Diagnosis Alergi Makanan
Diagnosis alergi makanan dicurigai berdasarkan riwayat klinis pasien. Pada anamnesis, tanyakan karakteristik makanan alergen, rute paparan, dan faktor pencetus lainnya. Manifestasi klinis alergi makanan dapat terlihat pada sistem pencernaan, seperti mual dan muntah, pada sistem pernapasan, seperti sesak napas, dan pada kulit, misalnya urtikaria. Gejala sistemik, seperti reaksi anafilaksis, juga dapat terjadi.
Baku emas untuk mendiagnosis alergi makanan adalah dengan pemeriksaan food challenge, yang harus dilakukan di bawah pengawasan dokter.
Anamnesis
Anamnesis pada kecurigaan alergi makanan diperlukan untuk mengenali bahan makanan penyebab, rute paparan, misalnya oral, inhalasi, atau kulit, dan gejala yang muncul.[5,6]
Sebaiknya, dokter meminta pasien untuk menyebutkan atau mendata semua jenis makanan yang dicurigai menyebabkan gejala muncul, serta cara penyajian makanan tersebut, misalnya dimasak, mentah, serta bumbu-bumbu dan bahan lain yang dipakai. Tanyakan juga berapa banyak jumlah makanan yang dapat menimbulkan gejala. Perlu dipastikan, apakah gejala berulang setiap kali mengonsumsi makanan yang sama.[4,5]
Gejala apa saja yang muncul saat alergi, seberapa berat gejala, serta apa terapi yang diberikan dan bagaimana respon terhadap terapi juga perlu diketahui oleh dokter. Berapa lama sejak kejadian alergi makanan terakhir juga perlu ditanyakan.[1,4,5]
Selain itu, dokter perlu menanyakan tentang faktor-faktor lain yang mungkin berperan dalam terjadinya alergi makanan, misalnya olahraga, konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti aspirin atau ibuprofen, dan riwayat konsumsi alkohol. Riwayat atopi pada keluarga, seperti dermatitis, asma, dan rhinitis alergi, serta riwayat keluarga dengan alergi makanan juga perlu digali.[4,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengetahui status gizi dan parameter pertumbuhan untuk mencari bukti adanya malnutrisi. Periksa juga tanda penyakit alergi lainnya, misalnya dermatitis atopik, rinitis alergi, atau asma.[4,5]
Manifestasi Klinis Alergi Makanan
Manifestasi klinis alergi makanan yang dimediasi oleh IgE dapat berupa urtikaria pada kulit, gejala pernapasan, seperti bronkospasme, serta reaksi sistemik, misalnya anafilaksis. Pada alergi makanan yang tidak dimediasi IgE, manifestasi klinis dapat berupa dermatitis atopik dan asma.
Manifestasi Klinis Alergi Makanan Dimediasi IgE
Pada alergi makanan yang dimediasi IgE, manifestasi klinis yang dapat terjadi, antara lain pada:
- Kulit, yaitu berupa urtikaria, pruritus, eritema, serta angioedema akut, biasanya pada wajah, bibir, dan sekitar mata
- Sistem pencernaan, seperti pruritus oral, rasa tidak nyaman di tenggorokan, nausea, muntah, kolik abdomen, dan diare
- Sistem pernapasan, yang berupa bronkokonstriksi, dispnea, edema laring/stridor, batuk, wheezing, rhinorrhea, bersin-bersin, dan produksi mukus
- Gejala lain, seperti reaksi anafilaksis dan reaksi alergi sistemik lainnya, misalnya hipotensi, aritmia, takikardia, dan kebocoran plasma[1,16]
Manifestasi Klinis Alergi Makanan Tidak Dimediasi IgE
Alergi makanan tidak dimediasi IgE juga bermanifestasi pada kulit, tetapi lebih sering didapatkan dalam bentuk dermatitis atopik, dermatitis kontak, atau dermatitis herpetiformis. Pada saluran pernapasan, gejala yang dijumpai terutama berupa gejala-gejala asma.[1]
Pada saluran pencernaan, gejala yang terjadi lebih spesifik sesuai dengan penyakit yang timbul. Pada esofagitis eosinofilik, dapat terjadi gastro-oesophageal reflux yang terjadi tiba-tiba, disfagia, menghindari makanan tertentu (food aversion), dan striktur esofagus. Pada proctocolitis, dapat dijumpai perdarahan rektum, misalnya setelah diberikan protein susu sapi. Pada sindrom enterocolitis, dapat terjadi muntah-muntah.[1,5]
Berbeda dengan alergi makanan yang dimediasi IgE, pada alergi makanan tidak dimediasi IgE biasanya jarang menyebabkan gejala pada sistem kardiovaskular maupun sistemik.[1,5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding alergi makanan dapat berbeda-beda tergantung gejala yang muncul.
Intoleransi Makanan
Intoleransi makanan berbeda dengan alergi makanan. Intoleransi makanan yang paling umum ditemukan adalah intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa memiliki gejala yang dapat menyerupai alergi makanan, seperti diare, perut kembung, nyeri abdomen, nausea, dan borborygmi. Intoleransi laktosa terjadi akibat defisiensi enzim laktase, sehingga tidak dapat mencerna laktosa, sedangkan alergi makanan, misalnya alergi susu, merupakan reaksi sistem imun. Alergi susu dapat bersifat mengancam nyawa dan biasa muncul sejak bayi, sedangkan intoleransi laktosa biasa terjadi pada remaja atau dewasa muda.[6,17]
Gastroesophageal Reflux Disease
Gastroesophageal reflux disease (GERD) memiliki gejala disfagia, regurgitasi, rasa terbakar di dada, serta dapat disertai dengan riwayat nausea dan muntah. Beberapa gejala GERD serupa dengan alergi makanan. Namun, pada GERD gejala dapat dicetuskan oleh berbagai makanan, seperti makanan pedas, kopi, bawang, alkohol, dan peppermint. Konfirmasi diagnosis GERD perlu dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas.[18]
Urtikaria Akibat Penyebab Lain
Selain karena alergi makanan, urtikaria akut dapat disebabkan oleh penyebab lain. Untuk membedakannya, pada anamensis perlu dipastikan adanya paparan terhadap alergen makanan, dan bukan akibat obat, kontak fisik, atau gigitan serangga.[4,5]
Pemeriksaan Penunjang
Penegakkan diagnosis alergi makanan dilakukan dengan pemeriksaan food challenge, yang harus dilakukan dalam pengawasan dokter. Pemeriksaan penunjang juga berguna untuk mengetahui jenis alergen. Selain food challenge, terdapat juga beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan.
Food Challenge
Pemeriksaan food challenge dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis alergi makanan, juga dapat dilakukan bila dokter menduga alergi makanan membaik atau telah sembuh. Beberapa makanan, seperti susu dan telur, tidak begitu allergenic jika dipanaskan, misalnya dipanggang menjadi kue atau roti. Food challenge dapat dilakukan untuk memastikan apakah pasien dapat mengonsumsi bahan makanan dalam bentuk masakan tersebut.
Mengingat kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis, tes ini harus diawasi oleh dokter. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien mengonsumsi jenis makanan yang dicurigai menimbulkan alergi dalam porsi sedikit . Kemudian, pasien dipantau dengan ketat selama 10–30 menit. Jika tidak ada reaksi, maka berikan porsi yang lebih besar. Hal ini dilakukan selama 90 menit. Jika gejala alergi muncul, tes dihentikan dan pasien segera diterapi.[4,5,16]
Catatan Harian Mengenai Makanan Pasien
Catatan makanan pasien atau biasa disebut sebagai food diary, dibuat oleh pasien atau orang tua dengan mencatat makanan yang dimakan dan gejala yang muncul. Metode ini merupakan cara sederhana untuk menyelidiki makanan penyebab alergi.
Gejala alergi terkadang tidak langsung muncul (delayed) sehingga alergen sulit dikenali, dan alergi tidak hanya bergantung pada jenis makanan, melainkan juga dipengaruhi jumlah, cara pengolahan, dan jenis makanan atau bumbu tambahan. Hal-hal tersebut tidak dapat diidentifikasi melalui catatan harian ini.[4,5,8]
Pemeriksaan Jumlah Eosinofil Dan IgE
Pemeriksaan ini menggunakan sampel serum, namun pemeriksaan ini kurang spesifik terhadap alergi makanan. Jumlah eosinofil dan IgE yang abnormal belum tentu menandakan terjadi alergi. Sebaliknya, hasil yang normal tidak mengeksklusi alergi. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan perlu disesuaikan dengan klinis pasien.[4,5,8]
Eliminasi Diet
Metode ini bertujuan untuk menegakkan diagnosis sekaligus sebagai terapi. Pasien menghindari jenis makanan yang diduga memicu alergi selama 7–14 hari. Jika gejala masih muncul, hal serupa diulang dengan menghindari jenis makanan lain yang juga dicurigai menyebabkan alergi (trial and error), hingga penyebab alergi ditemukan.
Selain cara di atas, tes ini dapat diawali dengan memberikan beberapa jenis makanan yang jarang menyebabkan alergi. Jika tidak ditemukan gejala setelah 1 minggu, menu makanan pasien dapat ditambah jenis makanan baru. Hal ini diulang terus-menerus, hingga ditemukan makanan penyebab alergi pada pasien.[4,5,8]
Pemeriksaan Kulit
Skin prick test merupakan metode skrining yang umum digunakan. Positive predictive value pemeriksaan ini kurang dari 50% dan negative predictive value mencapai 90%. Hasil pemeriksaan perlu disesuaikan lagi dengan keadaan klinis pasien.
Tes kulit lain yang dapat dilakukan adalah tes intradermal dan uji tempel (patch test). Namun, skin prick test lebih dipilih karena lebih jarang menyebabkan efek sistemik dibandingkan tes intradermal, dan hasilnya lebih bermakna dibandingkan patch test.[4,5,8]
Pemeriksaan Antibodi IgE Spesifik
Pemeriksaan ini menggunakan sampel serum. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui alergen penyebab alergi.
Jenis makanan yang dapat diperiksa adalah daging, seperti ayam, babi, dan sapi, gandum, nasi, makanan laut bercangkang, seafood, jamur, kacang, tomat buah, seperti jeruk, kelapa, stroberi, pisang, telur, coklat, serta susu soya dan susu sapi.
Tidak semua jenis makanan dapat diperiksa melalui tes ini. Selain itu, tes ini hanya dapat dilakukan di kota-kota besar karena tidak tersedia di seluruh bagian Indonesia. Hasil yang positif menandakan adanya sensitisasi terhadap alergen tertentu dan belum pasti alergen tersebut menyebabkan gejala klinis pada pasien.[4,5,8]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra