Penggunaan Pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Sufentanil
Penggunaan sufentanil pada kehamilan memerlukan pengawasan klinis dan hanya diberikan apabila manfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko pada janin. Belum diketahui apakah sufentanil dieksresikan pada ASI atau tidak, sehingga penggunaannya pada ibu menyusui harus memperhatikan kondisi klinis ibu dan kemungkinan efek samping pada bayi. [5,7,8]
Penggunaan pada Kehamilan
Penggunaan sufentanil pada kehamilan masuk dalam kategori C FDA. Artinya, studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin. [5]
Hingga saat ini belum ada penelitian yang cukup untuk menunjukkan efek pada janin. Penelitian yang dilakukan pada kelinci menunjukkan pemberian sufentanil secara intravena dengan dosis 4,4 kali dosis maksimal manusia pada usia gestasi 6 hingga 18 hari dapat memberikan efek letal pada embrio dan toksisitas pada ibu. Namun pemberian dengan dosis di bawah dosis tersebut tidak menyebabkan efek teratogenik pada tikus maupun kelinci.
Penggunaan sufentanil berkepanjangan dilaporkan dapat menyebabkan sindrom putus obat pada neonatus atau neonatal opioid withdrawal syndrome yang umumnya dijumpai pada 24-96 jam pasca kelahiran, walaupun pada beberapa kasus gejala dapat ditemukan setelah usia bayi 2 minggu. Kondisi ini ditandai dengan gejala hiperaktivitas, rewel, pola tidur yang abnormal, tangisan dengan nada tinggi, tremor, muntah, diare, dan sulit naik berat badan. [5,8,15]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Ekskresi sufentanil ke ASI hingga saat ini belum diketahui secara pasti sehingga penggunaanya harus mempertimbangkan kondisi klinis ibu dan potensi efek samping yang ditimbulkan pada bayi.
Sufentanil berpotensi diekskresikan ke ASI, karena strukturnya yang mirip dengan fentanil. Oleh karena itu, penggunaanya perlu pengawasan, terutama terhadap efek sedasi dan depresi napas yang dapat timbul pada bayi.
Penggunaan berkepanjangan oleh ibu juga dapat meningkatkan risiko gejala putus obat pada bayi yang mendapatkan ASI dari ibu yang mengkonsumsi obat. Gejala dapat timbul ketika ibu berhenti mengkonsumsi obat atau konsumsi ASI dihentikan terhadap bayi. [5,7,8]