Farmakologi Morfin
Secara farmakologi, morfin adalah opioid dengan potensi tinggi yang bekerja pada sistem saraf pusat sebagai agonis reseptor mu. Efek pemberian morfin adalah untuk meredakan nyeri, namun toleransi dan ketergantungan dari morfin dapat terjadi secara cepat. Morfin juga memiliki potensi tinggi menyebabkan adiksi.[3]
Farmakodinamik
Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor mu. Reseptor ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor mu dapat ditemukan di amigdala posterior, hipotalamus, talamus, nukleus kaudatus, dan saraf tulang belakang. Reseptor mu juga dapat ditemukan di jaringan vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan saluran pencernaan.
Morfin digunakan untuk pengelolaan nyeri hebat, analgesia pra dan pasca operasi,juga untuk kontrol nyeri dari angina pektoris atau infark miokard akut.[3]
Efek Morfin di Sistem Saraf
Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada saraf pusat, seperti inhibisi transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik, depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis.
Mekanisme kerja morfin secara molekuler masih belum sepenuhnya dipahami. Aktivasi reseptor opioid diperkirakan mencetuskan coupling atau penggabungan protein G. Hal ini akan menyebabkan inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal ion K+, serta aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β (PLCβ). Menutupnya kanal ion Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps. Di lain pihak, pembukaan kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat neuron postsinaps. Mekanisme inilah yang diperkirakan menyebabkan efek morfin, termasuk efek analgesik.
Efek Morfin di Luar Sistem Saraf
Selain pada saraf pusat, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang ditimbulkan berupa spasme sfingter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot polos sistem kemih dapat terjadi spasme.
Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin mampu menghambat sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan luteinizing hormone (LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat, misalnya prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon.[3,4]
Farmakokinetik
Morfin diabsorpsi dalam lingkungan basa dari usus bagian atas dan mukosa rektal. Morfin mengalami metabolisme ekstensif di hati. Rute eliminasi utama morfin adalah melalui urine dan sebagian kecil melalui feses.
Absorpsi
Morfin diabsorbsi dengan baik pada saluran cerna, terutama pada lingkungan basa di usus dan mukosa rekti. Rute absorpsi melalui oral, intravena, subkutan, dan intramuskular. Makanan meningkatkan absorbsi morfin sulfat dalam preparat konvensional.
Morfin akan mengalami metabolisme lintas pertama secara signifikan, dan dibutuhkan 6 kali dosis oral untuk mencapai ekuivalen dosis parenteral. Bioavailabilitas morfin adalah 80-100% dan akan mencapai kadar puncak dalam 24-48 jam.[3,7]
Distribusi
Volume distribusi morfin adalah 5,31 L/kg. Morfin didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh, terutama pada ginjal, hati, paru, dan limfa. Morfin menembus sawar darah plasenta dan otak. Ikatan terhadap protein plasma adalah 35%.[3,7]
Metabolisme
Morfin dimetabolisme pada hati dan usus. Metabolisme fase 1 diperantarai oleh CYP2D6 secara N-demetilasi oksidatif. Metabolisme fase 2 terjadi secara konjugasi membentuk konjugat glukoronida. Metaboli utama dari morfin adalah morphine-6-glucuronide and morphine-3-glucuronide.[3]
Eliminasi
Eliminasi morfin utamanya terjadi pada urine. Sekitar 70-80% morfin dieksresikan dalam 48 jam. 2-10% dalam bentuk tidak terkonjugasi. Sebanyak 7-10% morfin dieliminasi melalui feses. Waktu paruh eliminasi adalah 2 jam.[3,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono