Diagnosis Erupsi Obat
Diagnosis erupsi obat (drug eruption) ditegakkan berdasarkan gejala, riwayat penggunaan obat, dan manifestasi kulit yang muncul. Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan penunjang tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis erupsi obat.[1]
Erupsi obat dibagi menjadi erupsi obat ringan dan berat. Erupsi obat ringan terdiri dari urtikaria, erupsi eksantematosa, erupsi purpura, fixed drug eruption (FDE), eritema nodosum, eritema multiforme, lupus, dan erupsi likenoid. Sedangkan erupsi obat berat dibagi menjadi pustular eksantema generalisata akut (PEGA), eritroderma, sindrom Stevens Johnson (SJS), toxic epidermal necrolysis (TEN), dan drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS).[1]
Anamnesis
Anamnesis menitikberatkan pada awitan muncul manifestasi, jenis manifestasi yang muncul, keluhan sistemik, lokasi predileksi, riwayat atopi, dan riwayat penggunaan obat. Penggunaan obat yang berbeda dapat menyebabkan manifestasi yang berbeda pula.[4]
Saat menanyakan penggunaan obat, tanyakan secara detail mengenai jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, runtutan pemberian, pengaruh paparan matahari, atau kontak obat pada kulit yang terbuka seperti erosi, ekskoriasi, dan ulkus. Tanyakan juga jarak antara pemberian obat dengan timbulnya kelainan kulit.[1]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada erupsi kulit berupa inspeksi pada lesi kulit yang muncul. Lesi yang muncul sangat bervariasi dengan etiologi yang berbeda pula:
Urtikaria
Urtikaria dapat disertai atau tanpa angioedema. Muncul pulau-pulau urtika dengan ukuran bervariasi, yang umumnya muncul secara akut setelah penggunaan obat. Kemungkinan obat penyebab antara lain penicillin; obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti asam mefenamat; sulfonamid seperti sulfadiazine dan sulfasalazine; opioid; dan salisilat. Angioedema sering timbul pada penggunaan golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) seperti captopril; serta angiotensin receptor blocker (ARB) seperti valsartan.[4]
Eksantematosa
Lesi tampak morbiliformis, makulopapular, dan terdapat tanda reaksi eksantematosa. Dapat terjadi pada bagian tengah tubuh 7-10 hari setelah mulai mengonsumsi obat, lalu menyebar ke ekstremitas. Dapat pula disertai demam. Eksantematosa merupakan bentuk erupsi obat yang paling sering terjadi. Kemungkinan obat penyebab antara lain antibiotik terutama kotrimoksazol dan ampicillin, sulfonamid, furosemide, sulfonilurea, dan barbiturat.[4]
Erupsi Purpura
Erupsi purpura disebut juga vaskulitis alergi. Lesi umumnya bermanifestasi sebagai papul purpura 2-3mm, terutama pada ekstremitas inferior. Kemungkinan obat penyebab adalah sulfonamid, phenytoin, dan propiltiourasil.[4]
Fixed Drug Eruption (FDE)
Lesi fixed drug eruption umumnya berbentuk plak eritematosa bulat atau ireguler yang perlahan menjadi hiperpigmentasi. Lesi bisa saja hanya satu atau multipel. Lesi selalu muncul di tempat yang sama saat obat kembali dikonsumsi. Hiperpigmentasi dapat menetap bahkan setelah obat penyebab dihentikan. Kemungkinan obat penyebab antara lain paracetamol, ibuprofen, dan antihistamin.[4]
Eritema Nodosum
Lesi eritema nodosum berupa nodul inflamasi terutama di ekstensor kaki, dapat disertai dengan demam, arthralgia, dan nyeri. Lesi dapat disebabkan oleh kontrasepsi oral.[4]
Lupus Eritematosus Kutaneus
Lesi berbentuk ruam yang sensitif terhadap sinar matahari. Lesi dapat berbentuk anular atau seperti psoriasis pada tubuh bagian atas. Jenis lupus ini lebih ringan dibanding lupus eritematosus sistemik dan tidak melibatkan ginjal serta sistem saraf pusat. [4]
Erupsi Likenoid
Lesi erupsi likenoid berbentuk papul poligon eritematosa yang dapat bergabung menjadi lesi luas atau menjadi plak. Pasien juga sering kali mengeluhkan gatal. [4]
Pustular Eksantema Generalisata Akut (PEGA)
Lesi pada pustular eksantema generalisata akut (PEGA) berbentuk pustul di seluruh tubuh dengan dasar eritematosa. Biasa muncul dalam 48 jam pertama konsumsi obat. Pada 20-25% pasien, terdapat keterlibatan mukosa.[7]
Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
Lesi pada Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) berbentuk seperti target, dapat muncul bula, dan terdapat keterlibatan mukosa. Lesi umumnya ditemukan pada bagian tengah tubuh dan ekstremitas proksimal. [4]
Drug Reaction With Eosinophilia And Systemic Symptoms (DRESS)
Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) merupakan nama lain dari drug-induced hypersensitivity syndrome (DIHS). Lesi berupa eritroderma, yaitu kemerahan dan skuama pada seluruh tubuh. Biasanya disertai dengan peningkatan enzim hepar, eosinofilia, dan acute kidney injury. Erupsi dapat muncul 2-6 minggu setelah dosis pertama obat penyebab.[4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari erupsi obat sangat bervariasi. Masing-masing manifestasi erupsi obat memiliki diagnosis banding dengan manifestasi yang hampir serupa. Misalnya, campak dan rubella merupakan diagnosis banding dari erupsi obat eksantematosa.
Pembeda yang signifikan antara kasus-kasus tersebut dengan erupsi obat adalah tidak adanya riwayat penggunaan obat sebelum atau saat munculnya manifestasi kulit. Selain itu, pada erupsi obat, akan terjadi perbaikan manifestasi kulit setelah penghentian obat. [3,4]
Berikut adalah beberapa contoh diagnosis banding berdasarkan manifestasi kulit yang muncul:
- Eritroderma: perluasan penyakit seboroik, psoriasis, atau keganasan
- Eritema nodosum: disebabkan penyakit lain seperti lepra atau keganasan
- Eritema: campak
- Purpura: demam dengue, idiopatik trombositopenik purpura
Fixed drug eruption: eritema multiforme bulosum
- Pustular eksantema generalisata akut (PEGA): psoriasis pustular
- Sindroma Stevens Johnson (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN): pemfigus vulgaris, luka bakar [1]
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya, pemeriksaan penunjang tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis erupsi obat. Namun, pada kasus-kasus berat dari erupsi obat seperti Sindroma Stevens Johnson (SJS) atau Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), pemeriksaan laboratorium darah diperlukan untuk mengevaluasi perkembangan penyakit, yaitu pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, dan fungsi hepar. [4] Pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan 6 minggu setelah lesi kulit hilang untuk meyakinkan obat penyebab yaitu dengan uji tempel, uji tusuk, dan uji provokasi obat.[1]