Penatalaksanaan Intra Uterine Fetal Death (IUFD)
Penatalaksanaan intrauterine fetal death (IUFD) yang utama adalah terminasi kehamilan, baik secara spontan ataupun induksi kehamilan. Terminasi secara spontan pada umumnya akan terjadi dalam 2 minggu setelah kematian janin. Sementara itu, persalinan secara induksi dapat menggunakan misoprostol atau oxytocin untuk merangsang kontraksi uterus.[3,5,6]
Terminasi Kehamilan
Setelah diagnosis IUFD ditegakkan, maka terminasi kehamilan sebaiknya segera dilakukan. Walau demikian, terminasi juga harus mempertimbangkan kondisi mental ibu.
Terminasi kehamilan dapat dilakukan dengan induksi maupun pembedahan. Persalinan per vaginam umumnya dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah induksi pada sekitar 90% ibu dengan IUFD. Persalinan per vaginam memiliki kelebihan pemulihan yang lebih cepat dibandingkan sectio caesarea.[5-7]
Induksi Misoprostol
Misoprostol merupakan analog prostaglandin E1. Misoprostol dapat diberikan per vaginam maupun per oral dengan dosis 400 µg setiap 4–6 jam. Induksi misoprostol perlu berhati-hati pada ibu dengan riwayat sectio caesarea sebelumnya karena meningkatkan risiko terjadinya ruptur uteri.
Pemberian mifepristone 200 mg per oral yang diikuti dengan pemberian misoprostol 400 µg setiap 4-6 jam per oral maupun per vaginam dapat dipertimbangkan karena diduga menginduksi persalinan lebih cepat.[5-7]
Induksi Oxytocin
Oxytocin dapat diberikan melalui cairan infus dengan dosis titrasi dari 1 sampai 4 mU/menit. Sebuah studi menunjukkan bahwa pemberian oxytocin intravena memiliki efektivitas yang sama dengan pemberian misoprostol intravaginal.[5-7]
Dilatas iServiks dengan Batang Laminaria
Cara ini sudah banyak ditinggalkan. Batang laminaria dipasang pada serviks dan dibiarkan selama 12–24 jam untuk membuka jalan lahir. Laminaria kemudian dilepas dan dilanjutkan dengan infus oxytocin hingga terjadi pengeluaran janin dan plasenta.[5,6]
Dilatasi Serviks dengan Kateter Folley
Dilatasi serviks dengan menggunakan kateter ini dapat dilakukan jika usia kehamilan > 24 minggu. Kateter yang digunakan yaitu ukuran 18 yang dimasukkan ke dalam kanalis servikalis di luar kantong amnion. Balon kateter kemudian diisi dengan 50 ml aquades steril dilanjutkan dengan pengikatan ujung kateter dengan tali.
Kateter kemudian dihubungkan dengan beban sebesar 500 gram melalui katrol. Setelah pemasangan kateter, dilanjutkan dengan infus oxytocin 10 IU dalam dextrose 5% 500 ml, dimulai 8 tetes/menit dan dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit hingga didapatkan his yang adekuat.[5-7]
Sectio Caesaria
Tindakan ini merupakan alternatif terakhir jika persalinan spontan dan induksi tidak berhasil. Indikasi lainnya yaitu trombosit menurun dan serviks yang tidak matang setelah diberikan induksi apapun.
Tindakan ini juga dapat dilakukan atas permintaan pasien bila pasien tidak mau melahirkan bayi yang meninggal secara per vaginam. Terminasi kehamilan dengan operasi dapat dilakukan pada ibu hamil dengan solusio plasenta dan riwayat sectio caesarea 2 kali atau lebih pada kehamilan sebelumnya.[5,6]
Evaluasi Penyebab Kematian Janin
Sebagian besar penyebab IUFD masih belum diketahui. Walaupun begitu, penentuan penyebab sangat penting karena dapat mempengaruhi program kehamilan di masa depan. Penegakan penyebab kematian janin yang paling penting adalah otopsi. Tetapi untuk melakukan otopsi harus dengan persetujuan tertulis dari orang tua.
Selain otopsi, pemeriksaan post mortem yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan plasenta perlu dilakukan untuk menentukan apakah IUFD disebabkan oleh faktor plasenta.
Tes yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian janin di antaranya adalah tes kariotipe untuk mendeteksi adanya kelainan kromosom yang berpotensi terjadi berulang pada kehamilan berikutnya. Selain itu, dapat juga dilakukan evaluasi plasenta dan tes laboratorium, misalnya HbA1c dan gula darah puasa untuk mendeteksi diabetes, tes sindrom antifosfolipid, dan tes Kleihauer untuk menilai ada tidaknya anti-Rh-D gammaglobulin yang menyebabkan perdarahan fetomaternal.[3-7]
Penanganan Psikologis Ibu
Ibu yang kehilangan janinnya akan berisiko mengalami gangguan psikologis seperti depresi atau mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Konseling dengan psikolog harus ditawarkan kepada orang tua maupun pada keluarga lain seperti kakek dan nenek. Selain itu, ibu dapat ditawarkan untuk bergabung dengan komunitas yang memiliki pengalaman sama.
Supresi laktasi merupakan faktor penting terhadap psikologi ibu yang mengalami IUFD. Pemberian agonis dopamin seperti bromokriptin dan cabergolin dapat bermanfaat untuk menekan laktasi tetapi obat golongan ini tidak disarankan pada ibu yang mengalami hipertensi atau preeklampsia.
Ibu dengan riwayat IUFD juga memiliki peningkatan risiko depresi. Depresi pada trimester ketiga kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi selama 1 tahun berikutnya, terutama pada wanita yang hamil kurang dari 1 tahun dari kejadian IUFD.
Kesedihan ibu yang tidak terselesaikan pada kehamilan sebelumnya dapat mempengaruhi kesiapan mental ibu terhadap bayi berikutnya. Oleh karena itu, tenaga kesehatan harus peka terhadap perubahan kondisi psikologis ibu selama hamil dan mewaspadai risiko depresi, baik depresi dalam kehamilan maupun depresi postpartum pada ibu yang mengalami riwayat IUFD sebelumnya.[5-7,14,15]
Penanganan Psikologis Ayah
Studi menemukan bahwa ayah juga berisiko mengalami depresi dan PTSD sehingga skrining dan penanganan kondisi psikologis juga harus dilakukan pada pasangan dari ibu yang mengalami IUFD.[5-7,14,15]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani