Penatalaksanaan Pterygium
Penatalaksanaan pterygium dengan gejala yang tidak terlalu mengganggu dapat dilakukan dengan medikamentosa, seperti tetes mata lubrikasi dengan gliserin 1%. Penggunaan tetes mata steroid, misalnya loteprednol, hanya diindikasikan dalam jangka waktu pendek bila tetes mata lubrikan tidak meredakan inflamasi.
Tindakan pembedahan diindikasikan apabila pterygium menyebabkan iritasi persisten yang resisten terhadap terapi medikamentosa, atau jika pterygium mengganggu penglihatan.[2,3,5]
Medikamentosa
Penatalaksanaan pterygium di awal, saat keluhan terbatas pada mata kering, adalah dengan pemberian terapi topikal seperti obat tetes mata lubrikasi, misalnya gliserin 1%, atau sodium hyaluronate 1%. Obat dapat diberikan 1–2 tetes tiap 8 jam.[1]
Untuk mengatasi inflamasi yang lebih berat, dapat digunakan tetes mata steroid, misalnya dengan prednisolone 1%, atau loteprednol. Penggunaan steroid topikal hanya jika gejala inflamasi tidak teratasi dengan tetes mata lubrikan, dan tidak direkomendasikan untuk pemakaian jangka panjang. Selain itu, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) topikal, seperti tetes mata ketorolac, juga dapat digunakan.[2,3,5]
Indikasi Pembedahan
Pembedahan pada pterygium berpotensi menyebabkan rekurensi lesi yang bersifat lebih agresif. Pengambilan keputusan untuk operasi perlu dipertimbangkan dengan matang.
Eksisi pterygium dapat dilakukan jika lesi menyebabkan iritasi yang tidak membaik, meskipun telah diberikan terapi medikamentosa. Indikasi lainnya adalah bila lesi pterygium menghalangi aksis visual, serta jika lesi menyebabkan penglihatan kabur akibat astigmatisme, lesi yang membesar, atau mengganggu motilitas bola mata.[2,14]
Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengeksisi jaringan pterygium yang menempel pada permukaan kornea. Beberapa teknik yang dapat dilakukan antara lain bare sclera technique, conjunctival autograft technique, dan amniotic membrane grafting. Ketiga teknik pembedahan di atas masih memiliki risiko rekurensi yang cukup tinggi. Sekitar 97% rekurensi terjadi dalam 1 tahun pertama pascaoperasi.[2,15,16]
Conjunctival Autograft
Conjunctival autograft dianggap sebagai baku emas terapi pterygium, sebab rekurensinya yang cukup rendah. Risiko rekurensi pada teknik ini paling baik bila dibandingkan dengan teknik lainnya, yaitu 5–10%, dengan risiko komplikasi yang minimal.
Teknik pembedahan conjunctival autograft serupa dengan teknik bare sclera, hanya saja lapisan sklera yang terluka akibat proses eksisi akan ditutup dengan jaringan autograft. Penutupan dapat dilakukan dengan lem fibrin atau dengan dijahit/suture. Jaringan autograft didapatkan dari lapisan konjungtiva bulbar superotemporal.
Keterbatasan dari teknik ini adalah waktu pembedahan lebih lama dan dibutuhkan operator yang berpengalaman. Penggunaan lem fibrin dapat mempersingkat durasi operasi, serta meningkatkan kenyamanan pasien postoperatif, dibandingkan penggunaan benang jahit bedah.[3,15,16]
Bare Sclera Technique
Teknik ini meliputi eksisi pterygium bagian head dan body. Setelah eksisi, lapisan sklera dibiarkan terbuka untuk mengalami reepitelisasi secara alami. Teknik ini memiliki angka rekurensi pterygium yang tinggi, tercatat sekitar 24–89% dalam 1 tahun pascaoperasi. Oleh karena itu, bare sclera technique sudah tidak direkomendasikan.[15,16]
Amniotic Membrane Grafting
Teknik ini mirip dengan conjunctival autograft, tetapi lapisan graft yang digunakan adalah lapisan membran amniotik. Membran amniotik akan ditempatkan pada sisi stroma menghadap ke dasar sklera dan dilakukan fiksasi menggunakan lem fibrin dan/atau jahitan. Berdasarkan teori, lapisan membran amniotik memiliki sifat antiinflamasi dan anti fibrosis, serta promotor epitelisasi kornea.
Angka rekurensi setelah melakukan teknik ini adalah 2,6-42,3% dalam 1 tahun pascaoperasi.[2,15,16]
Terapi Adjuvan
Tantangan terbesar dari tatalaksana pterygium adalah angka rekurensi yang masih tinggi. Hal ini mendorong penggunaan terapi adjuvan. Studi menunjukkan angka rekurensi menurun pada pterygium yang dilakukan terapi pembedahan dan terapi adjuvan.
Terapi adjuvan yang digunakan umumnya, adalah obat-obatan, seperti mitomycin-C dan ciclosporin, serta tindakan beta irradiation. Tujuan dari terapi adjuvan adalah menghambat pertumbuhan jaringan fibroblast ataupun mitosis dari sel pterygium.[15,16]
Antimetabolit
Antimetabolit yang umum digunakan adalah mitomycin-C (MMC) dan fluorourasil. Antimetabolit berperan untuk mensupresi sel tumor dan mitosis sel fibroblas. Pemberian obat antimetabolit bersamaan terapi pembedahan diketahui menurunkan angka rekurensi pterygium sebanyak 10%.
MMC dan fluorouracil dapat digunakan secara topikal atau injeksi subkonjungtiva. Sekalipun efektif menurunkan angka rekurensi, obat antimetabolit memiliki efek samping, antara lain penipisan lapisan sklera¸ iritis, delay epithelialization, dan endoftalmitis.[2,15,16]
Cyclosporin
Cyclosporin merupakan immunosuppressant yang bekerja pada limfosit sel T, untuk menghambat sintesis dan sekresi interleukin, sehingga mengakibatkan menurunkan respons inflamasi.
Metaanalisis oleh Fonseca, et al. pada tahun 2018 menemukan terapi adjuvan terbaik untuk mencegah rekurensi pterygium adalah dengan conjunctival autograft dan tetes mata cyclosporin 0,05%. Meskipun terbukti lebih baik dari MMC dan fluorourasil, tetapi harga cyclosporin lebih mahal.[17]
Beta Irradiation
Penyinaran menggunakan sinar beta digunakan untuk menekan rekurensi pterygium. Hal ini dikarenakan paparan sinar beta menghambat proses mitosis dari sel pterygium. Pemberian sinar beta dosis tunggal sebanyak 1000–2500 cGy dapat menurunkan rekurensi pterygium. Selain itu, beta irradiation memiliki harga yang cukup terjangkau.
Efek samping dari beta irradiation antara lain nekrosis lapisan sklera, scleromalacia, katarak, atau endoftalmitis.[15,16]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra