Penyerangan seksual atau sexual assault merupakan kasus yang sangat umum, tetapi banyak dokter tidak siap untuk menangani pasien yang mengalami penyerangan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bertujuan untuk melecehkan, menghina, merendahkan atau menyerang fungsi sistem reproduksi seseorang, baik itu wanita maupun pria. Menurut WHO, kekerasan seksual adalah segala tindakan percobaan aktivitas seksual yang tidak diharapkan atau memenuhi unsur paksaan, ancaman, dan intimidasi.[1,2]
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menambahkan bahwa kekerasan seksual merupakan suatu tindakan kriminal yang erat kaitannya dengan upaya kekerasan dan ancaman dari pelaku terhadap aktivitas seksual yang tidak diharapkan oleh korban. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, dapat ditegaskan bahwa unsur penting dari kekerasan seksual adalah adanya paksaan atau intimidasi dari pelaku terhadap korban.[1-3]
Kekerasan Seksual di Indonesia
WHO menyebutkan bahwa kejadian kekerasan seksual yang tercatat umumnya hanyalah gambaran kecil dari total kejadian yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya jumlah korban yang mau melaporkan kejadian pada pihak berwenang. Beberapa alasan yang mungkin menjadi pertimbangan bagi korban untuk tidak melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya adalah rasa malu, takut disalahkan atau tidak dipercaya, serta rasa takut dikucilkan dari lingkungan sosial.[1,2]
Di Indonesia, data kekerasan seksual pada perempuan dicatat oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (CATAHU). CATAHU tahun 2022 melaporkan bahwa kekerasan seksual (6330 kasus; 30%) menempati urutan kedua Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Indonesia. Berdasarkan tempat kejadiannya, dua bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah publik adalah pelecehan seksual dan pemerkosaan.[4]
Dampak Medis Kekerasan Seksual
Beberapa bentuk kekerasan seksual yang dapat terjadi adalah:
- Pelecehan seksual fisik berupa pemerkosaan, perbuatan cabul, atau persetubuhan terhadap anak
- Pelecehan seksual non-fisik berupa penguntitan atau pengambilan foto tanpa izin
- Pelecehan seksual verbal berupa perilaku atau tindakan yang melecehkan tubuh atau penampilan fisik seseorang
- Pelecehan seksual daring berupa pengiriman atau penyebaran foto atau video porno[1,2,4,5]
Dampak Fisik Kekerasan Seksual
Dampak fisik pada korban kekerasan seksual dapat berupa kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, trauma fisik seperti luka lecet atau fraktur, trauma pada area genitalia, hingga penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) seperti HIV, chlamydia, dan gonorrhea. Beberapa dampak fisik jangka panjang adalah nyeri pelvis kronis, dismenore, dan disfungsi seksual.[2,3,6]
Dampak Psikis Kekerasan Seksual
Dampak psikis akut yang mungkin timbul pada korban kekerasan seksual adalah reaksi emosional seperti rasa marah, takut, cemas, malu, dan perasaan bersalah. Pasien juga bisa mengalami nyeri di seluruh tubuh, gangguan makan, dan gangguan tidur.[2]
Dampak psikis tahap lanjut yang mungkin dapat terjadi adalah flashback, mimpi buruk, dan fobia. Pada kasus tertentu, korban kekerasan seksual dapat mengalami gangguan kesehatan mental berupa Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi, cemas, gangguan panik, hingga keinginan untuk melakukan bunuh diri.[2,3,6]
Dampak Sosial Kekerasan Seksual
Korban kekerasan seksual seringkali mengalami diskriminasi dan perlakuan buruk lebih lanjut oleh keluarga, masyarakat, ataupun pihak berwenang. Dalam banyak budaya, korban sering disalahkan dan mungkin ditolak oleh keluarga, dilarang menikah, atau ditolak oleh pasangan. Korban juga sering mengalami diskriminasi di tempat kerja atau sekolah, oleh otoritas hukum, dalam sistem medis, maupun tempat ibadah.
Pemikiran kebanyakan orang sering mempercayai mitos bahwa pelaku penyerangan seksual adalah orang asing, padahal penyerangan seksual lebih sering dilakukan oleh pasangan, keluarga atau anggota masyarakat.[9]
Alur Evaluasi dan Manajemen Korban Kekerasan Seksual
Alur manajemen korban kekerasan seksual dimulai dengan datangnya korban dugaan kasus kekerasan seksual ke fasilitas pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas atau rumah sakit. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan saat menemukan kasus dugaan kekerasan seksual adalah menjaga keamanan dan privasi korban.[7,8]
Perhatian Khusus dalam Melakukan Anamnesis
Setelah memastikan keamanan dan privasi korban, maka tenaga kesehatan yang bertugas dapat melakukan anamnesis terhadap korban dengan memperhatikan aspek pada first line support dan SAVE model protocol.[3,6,7]
Yang dimaksud dengan first line support adalah:
Listen: mendengarkan cerita dari korban mengenai apa yang terjadi pada dirinya
Inquire: melakukan penilaian dan memberikan respon sesuai dengan kebutuhan emosional, fisik, dan sosial korban
Validate: menunjukkan rasa percaya terhadap cerita korban
Enhance safety: melakukan rencana upaya keselamatan guna melindungi korban dari risiko terulangnya kasus kekerasan seksual
Support: memberikan dukungan pada korban dengan memberikan informasi, layanan, dan rujukan bila diperlukan[7]
Model lain yang bisa digunakan dalam melakukan anamnesis pasien terduga korban kekerasan seksual adalah SAVE model protocol yang mencakup:
Screen: melakukan skrining pada korban kekerasan seksual dengan memperhatikan keamanan dan privasi korban
Ask: mengajukan pertanyaan langsung yang tidak terkesan menghakimi
Validate: melakukan validasi pada korban dengan menggunakan kalimat yang suportif dan menguatkan korban
Evaluate, educate, and refer: melakukan evaluasi kondisi fisik, psikis, serta keamanan diri korban. Apabila diperlukan, korban dapat dirujuk ke pihak yang lebih berwenang dalam mengatasi kejadian ini.[3,6]
Anamnesis Awal
Adapun beberapa contoh pertanyaan skrining dari ACOG yang dapat diajukan pada korban kekerasan seksual adalah:
- Apakah ada orang lain yang memegang bagian tubuh Anda tanpa persetujuan dari Anda?
- Apakah Anda pernah merasa dipaksa atau tertekan untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak Anda inginkan?
- Apakah Anda pernah melakukan hubungan seksual yang tidak Anda inginkan di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan?
- Apakah Anda merasa memiliki kendali atas hubungan seksual Anda? Apakah keinginan Anda akan didengarkan bila Anda mengatakan tidak mau melakukan hubungan seksual?
- Apakah kedatangan Anda hari ini disebabkan oleh pengalaman seksual yang tidak Anda inginkan?[3]
Penilaian Kondisi Korban
Setelah lima pertanyaan skrining dari ACOG diajukan kepada korban, tenaga kesehatan, sebaiknya dokter spesialis Forensik Medikolegal dan dokter spesialis Obstetri Ginekologi, dapat mulai melakukan anamnesis terkait kondisi kesehatan dan kejadian yang dialami oleh korban saat datang ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Beberapa pertanyaan penting yang perlu diajukan saat anamnesis adalah:
- Kondisi kesehatan umum, termasuk ada tidaknya keluhan nyeri, perdarahan, atau keluarnya cairan dari area genitalia atau anus.
- Waktu dan lokasi kejadian
- Kronologis kejadian meliputi kejadian apa saja yang dialami sebelum dan sesudah kegiatan seksual terjadi, apakah kegiatan seksual disertai dengan kekerasan atau tidak, serta apakah kegiatan seksual disertai dengan penetrasi atau tidak.
