Vertebroplasty adalah salah satu tata laksana yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri pada fraktur kompresi vertebra akibat osteoporosis. Vertebroplasty merupakan prosedur invasif minimal dengan melakukan injeksi semen ke dalam vertebra untuk stabilisasi fraktur.[1,2]
Artikel ini membahas lebih lanjut mengenai efektivitas vertebroplasty terhadap penurunan nyeri, risiko terjadinya fraktur baru, efektivitas biaya, dan progresivitas penyakit pada pasien dengan fraktur vertebra akibat osteoporosis.
Fraktur Vertebra pada Osteoporosis
Fraktur vertebra merupakan ciri khas osteoporosis yang dapat meningkatkan risiko kematian pada lansia. Fraktur vertebra ditandai dengan perubahan bentuk dan ukuran korpus vertebra yang dapat disertai atau tidak disertai dengan perubahan tinggi vertebra.
Peningkatan jumlah fraktur vertebra dapat menyebabkan hiperkifosis toraks dan menyebabkan berkurangnya tinggi badan serta kelainan bentuk vertebra dengan bentuk alignment sagital. Hal ini menyebabkan nyeri kronis, penurunan fungsi pernapasan, peningkatan risiko terjatuh, dan penurunan kualitas hidup jangka panjang pada pasien osteoporosis.[3]
Vertebroplasty terhadap Penurunan Nyeri
Studi systematic review pada open-label non-randomized trial oleh Roux et al (2021) menyatakan bahwa vertebroplasty terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri dibandingkan dengan terapi konservatif, terutama pada 2 minggu setelah tindakan (bukti baik) dan setelah 3 bulan pasca tindakan (bukti cukup baik). Berdasarkan studi tersebut, terdapat efek analgesik singkat dari vertebroplasty.[1]
Tinjauan sistematis oleh Halvachizadeh et al (2021) melaporkan adanya perbedaan skor nyeri antara kelompok yang menjalani vertebroplasty atau kyphoplasty dengan kelompok yang menjalani terapi konservatif. Kelompok vertebroplasty atau kyphoplasty memiliki skor nyeri yang lebih rendah pada jangka pendek (mingguan), jangka menengah (beberapa bulan), dan jangka panjang (tahunan).
Pasien yang mengalami osteoporosis, terutama dengan fraktur vertebra, sering mengalami nyeri yang dapat membatasi kemampuan fungsional dengan bebas, termasuk mobilitas. Sehingga pengurangan nyeri dapat membantu meningkatkan mobilitas pasien.[4,5]
Pada studi VERTOS II yang membandingkan vertebroplasty dengan terapi konservatif, pasien yang menjalani vertebroplasty memiliki skor nyeri yang lebih rendah menurut penilaian visual analog scale (VAS) pada 1 bulan dan 12 bulan pasca tindakan.[6]
Studi lain membandingkan vertebroplasty dengan injeksi anestesi atau steroid pada facet joint. Terdapat perbedaan skor nyeri di mana vertebroplasty lebih baik pada 1 minggu pertama setelah tindakan, namun tidak berbeda pada 1 dan 12 bulan pasca tindakan.
Vertebroplasty terbukti lebih unggul dibandingkan dengan perawatan konservatif dan injeksi steroid. Namun, hasil ini perlu diinterpretasi dengan hati-hati karena potensi bias. Vertebroplasty memiliki efek neurobiologis yang lebih besar setelah tindakan invasif dibandingkan dengan kelompok kontrol, yang tidak menjalani tindakan invasif, dan mungkin merasa lebih tidak puas.[1]
Terdapat empat studi double-blind randomized trial yang membandingkan vertebroplasty dengan prosedur plasebo. Studi VAPOUR (vertebroplasty for acute painful osteoporotic fractures) menunjukkan bahwa vertebroplasty lebih efektif dalam mengurangi nyeri dibandingkan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa studi-studi tersebut menggunakan protokol yang bervariasi, sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian.[1]
Risiko Terjadinya Fraktur Baru
Dalam studi VERTOS II, yang membandingkan vertebroplasty dengan terapi konservatif, tidak terdapat perbedaan signifikan dalam kejadian fraktur vertebra baru antara kedua kelompok. Kelompok vertebroplasty melaporkan 18 kasus fraktur pada 15 pasien dari total 91 pasien, sementara kelompok terapi konservatif mencatat 30 kasus pada 21 pasien dari total 85 pasien. Lokasi fraktur vertebra juga tidak berbeda antara keduanya.[6]
Studi VERTOS IV, yang membandingkan vertebroplasty dengan prosedur plasebo, juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan dalam kejadian fraktur vertebra baru antara kedua kelompok.[7]
Temuan ini diperkuat oleh satu studi meta-analisis dan tinjauan Cochrane, yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam jumlah kasus fraktur vertebra baru antara kelompok yang menjalani vertebroplasty dengan kelompok plasebo atau terapi konservatif.[1]
Adanya faktor risiko juga turut berkontribusi pada kemungkinan terjadinya fraktur baru setelah vertebroplasty. Dalam studi review sistematis oleh Mao et al, faktor-faktor seperti riwayat fraktur tambahan, usia, kadar bone mass density (BMD), kebocoran semen, sudut Cobb, dan temuan celah di antara vertebra diidentifikasi sebagai elemen-elemen yang dapat mempengaruhi risiko terbentuknya fraktur baru tersebut.[8]
Efektivitas Biaya
Studi-studi terkait efektivitas biaya tindakan vertebroplasty menunjukkan hasil yang beragam. Sebagian besar penelitian lebih membandingkan efektivitas biaya tindakan vertebroplasty dengan tindakan kyphoplasty daripada dengan terapi konservatif.[1]
Dalam studi VERTOS II, biaya vertebroplasty di Britania Raya dan Amerika Serikat berada pada ambang batas kesediaan membayar. Selain itu, hasil studi tersebut menyoroti bahwa vertebroplasty memerlukan biaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan terapi konservatif, terutama dalam jangka pendek.[6]
Mengingat bukti yang menunjukkan ketidakefektifan vertebroplasty dalam mencegah fraktur vertebra dibandingkan dengan pengobatan lain, pertanyaan mengenai efektivitas biaya dari tindakan invasif ini menjadi semakin relevan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi secara menyeluruh dampak biaya dari tindakan vertebroplasty.
Progresivitas Penyakit
Dalam memahami perkembangan fraktur vertebra, penting untuk memperhatikan aksis sagital dan sudut pelvis. Tinggi vertebra dapat menjadi indikator utama karena mempengaruhi keseluruhan aksis vertebra.
Data dari studi VERTOS II menunjukkan bahwa kelompok yang menjalani vertebroplasty memiliki penurunan tinggi vertebra yang lebih rendah (8%) dibandingkan kelompok kontrol (45%). Temuan serupa ditemukan dalam studi VERTOS IV, di mana kelompok yang menjalani vertebroplasty (8%, dengan OR=9,84, 95% CI 4,08-23,73) mengalami penurunan tinggi vertebra yang jauh lebih kecil daripada kelompok yang menjalani sham procedure (45%).[1,6,7]
Tinggi vertebra memiliki peranan krusial dalam menjaga alignment vertebra, mencegah kifosis, dan menghindari perburukan fraktur lebih lanjut. Selain itu, pemeliharaan tinggi vertebra juga berkontribusi pada distribusi beban yang optimal di seluruh vertebra. Oleh karena itu, pemulihan tinggi vertebra bukan hanya membantu meningkatkan fungsi tubuh, mengurangi risiko cacat, tetapi juga berdampak positif pada kualitas hidup pasien secara keseluruhan.[9]
Kesimpulan
Vertebroplasty, sebagai metode minimal invasif dengan injeksi semen ke vertebra, terbukti efektif mengurangi nyeri, terutama dalam jangka pendek. Namun, manfaat ini perlu diimbangi dengan potensi efek samping dan biaya yang lebih tinggi.
Meskipun vertebroplasty tidak meningkatkan risiko fraktur vertebra baru, pemilihan pasien dan evaluasi risiko perlu diperhatikan. Dalam hal efektivitas biaya, pertimbangan lebih lanjut diperlukan, khususnya dalam membandingkannya dengan tindakan alternatif seperti kyphoplasty.
Pemeliharaan tinggi vertebra dengan tindakan vertebroplasty tampaknya memiliki dampak positif pada progresivitas perburukan, sehingga memberikan nilai tambah pada aspek fungsional dan kualitas hidup pasien. Akan tetapi, penting untuk melibatkan parameter lain dan penelitian lanjutan, terutama di Indonesia, untuk mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif mengenai peran vertebroplasty dalam manajemen fraktur vertebra osteoporosis.