan FRAX® untuk Populasi Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dari 66 negara yang memiliki algoritme FRAX® tersendiri. FRAX® dapat diakses dengan mudah secara online dan tersedia dalam Bahasa Indonesia. Berbagai faktor risiko, termasuk bone mass density (BMD), tetap menjadi bagian dari perhitungan risiko fraktur osteoporotik di Indonesia.[1-4,9]

Namun, pemeriksaan BMD menggunakan Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA) dan memiliki biaya tinggi serta ketersediaan terbatas di Indonesia, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan sebagai bagian penapisan pada pasien. Hal ini menyebabkan akurasi FRAX® menjadi lebih rendah bila skor BMD tidak dimasukkan dalam algoritme.[1-4,9]

Kesimpulan

FRAX® merupakan suatu algoritme penilaian risiko fraktur pada pasien osteoporosis yang memperhatikan perbedaan epidemiologi fraktur osteoporotik berbagai negara. Alat ini melakukan penilaian risiko fraktur berdasarkan usia, jenis kelamin, dan berbagai faktor risiko fraktur, dengan luaran berupa persentase risiko fraktur panggul dan fraktur osteoporotik mayor lainnya dalam waktu 10 tahun.

Penggunaan FRAX® sebagai metode penapisan yang diikuti dengan penatalaksanaan yang sesuai dapat mengurangi insiden fraktur panggul dan fraktur osteoporotik mayor lain. Namun, FRAX® memiliki kekurangan berupa sifatnya yang sangat sederhana, sehingga tidak bisa memperhitungkan besaran paparan faktor risiko secara kuantitatif.

FRAX® memiliki algoritme untuk penggunaan di Indonesia, yang berbahasa Indonesia. Akan tetapi, penggunaan FRAX® di Indonesia mungkin belum bisa maksimal karena kurangnya akses terhadap DXA untuk penentuan nilai BMD.

Referensi