Indikasi dan Dosis Morfin
Indikasi morfin adalah untuk meredakan nyeri yang tidak bisa diatasi dengan analgesik nonnarkotik. Hal ini mencakup kondisi pre dan pasca operasi, infark miokard, dan nyeri pada pasien kanker.
Perlu diperhatikan bahwa morfin sangat poten dan berisiko tinggi menyebabkan adiksi. Penggunaan morfin yang berkepanjangan selama kehamilan dapat menyebabkan neonatal abstinence syndrome yang berpotensi mengancam nyawa jika tidak segera dikenali dan diatasi.[2,3]
Pengelolaan Nyeri
Morfin dapat digunakan pada pasien dengan nyeri hebat atau nyeri yang tidak hilang dengan analgesik nonnarkotik. Kasus nyeri tersebut dapat ditemukan pada pasien dengan angina pektoris atau infark miokard akut, serta pasien yang menjalani pembedahan terbuka.
Morfin hanya disarankan digunakan pada pasien dewasa. Hal ini karena efikasi dan keamanan pada populasi berusia di bawah 18 tahun masih belum didukung bukti ilmiah adekuat.[3,4,9]
Penentuan Dosis
Pemilihan regimen dosis morfin harus disesuaikan berdasarkan kasus klinis masing-masing pasien, dengan mempertimbangkan riwayat pengobatan analgesik sebelumnya. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
- Dosis harian total, potensi, dan karakteristik spesifik opioid yang telah dikonsumsi sebelumnya
- Tingkat toleransi opioid pasien
- Kondisi umum dan status medis pasien
- Obat-obat lain yang sedang digunakan pasien
- Jenis dan tingkat keparahan nyeri
- Faktor risiko penyalahgunaan dan adiksi
Lakukan evaluasi berkala terhadap kontrol nyeri dan kebutuhan penggunaan analgesik opioid berkelanjutan. Jika akan dilakukan perubahan dosis, lakukan titrasi dan pemantauan lebih ketat.[4,10]
Dosis pada Pasien yang Belum Pernah Mendapat Opioid
Pada pasien yang belum pernah mendapat opioid, morfin dapat diberikan dalam dosis 15-30 mg per oral. Pemberian dilakukan sesuai dengan tingkat nyeri dan respon klinis pasien, yaitu bisa sesering 4 jam sekali.[4]
Jika diberikan intravena, dosis yang dapat digunakan adalah 0,1 hingga 0,2 mg/kg setiap 4 jam atau sesuai kebutuhan.
Jika diberikan intraspinal, dosis awal yang digunakan adalah 5 mg, dengan peningkatan dosis 1-2 mg setiap jam hingga 10 mg/24 jam apabila belum mendapat respon yang diinginkan.
Dosis intrathecal berkisar antar 0,2 mg hingga 1 mg dosis tunggal dalam 24 jam.[7,11,12]
Konversi dari Obat Parenteral ke Oral
Untuk konversi dari morfin parenteral ke oral, perlu diingat bahwa sekitar 3-6 mg morfin oral umumnya diperlukan untuk menghasilkan efek analgesik yang setara dengan 1 mg morfin parenteral. Lebih baik untuk memulai dari dosis terendah untuk menghindari risiko overdosis yang fatal.[4,7]
Konversi dari Tablet Konvensional ke Tablet Lepas Lambat
Morfin tersedia dalam dosis yang sama, namun konversi dosis ekuivalen pada sediaan lepas lambat bisa menyebabkan sedasi berlebihan. Hal ini diakibatkan karena peningkatan konsentrasi plasma. Perlu dilakukan pemantauan terhadap depresi napas dan sedasi.[4]
Konversi Morfin ke Opioid Lain
Konversi morfin ke opioid lain, seperti codeine, membutuhkan penghitungan khusus. Faktor konversi dikalikan dengan dosis untuk menentukan dosis konversi. Opioid lain harus dihentikan ketika memulai morfin.[13,14]
Tabel 1. Konversi Morfin dengan Opioid Lain
Opioid | Faktor Konversi |
Codeine | 0,15 |
Hidrokodon | 1 |
Methadone 1-20 mg/hari 21-40 mg/hari 41-60 mg/hari ≥61-80 mg/hari |
4 8 10 12 |
Oksikodon | 1,5 |
Oxymorphone | 3 |
Morfin | 1 |
Sumber: dr. Adrian Prasetio, 2022.[13,14]
Penghentian Terapi
Klinisi harus mengevaluasi manfaat dari morfin setiap 1-4 minggu pasca memulai terapi. Apabila manfaat tidak melebihi risiko, maka disarankan mengganti kepada terapi lain dan menghentikan dosis morfin. Penghentian terapi dari morfin membutuhkan penurunan dosis berkala terutama pada pasien yang dependen terhadap morfin.
Umumnya penurunan dosis adalah 25-50% setiap 2-4 hari sambil memantau gejala putus zat. Apabila muncul gejala putus zat, maka tingkatkan dosis ke dosis awal sebelum kemunculan gejala putus zat dan turunkan dosis lebih perlahan.[4]
Patient-controlled Analgesia
Morfin juga dapat diberikan dalam bentuk patient-controlled analgesia, misalnya pada kasus nyeri kanker atau pasien pasca pembedahan terbuka. Dosis awal yang diberikan adalah loading 1-10 mg intravena bolus lambat selama 4-5 menit. Kemudian dapat diberikan tambahan 1 mg sesuai permintaan pasien, dengan jeda antar dosis 5-10 menit. Dosis maksimal untuk pasien yang tidak pernah mendapatkan opioid adalah 10 mg/jam. Pada pasien yang sudah pernah mendapat opioid, dosis maksimal adalah 30 mg/jam.[7,11]
Modifikasi Dosis
Modifikasi dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.
Gangguan Fungsi Hati
Pemberian morfin pada pasien dengan gangguan fungsi hati, terutama gangguan fungsi yang berat pada sirosis membutuhkan kehati-hatian. Pada penelitian terdapat penurunan klirens obat dan peningkatan waktu paruh. Direkomendasikan memulai terapi dari dosis kecil dan dititrasi bertahap.[11,13]
Gangguan Fungsi Ginjal
Pemberian morfin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal membutuhkan kehati-hatian. Pada penelitian terdapat penurunan klirens dan akumulasi metabolit morfin. Direkomendasikan memulai terapi dari dosis kecil dan dititrasi bertahap.[11,13]
Overdosis
Overdosis morfin adalah sebuah kondisi kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan segera. Gejala overdosis adalah depresi napas, penurunan kesadaran, kelemahan otot skeletal, kulit dingin, miosis, dan kemudian midriasis pada overdosis berat. Apabila gejala overdosis tidak ditangani cepat, pasien bisa mengalami edema paru, bradikardia, hipotensi, henti jantung dan kematian. Kadar toksik morfin adalah 10-100 ug/dL, sedangkan konsentrasi melebihi 400 ug/dL akan menyebabkan kematian.[8,15]
Pada overdosis akut, tindakan pertama adalah menjaga patensi jalan napas dan suplementasi oksigen bila perlu. Pasien dapat diberikan naloxone sebagai antagonis spesifik dengan dosis 0,4 hingga 2 mg secara intravena, bisa diulang setiap 2-3 menit apabila dibutuhkan, namun tidak melebihi 10 mg.
Pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan opioid kronis, gunakan naloxone dalam dosis rendah, 0,1 hingga 0,2 mg dan dititrasi bertahap sambil melihat perbaikan dari depresi napas. Penggunaan naloxone dosis tinggi pada pasien dengan ketergantungan opioid berpotensi menyebabkan gejala putus zat.[3,15]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono