Klinisi sering menggunakan antivirus dan kortikosteroid dalam tata laksana Bell’s palsy. Walaupun begitu, efikasi dan peran dari kedua golongan obat tersebut masih belum jelas. Bell’s palsy ditandai dengan kelumpuhan separuh sisi wajah (ipsilateral), walaupun ada pula kasus yang melibatkan kedua belah wajah (bilateral).
Bell’s palsy merupakan kelainan saraf fasialis perifer yang bersifat idiopatik. Prevalensi Bell’s palsy meningkat pada pasien dengan diabetes melitus, hipertensi, dan ibu di masa perinatal. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan oleh seorang ahli anatomi dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell pada tahun 1821.[1-3]
Peran Inflamasi dan Infeksi Virus dalam Patofisiologi Bell’s Palsy
Pada Bell’s palsy, terjadi inflamasi saraf yang menyebabkan demielinisasi segmental. Pada kasus yang berat, bahkan dapat terjadi kerusakan aksonal. Walaupun Bell’s palsy merupakan suatu kelainan yang bersifat idiopatik, beberapa studi mengaitkan Bell’s palsy dengan infeksi virus, terutama virus herpes simpleks tipe 1 yang dapat diisolasi dari ganglion genikulatum dan terdeteksi pada cairan endoneurium pasien. Virus lain yang dikaitkan dengan Bell’s palsy adalah adenovirus, virus Coxsackie, cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus influenza, paramyxovirus, dan rubella.
Selain itu, Bell’s palsy juga dikaitkan dengan penyebab noninfeksi, seperti proses autoimun, iskemia akibat aterosklerosis yang menimbulkan edema saraf fasialis, dan faktor genetik. Sekitar 4-8% pasien Bell’s palsy memiliki keluarga dengan riwayat penyakit Bell’s palsy.[1,4,5]
Sekilas Mengenai Manifestasi dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy
Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau kelumpuhan pada separuh wajahnya. Kelumpuhan pada nervus fasialis perifer akan bermanifestasi sebagai paralisis otot wajah, gangguan pendengaran (tinitus atau hiperakusis), gangguan pengecapan, nyeri di area wajah dan mastoid, serta gangguan lakrimasi dan salivasi.[1,3,5]
Derajat keparahan Bell’s palsy dapat dinilai dengan skala House-Brackmann. Semakin tinggi derajat keparahannya, kemungkinan pemulihan sempurna semakin kecil.[5]
Tabel 1. Derajat Keparahan Bell’s Palsy Berdasarkan Skala House-Brackmann
Derajat | Pengertian | |
1 | Normal | Fungsi wajah normal |
2 | Disfungsi ringan | Kerut dahi baik, menutup mata komplit dengan usaha minimal dan terdapat asimetri ringan, sudut mulut bergerak dengan usaha maksimal dan terdapat asimetri ringan. |
3 | Disfungsi sedang | Kerut dahi sedikit asimetris, menutup mata komplit dengan usaha maksimal dan jelas terlihat asimetri, sudut mulut bergerak dengan usaha maksimal dan asimetri tampak jelas |
4 | Disfungsi sedang-berat | Tidak dapat mengerutkan dahi dan menutup mata, meskipun dengan usaha maksimal |
5 | Disfungsi berat | Tidak dapat mengerutkan dahi dan menutup mata, sudut mulut hanya bergerak sedikit |
6 | Lumpuh total | Tidak ada pergerakan wajah sama sekali |
Tata Laksana Bell’s Palsy
Pasien Bell’s palsy dapat mengalami perbaikan klinis dengan sendirinya tanpa intervensi dalam waktu 2-3 minggu setelah awitan, dan pulih dalam waktu 3-4 bulan. Tanpa pengobatan, fungsi wajah dapat mengalami perbaikan sempurna pada 70% pasien Bell’s palsy dengan paralisis komplit. Pada paralisis wajah yang inkomplit, perbaikan mencapai 94%. Walaupun begitu, dilaporkan bahwa 30% pasien tidak mengalami perbaikan secara sempurna. Hal ini mempengaruhi penampilan, kualitas hidup, dan kondisi psikologi pasien.[5]
Penatalaksanaan standar Bell’s palsy dapat dibedakan menjadi 2 fase, yaitu penggunaan obat-obatan seperti antivirus dan kortikosteroid pada fase akut, serta pengobatan fase kronik yang lebih banyak berfokus pada terapi non medikamentosa, rehabilitasi, dan pengobatan komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah sinkinesia dan spasme hemifasial.[3,6]
Efikasi Kortikosteroid pada Bell’s Palsy
Berdasarkan patofisiologinya, pada Bell’s palsy terjadi inflamasi saraf fasialis. Oleh karena itu, pemberian kortikosteroid dipercaya dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi kerusakan pada saraf.
Steroid yang sering digunakan adalah prednison 40-60 mg/hari atau prednisolone 1 mg/kgBB/hari (maksimal 70 mg) selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Menurut tinjauan Cochrane yang dipublikasikan pada tahun 2016, penggunaan kortikosteroid bermanfaat bagi pasien Bell’s palsy. Studi ini menganalisis 7 uji klinis dengan total 895 partisipan. Uji klinis yang ada memiliki kualitas bukti sedang hingga tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan risiko penyembuhan inkomplit secara signifikan (number needed to treat 10). Selain itu, kortikosteroid juga ditemukan mengurangi risiko komplikasi, seperti sinkinesia motorik Tiga studi yang dianalisis menunjukkan tidak ada efek samping dari penggunaan kortikosteroid pada Bell’s palsy. Sedangkan studi lainnya menemukan efek samping yang ringan, seperti gangguan tidur sementara.[7]
Efikasi Antivirus pada Bell’s Palsy
Berbeda dengan penggunaan kortikosteroid yang telah direkomendasikan, efikasi antivirus pada Bell’s palsy masih kontroversial.
Antivirus yang sering diberikan adalah acyclovir 400 mg lima kali sehari selama tujuh hari, atau valacyclovir 1 gram tiga kali sehari selama tujuh hari.[8]
Menurut tinjauan Cochrane yang diterbitkan September 2019, penggunaan kombinasi kortikosteroid dan antivirus hanya memberikan sedikit manfaat atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali terhadap pemulihan inkomplit Bell’s palsy bila dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid saja. Hasil analisis menunjukkan adanya kemungkinan manfaat antivirus terhadap penurunan risiko sekuele lambat dan sekuele jangka panjang. Namun, studi dengan kekuatan bukti yang lebih baik masih dibutuhkan.[9]
Kesimpulan
Bell’s palsy merupakan paralisis saraf fasialis yang bersifat akut idiopatik. Penyakit ini dapat menunjukkan perbaikan dengan sendirinya tanpa intervensi, namun kortikosteroid dan antivirus sering diberikan di praktik. Tinjauan Cochrane terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid bermanfaat dalam tata laksana Bell’s palsy berdasarkan analisis uji klinis dengan kualitas bukti sedang-tinggi. Sementara itu, bukti ilmiah yang ada terkait penggunaan antivirus masih kurang baik. Dari studi yang dianalisis oleh Cochrane, antivirus memiliki sedikit atau tidak ada manfaat dalam tata laksana Bell’s palsy.