Pengawasan Klinis Morfin
Pengawasan klinis penggunaan morfin mencakup tanda dan gejala efek samping signifikan, serta risiko penyalahgunaan obat.
Efek Samping Signifikan
Penggunaan morfin dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat (termasuk depresi napas), hipotensi ortostatik, hipotensi berat, sinkop, serta reaksi hipersensitivitas fatal seperti anafilaksis. Risiko ini meningkat pada pasien anak, geriatri, gangguan fungsi ginjal dan hepar, serta pasien yang mengonsumsi obat lain dengan efek depresi sistem saraf pusat. Contoh agen depresan sistem saraf pusat adalah diazepam, alprazolam, alkohol, dan opioid lain seperti codeine.
Sindrom serotonin dapat terjadi jika morfin digunakan bersama dengan obat serotonergik. Contoh dari obat golongan ini adalah paroxetine, citalopram, dan duloxetine.[4,7,8]
Risiko Penyalahgunaan Obat
Morfin adalah obat psikoaktif analgesik opiat yang sangat poten. Morfin memiliki potensi adiksi yang tinggi. Awasi tanda dan gejala penyalahgunaan opioid, serta lakukan evaluasi berkala risiko penyalahgunaan obat.[1,2,4]
Neonatal Abstinence Syndrome
Penggunaan pada kehamilan dapat memberi efek buruk pada neonatus. Neonatal abstinence syndrome yang ditandai dengan iritabilitas, kesulitan menyusui, menangis keras, tremor, dan keterlambatan pertumbuhan dapat timbul. Kondisi ini berpotensi fatal.[4]
Overdosis Morfin
Pasien yang mengalami overdosis morfin bisa menunjukkan gejala depresi pernapasan, penurunan kesadaran, kelemahan otot rangka, kulit dingin dan lembab, serta konstriksi pupil. Pada beberapa kasus, pasien bisa mengalami edema paru, bradikardia, hipotensi, obstruksi jalan napas, hingga kematian.
Tindakan yang pertama dilakukan pada pasien overdosis morfin adalah menjaga patensi jalan napas. Berikan suplementasi oksigen bila perlu. Pasien dapat diberikan naloxone sebagai antagonis spesifik dengan dosis 0,4 hingga 2 mg secara intravena. Pemberian dapat diulang setiap 2-3 menit apabila dibutuhkan, namun tidak melebihi 10 mg.
Pada pasien dengan riwayat opioid use disorder, gunakan naloxone dalam dosis lebih rendah sebesar 0,1 hingga 0,2 mg dan dititrasi bertahap sambil melihat perbaikan klinis. Penggunaan naloxone dosis tinggi pada pasien dengan ketergantungan opioid berpotensi menyebabkan gejala putus zat.[3,4,15]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono