Penatalaksanaan Atresia Esofagus
Penatalaksanaan atresia esofagus diawali dengan stabilisasi hemodinamik dan jalan napas, kemudian dilakukan dengan pembedahan seperti retropleural drainage dan transanastomotic stenting sebagai tata laksana definitif. Intubasi dilakukan untuk mencegah aspirasi dan perawatan neonatus juga perlu dilakukan sebagai tata laksana penunjang untuk meningkatkan luaran prognosis pasien.[22]
Persiapan Rujukan
Pasien dengan atresia esofagus seringkali sudah terdiagnosis sebelum lahir, saat dilakukan antenatal care, dengan tanda seperti polihidramnion. Pada keadaan ini sebaiknya persalinan tidak dilakukan di fasilitas kesehatan primer, karena neonatus baru lahir mungkin memerlukan resusitasi akan memerlukan penatalaksanaan lebih lanjut di NICU.[22]
Pasien dengan atresia esofagus tipe E seringkali gejala baru muncul dalam 1 tahun pertama kehidupan dengan pneumonia aspirasi berulang dan dapat disertai distensi abdomen. Pada keadaan ini, setelah stabilisasi hemodinamik dan jalan napas dilakukan, pasien harus tetap dirujuk dari fasilitas pelayanan kesehatan primer ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi untuk penatalaksanaan lebih lanjut.[22]
Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada atresia esofagus hanya dilakukan untuk penanganan suportif. Pemberian antibiotik tidak selalu harus diberikan dan sebaiknya diberikan sesuai indikasi dan kultur resistensi, bukan sebagai antibiotik profilaksis. Pencegahan infeksi pada mereka dengan atresia esofagus dilakukan dengan vaksinasi dan imunisasi.[24]
Pada keadaan klinis tertentu, seperti pneumonia bakterial, antibiotik spektrum luas dapat diberikan sambil menunggu hasil kultur. Antibiotik yang dapat diberikan adalah yaitu ampicillin 50 mg/kgBB, dua kali sehari, dan gentamicin 2,5 mg/kgBB intravena, dua kali sehari. Antibiotik diberikan sejak 48 jam sebelum operasi.[1,20,21]
Pembedahan
Pendekatan terapi atresia esofagus adalah dengan prosedur pembedahan dengan perbaikan primer atresia bila memungkinkan. Hal ini dapat menjadi perkecualian pada kasus atresia esofagus dengan jarak yang lebar (long gap), keadaan umum yang sangat buruk atau adanya anomali gastrointestinal mayor lainnya.[18]
Pendekatan perbaikan pembedahan primer dilakukan dengan pendekatan retropleura di bawah ujung skapula dengan/tanpa ligasi azygos, retropleural drainage dan transanastomotic stenting.[18]
Penentuan Waktu Pembedahan dan Kontraindikasi Pembedahan
Penentuan waktu pembedahan ditentukan berdasarkan kriteria prognostik Waterstone. Berdasarkan kriteria ini, pasien dibagi menjadi 3 kelompok:
- Kelompok A adalah neonatus dengan berat lahir >2.500 gram, tanpa disertai komplikasi
- Kelompok B adalah neonatus dengan berat lahir 1.800–2.500 gram tanpa komplikasi lainnya atau berat lahir >2.500 gram dengan pneumonia sedang/anomali kongenital
- Kelompok C adalah neonatus dengan berat lahir <1.800 gram, dengan tidak disertai komplikasi lainnya atau berat lahir >2.500 gram dengan pneumonia berat/anomali kongenital berat[1,19]
Bayi yang masuk dalam kelompok A dapat segera dilakukan operasi perbaikan atresia esofagus, pada kelompok B perlu dilakukan penundaan operasi dan kelompok C membutuhkan tindakan operasi secara bertahap.[1]
Pembedahan diindikasikan pada seluruh pasien dengan atresia esofagus, kecuali pada pasien dengan penyulit sindrom Potter. Penyakit ini merupakan keadaan tidak terbentuknya kedua ginjal pasien dan memiliki tingkat mortalitas 100%, sehingga hal ini menjadi kontraindikasi operasi untuk atresia esofagus.[1]
Esophageal Replacement Surgery
Esophageal replacement (ER) surgery adalah metode pembedahan pada atresia esofagus dengan keadaan long–gap esophageal atresia (LGEA). Definisi “long-gap” sendiri berbeda–beda, yaitu:
- Jarak antara segmen esofagus atas dan bawah >3 cm,
- Jarak antara segmen esofagus atas dan bawah >6 cm,
- Jarak antara segmen esofagus atas dan bawah lebih dari 2, 3, 4 atau 6 vertebral body
- Definisi fungsional adalah anastomosis primer tidak mungkin dilakukan atau telah dilakukan tetapi gagal[10,22]
Beberapa teknik operasi ER antara lain colon interposition (CI), gastric pull–up (GPU), jejunal interposition (JI), dan gastric tube reconstruction (GTR).[10,22]
Terapi Suportif
Terapi suportif diberikan sebelum dan setelah operasi dilakukan. Terapi suportif meliputi pemberian oksigen dengan intubasi untuk mencegah terjadinya aspirasi, pemakaian replogle double–lumen tube serta pemberian nutrisi parenteral total (TPN).
Tata Laksana pada Bayi yang Mengalami Penundaan Operasi
Pada kasus bayi yang harus mengalami penundaan operasi atresia esofagus, rencana manajemen saat melakukan penundaan antara lain pemasangan replogle double–lumen tube berukuran 10 French melewati mulut atau hidung hingga upper pouch untuk dapat mengeluarkan terus–menerus hasil sekresi saliva yang terkumpul di bagian proksimal atresia.[1]
Bayi dapat diposisikan dengan posisi 45°. Bayi menerima nutrisi parenteral total dan dilakukan penundaan pemberian nutrisi per oral ataupun enteral. Dengan perawatan yang baik, penundaan ini dapat dilakukan dari beberapa hari hingga beberapa minggu.[1]
Penatalaksanaan Komplikasi
Penatalaksanaan komplikasi dapat dibagi menjadi penatalaksanaan komplikasi early dan late.
Tata Laksana Early Complication
Yang termasuk early complication antara lain kebocoran anastomosis, fistula trakeoesofageal rekuren, dan striktur anastomosis.
Kebocoran Anastomosis:
Kebocoran anastomosis biasa terjadi pada hari ke 3–4 setelah operasi, dan dilaporkan terjadi pada 15% kasus pasien setelah operasi. Kebocoran anastomosis berpotensi untuk menyebabkan terjadinya sepsis.
Protokol yang diberlakukan adalah pemantauan hingga terjadi penutupan leakage dengan sendirinya dengan pemberian antibiotik dan tidak dibenarkan diberikan makanan per oral serta dilakukan tindakan operatif.[1]
Fistula Trakeoesofageal Rekuren:
Fistula trakeoseofageal (tracheoesophageal fistula / TEF) rekuren dapat muncul dalam beberapa hari setelah operasi. Angka kejadiannya berkisar antara 3–14%. Diagnosis TEF rekuren dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan esophagography.[1]
Dahulu pembedahan dilakukan pada TEF rekuren untuk memperbaiki fistula dengan metode right-side thoracotomy. Akan tetapi, studi menunjukkan fistula rekuren dapat menutup secara spontan. Pada pasien yang tidak ingin menjalani operasi ulang, dapat diberikan terapi suportif dan observasi selama 1 minggu tanpa pemberian apapun secara per oral. Jika fistula tetap tidak menutup secara spontan, maka perlu melakukan perbaikan fistula dengan metode right–side thoracotomy.[1]
Striktur Anastomosis:
Striktur merupakan komplikasi pasca operasi yang paling sering timbul, hingga dilaporkan pada 50% kasus. Terapinya dilakukan dengan dilatasi menggunakan esophageal balloon atau biasa dikenal dengan istilah bougie dilatations. Tindakan dilatasi dilakukan dengan memasukan Savary-Gilliard polyvinyl bougies di ruang operasi dengan bantuan anestesi umum melalui intubasi.[1,23]
Fluoroscopy digunakan untuk memantau posisi dilator yang telah dimasukkan melalui bantuan wire guide. Rontgen thoraks dijadwalkan secara sistematis 6 jam setelah tindakan dilatasi untuk memantau ada tidaknya komplikasi seperti perforasi esofagus.[23]
Tata Laksana Late Complication
Yang termasuk late complication adalah gastroesophageal reflux disease (GERD), dismotilitas esofagus, dan trakeomalasia.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD):
Seluruh bayi dengan atresia esofagus harus diberikan profilaksis ranitidine atau proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole pada 1 tahun pertama karena risiko gastroesophageal reflux disease (GERD) kronis. Pendekatan pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan operasi antirefluks.[1,25]
Metode partial-wrap fundoplication lebih disukai oleh para ahli. Jika perut memiliki masalah keterlambatan pengosongan, balloon pyloroplasty atau surgical pyloroplasty dapat dilakukan untuk mempercepat pengosongan lambung.[1]
Dismotilitas Esofageal:
Obstruksi bolus makanan, walau tanpa striktur, terjadi akibat dismotilitas esofagus. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian agen motilitas, misalnya domperidone.[1]
Trakeomalasia:
Tata laksana trakeomalasia yaitu berupa aortopeksi, prosedur peregangan arkus aorta ke samping bagian sternum sehingga secara tidak langsung mempertahankan dinding trakea anterior agar tidak kolaps. Jika metode ini tidak berhasil, dapat dilakukan pemasangan stent, tetapi metode ini masih kontroversial. Pilihan terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan trakeostomi.[1]
Follow Up
Pemantauan dilakukan dalam 1 bulan pertama setelah operasi. Yang dipantau adalah keadaan umum pasien, tumbuh kembang, dan proses penyembuhan luka setelah operasi. Pemantauan ini kemudian diulang pada bulan ke–3 setelah operasi dengan parameter pemantauan yang sama seperti sebelumnya.[1]
Jika kondisi baik, follow up dilanjutkan setahun setelah operasi. Yang dipantau adalah keadaan umum bayi, fungsi menelan, identifikasi adanya masalah pernapasan, dan ada tidaknya striktur yang tak terdeteksi sebelumnya yang mungkin akan tampak setelah pergantian pola makan menjadi makanan rumahan biasa.[1]
Pemeriksaan radiologi dapat diperlukan bila pasien sering tersedak, sianosis, regurgitasi, disfagia, gagal tumbuh, batuk, atau wheezing. Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopi sesuai indikasi yang ditemukan pada pasien.[1]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli