Memilih Golongan Antihipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis

Oleh :
dr.I.B. Komang Arjawa, Sp.JP, FIHA

Pemilihan golongan antihipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis merupakan tantangan. Beberapa kelas antihipertensi dapat memperburuk fungsi ginjal. Selain itu, fungsi ginjal yang terganggu dapat mempengaruhi metabolisme dan eliminasi obat, sehingga dosis dan jenis obat harus disesuaikan dengan tingkat kerusakan ginjal.[1-4]

Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan dengan prognosis yang buruk. Dampak utamanya adalah menurunnya fungsi ginjal dan berkembangnya penyakit kardiovaskular. Dampak ini dapat dicegah atau dihambat melalui deteksi dini dan terapi adekuat.[1-3]

Memilih Golongan Antihipertensi pada PGK

Hipertensi merupakan penyebab dan juga komplikasi dari penyakit ginjal kronis. Lebih dari 50– 75 % pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki tekanan darah di atas 140/90 mmHg. Selain itu, hipertensi merupakan faktor risiko dari penyakit ginjal dan kardiovaskular. Tujuan terapi antihipertensi pada penyakit ginjal kronis adalah untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, dan memperlambat progresivitas disfungsi ginjal.[1,2]

Hipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (eGFR) < 60 ml/min/1.73 m2 atau kerusakan ginjal yang diindikasikan dengan proteinuria durasi ≥ 3 bulan. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) memiliki angka kejadian hingga 30% pada populasi umum dan hingga 90% pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.

Hipertensi merupakan penyebab dan efek dari penyakit ginjal kronis, yang juga berkontribusi pada progresifitasnya. Selain itu, hipertensi dan penyakit ginjal kronis merupakan faktor risiko independen untuk munculnya penyakit kardiovaskular.[2]

Beberapa mekanisme berperan pada hipertensi pasien penyakit ginjal kronis. Peningkatan tonus simpatis, upregulation dari renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), peningkatan sensitivitas garam, disfungsi endotel, peningkatan kekakuan arteri, peningkatan metabolik oksidatif merupakan beberapa di antaranya.[2,4,6]

Tidak semua pasien penyakit ginjal kronis memiliki target tekanan darah yang sama. Rekomendasi target terbaru tekanan darah ≤ 140/90 mmHg didukung oleh meta analisis dengan total 2272 subjek. Sementara itu, pada subgrup pasien dengan albuminuria > 30 mg/24 jam dinyatakan target TD ≤ 130/80 lebih bermanfaat pada pasien. Konsep terapi individual dengan stratifikasi tekanan darah tidak hanya berdasarkan pada usia dan tingkat keparahan albuminuria tapi juga ada tidaknya penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung.[4]

Basis Bukti Perbandingan Efikasi Golongan Antihipertensi

Modifikasi gaya hidup yang dikombinasikan dengan terapi farmakologis dibutuhkan untuk mencapai target tekanan darah pada pasien penyakit ginjal kronis.[5-7]

Calcium Channel Blocker vs RAAS Blocker

Sebuah meta analisis membandingkan calcium channel blocker (CCB), seperti amlodipine, dan RAAS blocker, seperti ACE inhibitor dan ARB. Meta analisis ini melibatkan 21 uji klinis dengan total 9.492 pasien. Analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna perubahan tekanan darah, kematian, gagal jantung, stroke atau kejadian serebrovaskular, dan fungsi ginjal antara grup CCB dan RAAS blocker pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 3 hingga 5D.[5]

ACE Inhibitor vs Angiotensin II Receptor Blocker

Meta analisis lain menyelidiki efek relatif dari angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, seperti captopril, dan angiotensin II receptor blockers (ARB), seperti valsartan, pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Studi ini melakukan analisis meta-jaringan Bayesian terhadap 119 uji klinis acak dengan total 64.768 partisipan.

Hasil studi menunjukkan bahwa baik ACE inhibitors maupun ARB mengurangi risiko kegagalan ginjal dan kejadian kardiovaskular mayor dibandingkan dengan plasebo atau kontrol aktif lain. ACE inhibitors juga terkait dengan penurunan risiko kematian berbagai penyebab, sedangkan ARB tidak menunjukkan pengaruh signifikan. Lebih lanjut, dibandingkan dengan ARB, ACE inhibitors secara konsisten terkait dengan probabilitas yang lebih tinggi dalam mengurangi risiko kegagalan ginjal, kematian kardiovaskular, atau kematian berbagai penyebab.[7]

Efikasi Antagonis Aldosteron

Tinjauan Cochrane mengevaluasi efek antagonis aldosteron seperti spironolactone pada pasien dewasa dengan penyakit ginjal kronis  yang mengalami proteinuria. Sebanyak 44 studi dengan 5745 partisipan diikutsertakan dalam penelitian ini.

Meskipun hasil penelitian menunjukkan ketidakpastian efek antagonis aldosteron terhadap risiko kematian, kejadian kardiovaskular mayor, dan kegagalan ginjal pada pasien dengan proteinuria, ditemukan bahwa penggunaan antagonis aldosterone dapat mengurangi proteinuria, menurunkan eGFR, serta tekanan darah sistolik. Namun demikian, penambahan golongan obat ini juga dapat meningkatkan risiko efek samping seperti hiperkalemia, cedera ginjal akut, dan ginekomastia.[12]

Pemilihan Golongan Antihipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis Menurut Pedoman Klinis

Pemilihan golongan obat antihipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis mengutamakan RAAS blocker, termasuk ACE inhibitors dan ARB, serta CCB dan diuretik. ACEi dan ARB dianggap sebagai pilihan utama, terutama pada mereka yang mengalami albuminuria. Beberapa penelitian menunjukkan efek menguntungkan dari ACEi, seperti ramipril, dalam melambatkan penurunan eGFR pada pasien proteinuria. Namun, kombinasi ACEi dan ARB tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko cedera ginjal akut dan hiperkalemia.

Untuk pilihan kedua antihipertensi, masih terdapat kurangnya konsensus. Dihydropyridine CCB, seperti amlodipine, umum digunakan sebagai tambahan pada ACEi atau ARB karena kemampuan sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Nondihydropyridine CCB, seperti verapamil dan diltiazem, juga memiliki efek antiproteinuria yang lebih kuat dan dapat menjadi pilihan untuk pasien dengan proteinuria meskipun sudah mendapat dosis maksimal ACEi atau ARB.

Diuretik juga dianggap sebagai pilihan terapi kedua, terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hipervolemia. Meskipun sebelumnya dianggap kurang efektif pada eGFR yang rendah, diuretik thiazide tetap dapat menjadi pilihan pada pasien stadium lanjut.

Studi juga menunjukkan bahwa penambahan chlorthalidone pada antihipertensi tradisional dapat mengurangi tekanan darah sistolik pada pasien stadium 4. Chlorthalidone dan indapamide diutamakan dibandingkan hydrochlorothiazide karena waktu paruh yang lebih lama dan potensi yang lebih tinggi, sehingga dosis obat dapat disesuaikan dengan penurunan eGFR.[8-10,13]

Tabel 1. Rekomendasi Antihipertensi pada Penyakit Ginjal Kronis

Panduan Target Tekanan Darah Terapi Lini Pertama Terapi Lini Kedua Terapi Lini Ketiga Terapi Lini Keempat
ACC/AHA <130/80 mmHg ACEI/ ARB pada pasien albuminuria sangat tinggi CCB atau diuretik Diuretik atau CCB Spironolactone
ESH/ESC Sistolik <140 mmHg, hingga <130 mmHg bila ditoleransi Kombinasi ACEI / ARB + CCB atau diuretik Kombinasi ACEI / ARB + CCB+ Diuretik Spironolactone
ISH

<130/80 mmHg

atau

<140/90 mmHg pada lansia

ACEI / ARB CCB atau diuretik Diuretik atau CCB Spironolactone
ESC 2021 Sistolik <140 mmHg, hingga <130 mmHg bila ditoleransi Kombinasi ACEI / ARB + CCB atau diuretik Kombinasi ACEI / ARB + CCB+ Diuretik Spironolactone
KDIGO 2021 Sistolik <120 mmHg bila ditoleransi ACEI / ARB pada pasien albuminuria sangat tinggi

Sumber: dr. IB Komang Arjawa, Sp.JP, Alomedika, 2023.[9-11]

Penelitian pada pasien penyakit ginjal kronis diabetik dan non diabetik mengindikasikan bahwa ACE inhibitor atau ARB menjadi pilihan terapi pertama pada pasien yang mengalami hipertensi, terutama pada pasien dengan albuminuria sedang hingga berat. Agen terapi tersebut menurunkan proteinuria, menurunkan progresivitas penurunan eGFR, dan menurunkan risiko peningkatan serum kreatinin atau keperluan dialisis. ACEI atau ARB harus diberikan pada dosis maksimal yang bisa ditoleransi untuk mencapai proteksi renal optimal.[10]

Pada individu normoalbuminuria, ACEi atau ARB dapat menunda progresivitas menjadi albuminuria berat bila dibandingkan dengan placebo. Meski begitu, belum ada kesimpulan apakah golongan ini dapat menjaga fungsi ginjal lebih baik dibandingkan antihipertensi jenis lain pada populasi normoalbuminuria.

Selain itu, terdapat studi yang mengindikasikan bahwa intensifikasi kontrol tekanan darah dengan target mean arterial pressure (MAP) 24 jam di bawah persentil 50 dibandingkan dengan kontrol tekanan darah standar (MAP persentil 50-99) menggunakan antihipertensi apapun menghasilkan perbaikan progresivitas penyakit ginjal tanpa efek samping yang lebih besar.[9,11]

Kesimpulan

Secara garis besar, pada pasien penyakit ginjal kronis dengan hipertensi, RAAS blocker seperti ACE inhibitors dan angiotensin receptor blockers (ARB) dianggap sebagai obat antihipertensi pilihan pertama, terutama pada pasien dengan albuminuria. Di sisi lain, belum ada konsensus yang jelas untuk pilihan antihipertensi lini kedua, tetapi secara umum dapat digunakan calcium channel blocker dan diuretik.

Studi menunjukkan bahwa intensifikasi kontrol tekanan darah memberikan manfaat pada progresivitas penyakit ginjal. Selain itu, penambahan antagonis aldosteron seperti spironolactone dapat memberikan efek positif pada penurunan proteinuria, perbaikan eGFR, dan tekanan darah sistolik, meskipun ada risiko efek samping seperti hiperkalemia, cedera ginjal akut, dan ginekomastia.

Secara keseluruhan, pemilihan antihipertensi pada pasien penyakit ginjal kronis harus mempertimbangkan profil klinis individual pasien, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti tingkat albuminuria, status kardiovaskular, dan toleransi pasien terhadap obat-obatan.

Referensi