- Riwayat obstetri dan ginekologi
- Riwayat penggunaan kontrasepsi
- Riwayat kekerasan seksual sebelumnya
- Penilaian kesehatan mental korban.[3,7]
Selain beberapa pertanyaan di atas, dokter juga perlu menanyakan mengenai kegiatan yang bisa mempengaruhi pengambilan sampel yang diperlukan untuk pemeriksaan lanjutan. Contohnya adalah mandi, mengganti pakaian, buang air, membersihkan area genitalia atau anus, mencuci mulut, membersihkan atau memotong kuku, serta makan dan minum.[3,6,7]
Pemeriksaan Forensik
Setelah tenaga kesehatan mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap berdasarkan hasil anamnesis, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terkait. Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan secara teliti guna mencari adanya tanda kekerasan fisik sebelum, selama, atau setelah kegiatan seksual berlangsung. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan persetujuan pasien pada setiap tahap, juga disertai penjelasan mengenai cara pengerjaan setiap pemeriksaan atau prosedur.
Pemeriksaan Kondisi Umum:
Pemeriksaan kondisi umum seperti tingkat kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Pemeriksaan tanda vital juga diperlukan, termasuk tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan suhu tubuh.[7]
Pemeriksaan Head To Toe:
Pemeriksaan head to toe adalah pemeriksaan secara menyeluruh yang perlu dilakukan secara teliti guna mencari apakah ada tanda fisik yang ditemukan pada korban dugaan kekerasan seksual.
Lakukan pemeriksaan terhadap luka untuk memastikan apakah luka yang ditemukan merupakan luka baru atau luka lama. Perlu diperhatikan setiap adanya temuan luka, maka karakteristik luka perlu dicatat dan didokumentasikan. Beberapa jenis luka yang mungkin ditemukan adalah luka lecet, laserasi, memar, fraktur, hingga luka tembak.
Cari tanda kekerasan fisik seperti luka lecet, laserasi, memar, strangulasi, fraktur, hingga cedera kepala. Sebagai contoh, korban yang dicekik oleh pelaku mungkin menimbulkan bekas luka cekikan yang disertai memar dan petekie pada palatum dan konjungtiva, serta nyeri pada area kartilago tiroid dan krikoid.[7,8]
Lakukan juga pemeriksaan ginekologi untuk mencari tanda penetrasi, misalnya adanya robekan selaput dara atau luka di area vagina. Dokter juga bisa menemukan tanda ejakulasi, seperti adanya sperma, ataupun tanda kehamilan dan infeksi menular seksual (IMS).[7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pengumpulan sampel dari tubuh korban diperlukan untuk memperkuat barang bukti guna keperluan penyidikan. Alat pemeriksaan yang diperlukan dalam pemeriksaan ini umumnya telah disiapkan dalam rape kit.
Pemeriksaan Darah:
Pemeriksaan darah perlu dilakukan pada setiap korban kekerasan seksual untuk mendeteksi HIV, hepatitis B, maupun hepatitis C. Waktu untuk melakukan pemeriksaan HIV adalah saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan HIV dapat diulang dalam 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan bila status HIV pelaku tidak diketahui.
Waktu untuk melakukan pemeriksaan hepatitis B adalah saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan diulang dalam 6 bulan. Waktu untuk melakukan pemeriksaan hepatitis C adalah saat korban datang ke fasilitas pelayanan kesehatan, lalu bila status hepatitis C pelaku tidak diketahui maka pemeriksaan dapat diulang dalam 3 dan 6 bulan.[6,7]
Pemeriksaan Urin:
Pemeriksaan urin perlu dilakukan pada setiap korban kekerasan seksual untuk mendeteksi kehamilan dan skrining obat tertentu seperti chloral hydrate, gamma hydroxybutyrate, ketamine, dan benzodiazepine yang mungkin digunakan pelaku untuk melumpuhkan korman. Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan kehamilan dan skrining obat-obatan adalah dalam kurun waktu 72 jam setelah aktivitas seksual.[6]
Pemeriksaan Kuku:
Pemeriksaan kuku jari tangan kanan dan kiri diperlukan untuk mengidentifikasi DNA pelaku.[7]
Swab:
Pemeriksaan swab dapat dilakukan pada noda bercak kering atau basah yang ditemukan pada tubuh korban. Selain itu, swab pada rongga mulut, genitalia eksterna, kanal vagina dan serviks juga perlu dilakukan untuk melihat adanya tanda penetrasi. Perlu diperhatikan pada kondisi himen yang utuh, maka swab hanya dilakukan pada area genitalia eksterna saja.[7]
Waktu yang tepat untuk melakukan swab pada rongga mulut akibat adanya penetrasi penis adalah 24 jam. Pada area anus adalah 48 jam, dan area vagina hingga 5 hari sejak aktivitas seksual dilakukan.[7,8]
Evaluasi dan Manajemen
Evaluasi dan manajemen pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan untuk mencegah dampak kekerasan seksual yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik, mental, dan emosional korban. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi dan manajemen adalah kemungkinan terjadinya kehamilan dan IMS.
Kehamilan:
Korban kekerasan seksual yang datang dalam kurun waktu < 72 jam, akan mendapatkan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan. Beberapa pilihan kontrasepsi yang dapat digunakan di Indonesia adalah levonogestrel dan kombinasi etinil estradiol/levonogestrel. Kontrasepsi darurat dapat diberikan sesegera mungkin setelah aktivitas seksual terjadi.[3,7]
Untuk mencapai hasil yang efektif, levonogestrel sebaiknya diberikan < 72 jam sejak aktivitas seksual dilakukan. Korban yang memiliki risiko tinggi kehamilan harus disarankan untuk tetap melakukan tes kehamilan ulang dalam 3 minggu setelah aktivitas seksual tersebut.[6,8]
Infeksi Menular Seksual (IMS):
Mengacu pada Algoritma Tata Pelayanan Kesehatan Bagi Korban Kekerasan Seksual Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, disebutkan bahwa profilaksis pencegahan IMS dapat diberikan pada korban kekerasan seksual. Pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah azithromycin dan cefixime. Dosis yang dianjurkan untuk dewasa dan anak dengan berat badan < 35 kg adalah azithromycin 1000 mg dosis tunggal dan cefixime 400 mg dosis tunggal.[7]
Selain azithromycin dan cefixime, literatur lain menyebutkan bahwa ceftriaxone 250 mg atau 500 mg intramuskuler (IM) dosis tunggal juga dapat diberikan untuk profilaksis IMS. Pilihan lain adalah benzathine penicillin 1,8 g IM, metronidazole 2 g dosis tunggal, dan tinidazole 2 g dosis tunggal.[6,8]
Pada korban usia 9-26 tahun yang belum melengkapi vaksin Human Papilloma Virus (HPV), dapat disarankan untuk mendapatkan vaksin sesuai dosis yang dianjurkan berdasarkan usia.[6]
Pelaporan
Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang menemukan adanya dugaan kasus tindakan pidana kekerasan seksual wajib melakukan pelaporan kepada pihak berwenang termasuk kepolisian.
Demi menjamin keamanan korban, kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara untuk korban sejak 1 x 24 jam laporan tindak pidana kekerasan seksual diterima. Perlindungan sementara tersebut dapat berlangsung hingga paling lama 14 hari sejak korban ditangani.[5]
Kesimpulan
Kekerasan seksual adalah suatu tindakan pidana yang memiliki tujuan untuk melecehkan, menghina, merendahkan dan/atau menyerang tubuh seseorang dengan adanya unsur paksaan, ancaman, dan intimidasi.
Dokter spesialis Forensik Medikolegal dan dokter spesialis Obstetri Ginekologi adalah dua spesialisasi dokter di Indonesia yang memiliki wewenang dalam menangani korban kekerasan seksual, mulai dari identifikasi, penilaian kondisi umum, pemeriksaan forensik, evaluasi dan manajemen, hingga pelaporan dan menyiapkan barang bukti.
Meski begitu, mengingat masih banyak “tabu” tentang seks dalam budaya kita, sebagian besar pasien yang mengalami pelecehan seksual akan datang ke fasilitas perawatan primer atau perawatan darurat dengan gejala terkait dan hanya dapat mengungkapkan pelecehan seksual jika mereka merasa bahwa dokter akan mempercayai dan membantu mereka. Mengingat betapa umum penyerangan seksual, semua dokter harus tahu bagaimana membantu dan menilai pasien, dan menyediakan ruang yang aman bagi pasien untuk mengungkapkan informasi ini sambil memastikan bahwa bukti dicatat dengan baik jika pasien ingin melaporkan kasusnya nanti.