Epidemiologi Teratoma Testis
Data epidemiologi spesifik untuk teratoma testis masih terbatas karena mayoritas studi mempelajari epidemiologi kanker testis secara umum, di mana kanker testis dilaporkan sebagai tumor solid yang paling banyak ditemukan pada populasi pria berusia 20–35 tahun.[1,7,8]
Global
Mayoritas kasus keganasan pada testis (95%) disebabkan oleh tumor yang berasal dari germ cell, terutama yang merupakan seminoma. Tumor germ cell non-seminoma lebih jarang terjadi. Teratoma testis dilaporkan menunjukkan prevalensi tertinggi pada usia 20–35 tahun. Pada anak-anak, teratoma testis biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.[1]
Di negara-negara Barat, insiden dilaporkan ada di rentang 3–1 kasus baru per 100.000 pria per tahun. Insiden tertinggi dilaporkan di Eropa, dengan Norwegia, Slovenia, dan Denmark sebagai tiga peringkat tertinggi. Seluruh negara dalam 10 peringkat tertinggi juga berada di Eropa. Insiden lebih rendah di negara-negara Asia dan Afrika. Secara umum, kanker testis merupakan kasus yang cukup langka dan hanya berkontribusi terhadap 0,5% dari total kasus kanker baru menurut data dari Amerika Serikat.[7,8]
Indonesia
Saat ini data epidemiologi nasional terkait teratoma testis di Indonesia masih terbatas. Namun, terdapat laporan bahwa lima negara dengan angka kejadian kanker testis tertinggi di Asia dan Timur Tengah adalah India, Cina, Jepang, Turki, dan Indonesia. Studi epidemiologi nasional masih diperlukan untuk mengetahui lebih detail. Faktor risiko populasi juga perlu dipelajari, misalnya hipospadia dan kriptorkidisme.[8]
Mortalitas
Dengan terapi sejak dini yang adekuat, mortalitas penderita kanker testis umumnya rendah. Tingkat survival dalam 5 tahun bisa mencapai 95,2%. Pasien dengan teratoma postpubertal yang berasal dari germ cell umumnya memiliki risiko mortalitas lebih tinggi daripada teratoma prepubertal yang bukan berasal dari germ cell, karena berisiko metastasis cukup tinggi.[1,6]
Mortalitas juga dilaporkan lebih tinggi pada pasien berusia muda (20 tahunan) dan diperkirakan terjadi karena pasien dalam rentang usia tersebut cenderung memiliki kondisi finansial yang belum stabil untuk menjalani pengobatan.[7]
Penulisan pertama oleh: dr. Jessica Elizabeth